Selasa, 20 Desember 2011

TUGAS POKOK DAN FUNGSI (TUPOKSI) KEPALA SEKOLAH

Kepala Sekolah berfungsi dan bertugas sebagai Edukator, Manajer, Administrator, Supervisor, Pemimpin /Leader, Inovator, Motivator 1. KEPALA SEKOLAH SELAKU EDUKATOR Kepala Sekolah Selaku Edukator bertugas melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif dan efisien (lihat tugas guru) 2. KEPALA SEKOLAH SELAKU MANAJER mempunyai tugas: • Menyusun perencanaan • Mengorganisasikan kegiatan • Mengarahkan kegiatan • Mengkoordinasikan kegiatan • Melaksanakan pengawasan • Melakukan evaluasi terhadap kegiatan • Menentukan kebijaksanaan • Mengadakan rapat • Mengambil keputusan • Mengatur proses belajar mengajar • Mengatur administrasi Ketatausahaan, siswa, ketenangan, sarana dan prasarana, keuangan / RAPBS • Mengatur Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) • Mengatur hubungan sekolah dengan masyarakat dan instansi terkait 3. KEPALA SEKOLAH SELAKU ADMINISTRATOR Bertugas menyelenggarakan Administrasi : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, kurikulum, kesiswaan, ketatausahaan, ketenagaan, kantor, keuangan, perpustakaan, laboratorium, ruang keterampilan / kesenian, Bimbingan Konseling, UKS, OSIS, serbaguna, media, gudang, 7 K 4. KEPALA SEKOLAH SELAKU SUPERVISOR Bertugas menyelenggarakan Supervisi mengenai : • Proses belajar Mengajar • Kegiatan Bimbingan dan Konseling • Kegiatan Ekstrakurikuler • Kegiatan ketatausahaan • Kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan instansi terkait • Sarana dan prasarana • Kegiatan OSIS • Kegiatan 10K 5. KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PEMIMPIN / LEADER : • Dapat dipercaya, jujur dan bertanggung jawab • Memahami kondisi guru, karyawan dan siswa • Memiliki visi dan memahami misi sekolah • Mengambil keputusan intern dan ekstern sekolah • Membuat, mencari dan memilih gagasan baru 6. KEPALA SEKOLAH SEBAGAI INOVATOR • Melakukan pembaharuan di bidang KBM, BK, Ekstrakurikuler, dan Pengadaan • Melaksanakan pembinaan guru dan karyawan • Melakukan pembaharuan dalam menggali sumber daya di Komite Sekolah dan Masyarakat 7. KEPALA SEKOLAH SEBAGAI MOTIVATOR • Mengatur ruang kantor yang konduktif untuk bekerja • Mengatur ruang kantor yang konduktif untuk KBM / BK • Mengatur ruang laboratorium yang konduktif untuk praktikum • Mengatur ruang perpustakaan yang konduktif untuk belajar • Mengatur halaman / lingkungan sekolah yang sejuk dan teratur • Menciptakan hubungan kerja yang harmonis sesama guru dan karyawan • Menciptakan hubungan kerja yang harmonis antar sekolah dan lingkungan • Menerapkan prinsip penghargaan dan hukuman. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Sekolah dapat mendelegasikan kepada Wakil kepala Sekolah

MACAM GAYA KEPEMIMPINAN

Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini. 1. Teori Genetis (Keturunan) Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis. 2. Teori Sosial Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup. 3. Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik. Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s). Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin. Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Tipologi Kepemimpinan Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997). 1. Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum. 2. Tipe Militeristis Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan. 3. Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu. 4. Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”. 5. Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin. Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.

Kamis, 15 Desember 2011

MANAJEMEN MUTU TERPADU DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

I. PENDAHULUAN Pendidikan adalah merupakan suatu masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Maju tidaknya suatu bangsa sangat tergantung pada pendidikan bangsa tersebut. Artinya jika pendidikan suatu bangsa dapat menghasilkan “ Manusia “ yang berkwalitas lahir batin. Otomatis bangsa tersebut akan maju, damai dan tetram. Sebaliknya jika pendidikan suatu bangsa mengalami stagnasi maka bangsa itu akan terbelakang disegala bidang. Berbicara mengenai kualitas sumberdaya manusia. Islam memandang bahwa pembianaan sumberdaya manusia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran mengenai manusia itu sendiri, dengan demikian Islam memiliki konsep yang sangat jelas, utuh dan komprehensif mengenai pembinaan sumberdaya manusia. Konsep ini tetap aktual dan relevan untuk diaplikasikan sepanjang zaman ( Abudin Nata, 2001; 17) Dewasa ini Pendidikan Nasional tengah menghadapi isu krusial. Isu yang paling sensitif terkait dengan mutu pendidikan, relevansi pendidikan, akuntabilitas, professionalisme, efisiensi, debirokrasi dan prilaku pemimpin pendidikan. Hal tersebut masing sangat kontradiktif dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional ( sisdiknas) bab II pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab . Dan pada bab III pasal 4 ayat 6 disebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah dengan memperdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan ( Sisdiknas, 2003;no 20 ) Pada hakekatnya, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan masih banyak kegagalan ini disebabkan antara lain ; masalah manajemen pendidikan yang kurang tepat, penempatan tenaga tidak sesuai dengan bidang keahliaannya ( termasuk didalamnya pengangkatan kepala madrasah / sekolah yang kurang professional bahkan hanya mengutamakan nuansa politis dari pada profesionalisme ), penanganan masalah bukan pada ahlinya, pemerataan kesempatan, keterbatasan anggaran yang tersedia, sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan belum dapat diwujudkan secara signifikan. Menurut Sidi ( 2001) telah diupayakan tidak kurang 12 strategi pembangunan pendidikan nasional, antara lain 1). Menerapkan perencanaan berbasis kompetensi lokal. 2). meningkatkan pemerataan pendidikan. 3). menetapkan sistem manajemen mutu secara menyeluruh. 4). meriview kurikulum secara pereodik serta mengembangkan implementasi kurikulum secara kontinyu. 5). merancang proses penerapan pendekatan dan metode serta isi pendidikan yang memberi kesempatan luas kepada peserta didik dan warga belajar untuk mengembangkan potensi kemampuannya secara luas. 6). meningkatkan system manajemen sumber pendidikan yang lebih adil dan memadai serta mendayagunakan dan memobilisasi sumber dana secara efisien. 7). Menyusun rambu-rambu kebijakan pengembangan program pendidikan yang luwes. 8). Membuat peraturan perundangan yang mengatur perimbangan peran pemerintah dan non pemerintah dalam pendidikan secara komprehensif. 9). Mengurangi unit birokrasi yang dipandang kurang bermanfaat. 10). Mengupayakan secara konsisten dukungan dana yang memadai terutama untuk prioritas program pendidikan sebagai public goods. 11). menjaga konsistensi dan berkelanjutan internalisasi nilai-nilai pendidikan nasional diantara tiga pusat pendidikan ; yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, dan 12). Mengkaji pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada life skill. Untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang bermutu sebagaimana yang diharapkan banyak orang atau masyarakat bukan hanya menjadi tanggungjawab sekolah, tetapi merupakan tanggungjawab dari semua pihak termasuk didalamnya orang tua dan dunia usaha sebagai customer internal dan eksternal dari sebuah lembaga pendidikan. Arcaro S Jerome menyampaikan bahwa terdapat lima karakteristik sekolah yang bermutu yaitu : 1) Fokus pada pelanggan. 2) Keterlibatan total 3) Pengukuran 4) Komitmen 5) Perbaikan berkelanjutan (2005:38). Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu. Suryadi Poerwanegara ( 2002 ; 12) menyampaikan ada enam ungsur dasar yang mempengarui suatu produk : 1) Manusia 2) Metode 3) Mesin 4) Bahan 5) Ukuran 6) Evaluasi Berkelanjutan. Pemimpin lembaga pendidikan Islam, khususnya di lingkungan pesantren dan madrasah merupakan motivator, event Organizer, bahkan penentu arah kebijakan sekolah dan madrasah yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Untuk mewujutkan hal tersebut maka kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan pruduktif. 2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. 3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujutkan tujuan sekolah dan pendidikan. 4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pengawai lain di sekolah. 5. Bekerja dengan Tim manajemen. 6. Berhasil mewujutkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan. ( E.Mulyasa : 2004; 126 ) Pondok pesantren, bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain yang pernah muncul di Indonesia merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai poruduk budaya Indonesia yang indigenous. Ditegaskan pula oleh Madjid (1997:8) bahwa pesantren adalah lembaga yang merupakan cikal bakal sistem pendidikan di Nasional. Dari segi histories, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Pendidikan ini semula pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Indonesia, yaitu abad ke-13. Pada saat itu, pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sekolah bergengsi( Masyhud, 2003) Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mengalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan dan keagamaan. Ciri umum yang diketahui adalah pesantren memiliki kultur yang khas. Cara pengajarannya yang unik. Kyai yang biasanya adalah pendiri pondok pesantren, memberikan layanan pendidikan secara kolektif atau bandongan ( collective learning process) dan layanan individual atau sorogan (individual learning process). Pola seperti ini disebut pondok pesantren salafiyah. Pada perkembangannya, pondok pesantren merespon positif terhadap pengaruh pendidikan Barat, Asia, dan Afrika yang mengenalkan sistim sekolah / klasikal, walaupun secara kultur, pembelajaran secara salafiyah tidak sepenuhnya ditinggalkan. Muncul kemudian istilah pondok modern seperti Pondok Modern Gontor Ponorogo. Modern biasa berarti renaissance, aufklarung atau enlighment. Modern berarti pula keterbukaan, perbedaan pendapat, demokrasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, modern bisa berarti “ melampui “. keadaan pesantren dan segala penggambarannya tentang dunia pendidikan Islam tersebut, pada zamannya. Para pendiri pondok modern jelas mencita-citakan sebuah modernisasi pemikiran dalam masyarakat Islam. Dan pondok modern merupakan sebentuk harapan bagi pembaharuan pendidikan yang merdeka ( Ushuluddin, 2002:5) Menurutnya, pondok pesantren disebut modern karena memang tampil tidak sama dengan pondok-pondok tradisional atau salafiyah, baik sistim pendidikan dan pengajarannya maupun pola sikap dan pola pikir keagamaannya, meskipun sebenarnya pondok modern tidak bisa menanggalkan kesan “ ortodok “ sebagaimana trademark pesantren lain pada umumnya. Data Departemen Agama menunjukkan perkembangan pondok pesantren yang luar biasa. Secara kuantitatif, tercatat jumlah pesantren di Indonesia mencapai diatas 11.312 buah dengan santri lebih dari 2.737.805 orang ( Masyhud, 2003) terdiri dari pesantren salafiyah dan modern. Selain menunjukkan tingkat keragaman, orientasi pimpinan pesantren, dan independensi kyai, jumlah ini memperkuat argumen bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan swasta yang sangat mandiri dan sejati merupakan praktik pendidikan berbasis masyarakat ( community based education) . Melihat keberadaan dan keragaman pondok pesantren ini, sebaiknya menjadi catatan pemerintah terutama dalam rangka realisasi gerakan peningkatan mutu pendidikan untuk semua. Dan keberadaannya yang menyebar dan meluas bias dijadikan sebagai basis gerakan pemberantasan buta huruf , akselerasi program wajib belajar, dan bisa meningkatkan HDI ( Human Development Index ) Indonesia dimata dunia yang saat ini sedang anjlok. Deangan demikian pesantren sebagai institusi pendidikan juga ikut berperan dan bertanggungjawab atas pelaksanaan program-program pemerintah. Pondok pesantren adalah sebuah sistem sosial yang didalamnya terdapat interaksi sosial yang harus dikelola dengan baik agar dapat memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikan. Keberhasilan mencapai tujuan tidak hanya bergantung pada guru atau staf lainnya, akan tetapi peran pengasuh atau kyai sebagai sentral figur sangat menentukan dalam menciptakan iklim pesantren yang mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar. Setiap lembaga pendidikan, termasuk didalamnya pondok pesantren, dituntut untuk memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada “ pelanggannya “ . Agar tugas ini terwujud, pesantren perlu didukung sistem manajemen yang baik. Beberapa ciri sistem manajemen yang baik adalah adanya pola pikir yang teratur (administrative thinking) pelaksanaan kegiatan yang teratur (administrative behaviour ), dan penyikapan terhadap tugas-tugas kegiatan secara baik (administrative attitude ). Menurut Mulyasa (2005:24) bahwa kepala sekolah diasumsikan pimpinan pondok pesantren dikenal dengan direktur atau kyai, merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam melaksanakan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Sedangkan potensi kepala sekolah / kyai jika ditinjau dari tugas dan tanggungjawabnya, lebih ditekankan pada kompetensi manajerial dan kepemimpinan pendidikan. Sebagai manajer sekaligus pemimpin pendidikan, kepala sekolah/ kyai harus: 1) Membina kerja sama yang harmonis dengan stafnya, 2) Membantu para guru untuk memahami kurikulum, 3) Membina hubungan yang baik antara sekolah dengan masyarakat, dan 4) Menyelenggarakan pendidikan dan membinanya. Untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada di lingkungan pendidikan tersebut terletak pada Manajemen mutu terpadu yang akan memberi solusi para professional pendidikan untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan . Karena Manajemen Mutu Terpadu dapat digunakan untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintah. Manajemen Mutu terpadu dapat membentuk masyarakat responsive terhadap perubahan tuntutan masyarakat di era globalisasi ini. Manajemen Mutu Terpadu juga dapat membentuk sekolah yang tanggap dan mampu merespon perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan demi memberikan kepuasan pada stakeholder. Mengacu kepada latar belakang masalah diatas, dapat ditegaskan bahwa mutu pendidikan nasional saat ini sedang menghadapi problem yang pelik dan komplek, bukan saja problem-problem rutin-administrasi, namun pula hadirnya kemampuan ketrampilan manajerial pimpinan lembaga pendidikan , perubahan prilaku dan pola hidup pimpinan lembaga pendidikan khususnya di lembaga pendidikan Islam, rendahnya partisipasi dan tanggung jawab secara komprehensip tenaga pendidik dan kependidikan, niat yang kurang tulus dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi ( TUPOKSI ) yang diemban olehnya atau Tim Work Tenaga pendidik dan Kependidikan, para pelanggan pengguna lulusan menuntut profesionalisme terhadap teori, skill, dan pengalaman yang mereka miliki sesuai dengan tuntutan lapangan, masih carut marutnya pemahaman dan aplikasi teori belajar dan pembelajaran yang dimiliki oleh para guru maupun dosen , Dan Evaluasi kebijakan pendidikan dan evaluasi pembelajaran yang masih labil dan berubah-ubah akan mempengaruhi kegoncangan pemahaman dan ketidaknyamanan pendidik dan tenaga kependidikan. II. PEMBAHASAN A. Manajemen Mutu Terpadu. Manajemen berasal dari kata “ to manage “ yang artinya mengatur. Pengaturan dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen itu, jadi manajemen itu merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.( Hasibuan, 2004: 1) Manajemen Mutu Terpadu ( Total Quality Management) dalam kontek pendidikan merupakan sebuah filosofi metodologi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institutsi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan,, dan harapan pelanggan, saat ini maupun masa yang akan datang. ( Edward Sallis, 2006:73). Sedangkan Santoso menyampaikan bahwa TQM merupakan suatu sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi ( 2003:4). Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, tenaga kerja, proses, dan lingkungan ( Nasution M.N, 2004:18) Pada hakekatnya tujuan institusi pendidikan adalah untuk menciptakan dan mempertahankan kepuasan para pelanggan dan dalam TQM kepuasan pelanggan ditentukan oleh stakeholder lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena hanya dengan memahmi proses dan kepuasan pelanggan maka organisasi dapat menyadari dan menghargai kualitas. Semua usaha / manajemen dalam TQM harus diarahkan pada suatu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan, apa yang dilakukan manajemen tidak ada gunanya bila tidak melahirkan kepuasan pelanggan. B. Kerjasama Tim (Team Work) Kerjasama tim merupakan unsur yang sangat penting dalam Manajemen Mutu Terpadu. Tim adalah sekelompok orang bekerja secara bersama-sama dan memiliki tujuan bersama yaitu untuk memberikan kepuasan kepada seluruh satakeholders. Kerja tim dalam sebuah organisasi merupakan komponen penting dalam TQM, mengingat kerja tim akan meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi dan mengembangkan kemandirian. Kerjasama tim dalam menangani proyek perbaikan atau pengembangan mutu pendidikan merupakan salah satu bagian dari pemberdayaan (empowerment) pegawai dan kelompok kerjanya dengan pemberian tanggungjawab yang lebih besar. Eksistensi kerjasama dalam sebuah lembaga pendidikan sebagai modal utama dalam meraih mutu dan kepuasan stakeholders melalui proses perbaikan mutu secara ber-kesinambungan. Fungsi kerjasama tim sebagai berikut: 1. Berrtanggungjawab pada mutu pembelajaran. 2. Bertanggungjawab pada pemanfaatan waktu para guru, material sertaruang yang dimanfaatkan. 3. Menjadi sarana untuk mengawasi, mengevalusai dan meningkatkan mutu. 4. Bertindak sebagai penyalur informasi kepada pihak manajemen tentang perubahan-perubahan yang dalam proses peningkatan mutu tim. Faktor-faktor Penghambat Kerja Tim : 1. Identitas pribadi anggota tim. 2. Hubungan antara anggota tim. 3. Identitas tim dalam organisasi. Kunci keberhasilan tim Ada tiga komponen saling berkaitan yang mempengaruhi kinerja dalam produktifitas suatu tim, yaitu sebagai berikut: 1. Organisasi secara keseluruhan Budaya atau kultur suatu organisasi akan menentukan sikap, perilaku dan cara berfikir seluruh anggota dalam mencapai misi dan tujuuan yang dipengaruhi oleh filosofi organisasi, norma, kode etik, system penghargaan dan harapan dari para anggota organisasi. 2. Tim Kerja Tim kerja mampu mencapai kinerja atau produktivitas yang diharapkan apabila dilakukan dengan adanya peranan dan tanggungjawab yang jelas, mampu melaksanakan manajemen konflik, adanya prosedur operasi yang jelas dan simple, serta pencapaian misi tim. 3. Para individu anggota tim Sifat individu anggota tim harus memiliki beberapa persyaratan agar kinerja atau produktivitas meningkat, yaitu : memiliki kesadaran dini untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan tim, memiliki apresiasi terhadap perbedaan individual, bersikap empati dan perhatian yang besar dalam penyampaian tugas masing-masing individu anggota tim. Strategi untuk meningkatkan kinerja tim dalam Pencapaian Tujuan 1. Saling ketergantungan ; Saling ketergantungan individu dalam sebuah tim sangat penting dalam hal informasi, sumber daya, pelayanan tugas, karena hal ini dapat memperkuat kekompakan tim dalam mencapai kepuasan seluruh stakeholders. 2. Perluasan Tugas ; Tim harus diberi tantangan, karena reaksi atau tanggapan terhadap tantangan tersebut membentuk semangat persatuan, kebanggan dan kesatuan tim. 3. Penjajaran (alignment) ;Rasa individualistis harus dibuang dalam rangka mencapai misi yang bersama. 4. Bahasa yang umum ;Dalam pemakaian istilah harus memakai bahasa umum agar supaya meudah dipahami oleh semua anggota tim. 5. Kepercayaan/Respek ;Dalam tim harus berusaha membentuk kepercayaan dan respek demi tercapainya kerjasama yang baik. 6. Kepemimpinan ;Dalam tim setiap individu memiliki bakat dan kemampuan anggota tim. 7. Ketrampilan pemecahan masalah ; Kemampuan memecahkan masalah dalam tim harus dibina. Karena masalah sering muncul dalam organisasi. 8. Ketrampilan menangani komprontasi/konflik. ;Dalam Manajemen Mutu Terpadu dibutuhkan ketrampilan menghadapi perbedaan pendapat dan menyampaikan ketidaksetujuan terhadap pendapat orang lain tanpa merusak keharmonisan dalam tim. 9. Penilaian / tindakan ;Penilaian dilakukan dengan memantau dan membandingkan apa yang telah dilakukan dengan pernyataan misi dan rencana tindakan yang ada. 10. Penghargaan ;Penghargaan atas kesuksesan tim dalam menyelesaikan tugas merupakan motivasi tim untuk bekerja lebih baik dalam mencapai tujuan selanjutnya. Menurut Edward Sallis parameter efektifitas tim adalah, sebagai berikut : 1. Sebuah tim memerlukan peran anggota yang telah didefinisikan secara jelas. Hal ini penting untuk mengetahui siapa pemimpin tim dan siapa yang menfalisilitator tim. 2. Tim membutuhkan tujuan yang jelas. Tim harus mempunyai arah dan tujuan yang jelas untuk dicapai. Tujuan harus realistis, dapat dicapai dan relevan bagi kepentingan seluruh anggota. 3. Sebuah tim membutuhkan sumberdaya-sumberdaya dasar untuk beroperasi. Kebutuhan sumber daya dasar adalah manusia, waktu, ruang dan energi. 4. Sebuah tim perlu mengetahui tanggungjawab dan otoritas. Kekecewaan akan lahir jika terdapat pertimbangan yang diabaikan atau jika tim berlebihan dalam menggunakan otoritasnya. 5. Sebelum tim membutuhkan rencana kerja. Rencana mencakup visi, misi tentang langkah-langkah yang dibutuhkan dalam penyelesaian tugas dan sumber daya bagi tim. 6. Sebuah tim membutuhkan seperangkat aturan untuk bekerja. Aturan-aturan harus sederhana dan disetujui oleh seluruh anggota tim, mereka adalah tahap penting dalam penentuan norma. 7. Tim perlu menggunakan alat-alat yang tepat untuk mengatasi masalah dan menemukan solusinya. 8. Tim perlu mengembangkan sikap tim yang baik dan bermanfaat. Ada beberapa hal yang secara ideal harus dilakukan oleh seluruh anggota dan mencakup kemampuan untuk: 1. Menghinisiasikan diskusi 2. Mencari informasi dan opini. 3. Mengusulkan prosedur untuk mencapai tujuan. 4. Menjelaskan atau mengurangi ide. 5. Menyimpulkan 6. Tes untuk mufakat. 7. Bertindak sebagai moderator lalu lintas percakapan langsung, menghindari percakapan simultan, menghambat pembicaraan yang dominan, memberi kesempatan pada pembicara uyang lain, menjaga percakapan dari hal-hal yang menyimpang. 8. Kompromis dan kreatif dalam mengatasi perbedaan. 9. Mencoba untuk mengurangi ketegangan dalam kelompok dan berusaha bekerja menembus masalah – masalah yang sulit. 10. Mengekpresikan perasaan kelompok dan meminta yang lain untuk mengecek kesan tersebut. 11. Membuat kelompok setuju terhadap standar. 12. Merujuk pada dokumentasi dan data. 13. Memuji dan mengoreksi anggota dengan cara yang fair dan mampu menerima komplain sama baiknya dengan pujian. C. Keterlibatan Stakeholders Misi utama dari Manajemen Mutu Terpadu adalah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan seluruh pelanggan. Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menjaga hubungan dengan pelanggannya dan memiliki obsesi terhadap mutu. Pelanggan sekolah ada dua macam: 1. Pelanggan Internal : guru, pustakawan, laborat, teknisi dan administrasi. 2. Pelanggan Eksternal terdiri dari: - Pelanggan primer : siswa - Pelanggan sekunder: orang tua, pemerintah dan masyarakat. - Pelanggan tertier : pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi dan dunia usaha). Menurut Edward Sallis dalam institusi pendidikan pelanggan utama adalah pelajar yang secara langsung menerima jasa, pelanggan kedua yaitu orang tua atau sponsor pelajar yang memiliki kepentingan langsung secara individu maupun institusi dan pelanggan ketiga yaitu pihak yang memiliki peran penting, meskipun tak langsung seperti pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Guru, staf dan setiap orang yang bekerja dalam masing-masing institusi turut memberikan jasa kepada para kolega mereka adalah pelanggan internal. Hubungan internal yang kurangbaik akan menghalangi perkembangan sebuah institusi sekolah dan akhirnya membuat pelanggan eksternal menderita. Salah satu tujuan TQM adalah untuk merubah sebuah institusi sekolah manjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik, dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal yaitu memuaskan seluruh pelanggan. a. Keterlibatan Siswa Upaya melibatkan siswa telah menjadi fenomena yang berkembang pada sekolah akhir-akhir ini, tetapi belum maksimal siswa yang terlibat dan mempengaruhi proses penyusunan kegiatan belajar mengajar disekolah. Perlu didesain agar supaya dalam penyusunan kurikulum dan peraturan-peraturan disekolah disusun secara fair dan efektif dengan melibatkan siswa. Adalah penting melibatkan siswa dalam proses pembuatan keputusan seperti dalam penyusunan kurikulum dan hal – hal yang berkenaan dengan desain materi pembelajaran. Sebuah lingkungan kelas yang memberi otonomi atau keleluasaan bagi siswa memiliki kaitan erat dengan kemampuan siswa dalam berekspresi, kreatif menunjukkan kemampuan diri belajar secara konseptual dan senang terhadap tantangan. Si siswa yang memiliki andil dalam kegiatan-kegiatan instrusional atau pembuatan peraturan sekolah memilik rasa cinta terhadap sekolah dan pada gilirannya secara signifikan keterlibatan mereka terhadap kegiatan – kegiatan sekolah. Selama ini siswa dijadikan obyek dikelas ketimbang dijadikan sebagai subyek pendidikan. Siswa diharuskan tunduk kepada seluruh aturan yang dibuat oleh sekolah siswa tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan kemampuan yangdimilinya. Siswa dalam menerima pelajaran dari guru dan menjalankan peraturan yang ada disekolah dalam keadaan terpaksa, karena merasa tidak nyaman dan tidak dilibatkan dalam desain pembelajaran dan pembuatan peraturan. Bahwa orientasi negatif bisa muncul jika kebijakan, tujuan dan norma sekolah atau implementasi semuanya dikembangkan tanpa melibatkan siswa atau siapa saja yang akan melaksanakannya. Sebaliknya keterlibatan mereka yang maksimal, terutama siswa akan memberikan respon positif terhadap program, peraturan, tuntutan atau norma–norma sekolah, keterlibatan siswa dalam perencanaan aktifitas kelas adalah merupakan bagian dari aspek otonomi dan kontrol dari siswa sendiri. Jika siswa merasa tidak berseberangan dengan aturan kelas, kemungkinan besar mereka akan mengembangkan prilaku positif terhadap sekolah secara umum dan terhadap prestasi akademis secara khusus. b. Keterlibatan Orang Tua Keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak disekolah merupakan hal yang penting dilakukan oleh institusi pendidikan dan inilah salah satu unsur penting dalam TQM. Peran orang tua dalam pembentukan motivasi dan penguasaan diri anak sejak dini merupakan modal besar bagi kesuksesan anak di sekolah. Peran orang tua terdiri dari: orang tua dapat mendukung perkembangan intelektual anak dan kesuksesan akademik anak dengan memberi mereka kesempatan dan akses ke sumber-sumber pendidikan seperti jenis sekolah yang dimasuki anak atau akses ke perpustakaan, multi media seperti internet dan televisi pendidikan. Orang tua dapat membentuk perkembangan kognitif anak dan pencapaian akademik secara langsung dengan cara terlibat langsung dalam aktivitas pendidikan mereka. Orang tua juga mengajarkan anak norma dalam berhubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya yang relevan dengan suasana kelas. c. Alternatif cara untuk mengakrabkan antara sekolah dan orang tua yaitu: a) Lakukan komunikasi secara intensif, secara proaktif sekolah menghubungi orang tua siswa. Ini dapat dilakukan : 1. Kirimkan ucapan selamat bergabung dengan sekolah dan BP2, bagi orang tua siswa baru, setelah perlu dilakukan perkenalan dan orientasi singkat agar orang tua mengetahui sekolah dengan aktivitasnya. 2. Rapat tertentu, sebaiknya dilakukan pada level kelas, sehingga diantara rapat dapat efektif dan orang tua dapat saling kenal. 3. Kirimkan berita sekolah secara periodik, sehingga orang tua selalu mengetahui perkembangan terakhir. 4. bagikan daftar personal sekolah secara lengkap, termasuk alamat dan tugas-tugas pokok mereka, sehingga orang tua dapat menghubungi. 5. Mengundang orang tua jika anaknya berprestasi, jangan hanya mengundang kalau anaknya bermasalah. 6. Melakukan kunjungan rumah bila diperlukan. a. Libatkan orang tua sebagai sponsor/panitia kegiatan di sekolah. b. Memberi peran orang tua untuk mengambil keputusan, sehingga merasa bertanggungjawab untuk melaksanakannya. c. Dorong guru untuk melibatkan orang tua dalam menunjang keberhasilan belajar siswa. d. Usaha yang dapat dilakukan untuk mendorong orang tua terlibat pada kegiatan di sekolah: 7. Lakukan identifikasi kebutuhan sekolah dan bagaimana orang tua dapat membantu pada kegiatan tersebut. Libatkan guru, staf dan wakil BP3 dalam identifikasi tersebut.Susun uraian tugas untuk posisi-posisi yang mungkin dapat dibantu oleh orang tua sebagai relewan. Upayakan tugas tersebut tidak terikat oleh jadwal waktu yang ketat. 8. Bantu guru untuk menyusun program relawan yang terkait dengan tugasnya. 9. Informasikan secara luas program relawan tersebut, lengkap dengan diskripsi tugas untuk setiap tugas/posisi. 10. Undang orang tua yang bersedia menjadi relawan. 11. Berikan penghargaan bagi orang tua yang telah melaksanakan tugas sebagai relawan. III. PENUTUP Mempertahankan kepuasan pelanggan membuat organisasi dapat menyadari dan menghargai kualitas. Semua usaha / manajemen dalam TQM harus diarahkan pada suatu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan, apa yang dilakukan manajemen tidak ada gunanya bila tidak melahirkan kepuasan pelanggan. Kerjasama tim dalam menangani proyek perbaikan atau pengembangan mutu pendidikan dilakukan melalui pemberdayaan (empowerment) pegawai dan kelompok kerjanya dengan pemberian tanggungjawab yang lebih besar. Eksistensi kerjasama dalam sebuah lembaga pendidikan sebagai modal utama dalam meraih mutu dan kepuasan stakeholders melalui proses perbaikan mutu secara berkesinambungan. Guru, Staf dan setiap orang dalam institusi pendidikan turut memberikan jasa kepada para kolega mereka sesama pelanggan internal. Hubungan internal yang kurang baik akan menghalangi perkembangan sebuah institusi. Salah satu tujuan TQM adalah untuk merubah sebuah institusi sekolah menjadi sebuah tim untuk meraih sebuah tujuan tunggal yaitu memuaskan seluruh pelanggan. Peran orang tua dalam motivasi diri anak sejak dini merupakan modal besar bagi kesuksesan anak di sekolah. Orang tua dapat mendukung perkembangan intelektual anak dan kesuksesan akademik anak dengan memberi mereka kesempatan dan akses ke sumber-sumber pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Anwar, 2004, Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education), Bandung: Penerbit Alfabeta AryBogdan, RC and Bihlen,SK,1982,Qualitative Reseach For Education An Introduction to Theory and Methods, London,Allyn and Bacon,Inc. BSNP, 2006, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta. Depdiknas,2001, Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) Depdiknas,2001, Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) Buku I, Jakarta _______, 2004 Pedoman Pelaksanaan Penyetaraan KMI/TMI dengan SMA, Jakarta Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depatremen Agama,2005,Pedoman Integrasi Life Skills Dalam Pembelajaran, Jakarta Edward Sallis, ( 2006 ) Total Quality Management, Alih Bahasa, Ahmad Ali Riyadi. Ircisod, Yogyakarta. Handoyo, T. Hani, 2003, Manajemen Edisi 2,, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta Hidayati, Titiek Rohana, 2005,Hubungan antara Ketrampuilan Manajerial Kepala Sekolah, pelatihan Guru, Motivasi Kerja dan Iklim Organisasi dengan Kinerja Guru Madrasah Aliyah Swasta se kabupaten jember, Unpublished Dissertation, malang:UM Malang. Irfan, Mohamad, 1997, Pengelolaan Ketrampilan di Pondok Pesantren Nurul Jadid paiton Probolinggo, Unpublished Thesis, Malang, PPS IKIP Malang Kaluge, Laurens, 2003, Sendi – sendi manajemen Pendidikan, Surabaya;UNESA University Press Mulyasa, E, 2002 Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nazir,Moh,2005, Metode Penelitian., Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia Nasution.M.N. ( 2004 ) Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta Pidarta, made,2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Suryadi Prawirosentono, 2002, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta, PT.Bumi Aksara. Sidi, 1, 2001, Strategi Pendidikan Nasional, Makalah, disampaikan pada simposium dan musyawarah Nasional 1 Alumni Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang tanggal 13-14 oktober 2001 di Malang. Syafrudin, 2002, Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan Konsep, Strategi dan Aplikasi, Jakarta, PT.Grasindo . Stephen M. and Colin Morgan, 1993, Total Quality Mangement and The School, Open University Press, Buckingham-Philadelphia. Surya Subrata ( 2004 ) Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta. PT.Rineka Cipta. Sumahamijaya, Suparman dkk,2003, Pendidikan Karakter Mandiri dan Kewiraswastaan, Suatu upaya bagi keberhasilan Program Pendidikan Berbasis Luas/BBE dan Life Skills, Bandung : PT Angkasa Ushuluddin, Win, 2002, Sintesis Pendidikan Islam Asia – Afrika,Yogyakarta: Paradigma Wahjosumidjo, 2001, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia Indonesia _______, 2003, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Rabu, 14 Desember 2011

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme dan Irasionalisme Diterjemahkan oleh: Joash Tapiheru Tahap pengambilan keputusan dalam siklus kebijakan mendapatkan perhatian lebih dalam tahap awal pengembangan ilmu kebijakan, ketika para analis banyak meminjam dari berbagai model pengambilan-keputusan dalam organisasi yang kompleks, sebagaimana dikembangkan oleh para ahli administrasi publik dan organisasi bisnis. Pada pertengahan tahun 1960-an, diskusi tentang pengambilan-keputusan kebijakan publik berubah fokus ke perdebatan seputar ‘model rasional’ dan ‘model inkremental’. Model rasional dipilih sebagai model tentang bagaimana keputusan seharusnya diambil, sementara model inkremental digambarkan sebagai model yang secara aktual paling banyak dipraktekan dalam pemerintahan. Kenyataan ini, pada dekade 1970-an, memunculkan kuatnya upaya untuk mengembangkan berbagai model pengambilan keputusan alternatif dalam berbagai organisasi yang kompleks. Sebagian upaya ini diarahkan untuk mensintesiskan model rasional dan inkremental. Sebagian yang lain – termasuk model pengambilan-keputusan yang disebut ‘garbage-can’ – berfokus pada berbagai elemen rasional dari perilaku organisasional, demi mencapai model alternative selain rasionalisme dan inkrementalisme. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul upaya untuk bergerak lebih jauh lagi dari tiga model yang umum dipakai tersebut dan mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih bernuansa terhadap berbagai proses yang kompleks terkait dengan pengambilan keputusan kebijakan publik. Tujuan dari bab ini adalah untuk membahas berbagai model yang ada dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan menelaah perkembangan terbaru di bidang ini. Bab ini akah diakhiri dengan menawarkan sebuah model alternatif pengambilan keputusan dalam pemerintahan, yang memperhitungkan permasalahan pembatasan kekuasaan dan signifansi subsistem kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas ketika kita membicarakan siklus kebijakan. BERBAGAI ISU KONSEPTUAL Gary Brewer dan Peter DeLeon menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik sebagai: Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi…Tahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik. Definisi ini memberikan beberapa poin kunci tentang tahap pengambilan-keputusan dalam pembuatan kebijakan. Pertama, pengambilan keputusan bukanlah sebuah tahap yang berdiri sendiri, atau sebuah sinonim bagi keseluruhan proses pembuatan kebijakan publik, tetapi sebuah tahap spesifik yang berakar pada tahap-tahap sebelumnya dalam siklus kebijakan. Ini melibatkan tindakan memilih dari sejumlah kecil pilihan kebijakan alternatif, sebagaimana diidentifikasikan dalam proses formulasi kebijakan, untuk memecahkan sebuah masalah publik. Kedua, definisi ini menggarisbawahi poin bahwa pengambilan-keputusan dalam kebijakan publik bukanlah sebuah hal teknis, tetapi secara inheren adalah sebuah proses politik. Di sini diakui bahwa keputusan kebijakan pulbik menciptakan ‘pemenang’ dan ‘pecundang’, bahkan jika keputusan yang diambil adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun atau mempertahankan status quo. Definisi Brewer dan DeLeon tidak mengatakan apapun tentang signifikansi, arah yang berpotensi untuk diambil, atau cakupan dari pengambilan keputusan publik. Untuk menangani isu-isu ini, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana keputusan dibuat di pemerintahan sekaligus memberikan preskripsi tentang bagaimana seharusnya keputusan dibuat. Meskipun berbagai model ini memiliki perbedaan-perbedaan signifikan, mereka juga memiliki beberapa kesamaan. Inilah yang akan kita bahas di bagian selanjutnya dari tulisan ini. Pertama, setiap model mengakui bahwa jumlah aktor kebijakan yang relevan semakin berkurang seiring dengan berjalannya proses kebijakan. Dus, agenda-setting melibatkan sejumlah besar aktor-aktor negara dan masyarakat. Pada tahap formulasi kebijakan, jumlah aktor yang relevan tetap besar, tetapi hanya mencakup aktor-aktor negara dan masyarakat yang menjadi bagian dari subsistem kebijakan. Tahap pengambilan keputusan kebijakan publik melibatkan aktor yang lebih sedikit lagi, karena tahap ini menyisihkan seluruh aktor non-negara, termasuk mereka yang berasal dari level-level pemerintahan yang lain. Hanya para politisi dan pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan otoritatif dalam area permasalahan yang berpartisipasi dalam tahap ini. Kedua, berbagai model ini juga mengakui bahwa dalam pemerintahan modern derajat kebebasan yang dinikmati oleh para pengambil keputusan dibatasi oleh sejumlah aturan yang mengatur jabatan-jabatan politik dan administrative serta membatasi pilihan-pilihan tindakan para pemegang jabatan itu. Aturan-aturan ini mulai dari konstitusi negara bersangkutan sampai mandate spesifik yang ditujukan pada individu pengambil keputusan melalui berbagai undang-undang dan regulasi. Aturan-aturan itu biasanya tidak hanya menentukan keputusan-keputusan apa yang mungkin untuk diambil oleh keagenan maupun pejabat pemerintah, tetapi juga mengatur prosedur yang harus diikuti untuk sampai pada keputusan itu. Seperti telah dicatat oleh Allison dan Halperin, berbagai aturan dan prosedur operasional itu memberikan ‘action-channels’ bagi para pengambil keputusan – seperangkat prosedur yang teregularisasi untuk menghasilkan tipe-tipe keputusan tertentu. Aturan dan SOP ini menjelaskan mengapa proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan menjadi begitu bersifat rutin dan repetitif. Sementara aturan dan SOP ini membatasi kebebasan para pengambil-keputusan, masih tersisa diskresi yang cukup besar pada individu pengambil keputusan untuk sampai pada penilaian mereka tentang cara yang terbaik untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada. Keputusan tentang proses apa yang terjadi selanjutnya dan keputusan apa yang dianggap terbaik bervariasi sebagai hasil tarik menarik antara pengambil-keputusan dan konteks di mana para pengambil keputusan ini beroperasi. Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi, sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris, Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari cabang yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Pengambil keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama atau hampir sama. Di balik area kesamaan dari berbagai model yang dikembangkan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan , model-model itu juga memiliki perbedaan yang signifikan antara satu dengan lainnya. Model yang paling banyak digunakan dalam analisa terhadap tahap ini adalah model Rasional, Inkremental, dan Garbage Con. Kita akan membahasnya satu-persatu. Model-model Pengambilan Keputusan Dua model yang paling dikenal dalam pengambilan keputusan kebijakan publik biasanya disebut dengan nama model rasional dan model inkremental. Model yang pertama pada dasarnya adalah sebuah model pengambilan keputusan bisnis yang diaplikasikan di arena publik, sementara model yang kedua adalah sebuah model politik yang diaplikasikan dalam kebijakan publik. Model-model yang lain berusaha untuk mengkombinasikan rasionalitas dan inkrementalism dengan komposisi yang berbeda-beda untuk tiap model. Sebaliknya, berbeda dengan model-model yang mengakui adanya rasionalitas; meskipun derajatnya berbeda-beda; dalam proses pengambilan keputusan, model garbage can memotret proses pengambilan keputusan sebaai sebuah proses yang pada dasarnya tidak rasional (tetapi tidak sepenuhnya irasional) yang didasarkan pada kepantasan dan perilaku pengambilan-keputusan yang telah menjadi ritual. Model Rasional Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan: 1. Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah 2. Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar 3. Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan. 4. Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut. Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’. Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional berakar pada usaha awal untuk membangun sebuah disiplin ilmu tentang perilaku organisasi dan administrasi publik. Berbagai elemen dari model ini bisa ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal seperti Henry Fayol di Perancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di Inggris dan Amerika Serikat. Dengan menjadikan ide yang dikemukakan oleh Fayol dalam dalam studinya tentang industri batu bara di Prancis menjelang abad XX, Gulick and Urwick mengkodifikasikan sebuah model yang mereka daku sebagai keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Model PODSCORB yang mereka kembangkan menyiratkan bahwa organisasi bisa memaksimalkan kinerja mereka melalui Perencanaan, Pengorganisasian, Pengambilan Keputusan, Penentuan Pilihan, Pengkoordinasian, Perekrutan dan Penganggaran yang terencana. “Pengambilan keputusan’ atas suatu tindakan tertentu, bagi Gulick dan Urwick, berarti menimbang antara keuntungan dengan biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan. Kemudian, para analist yang mengusung perspektif ini mulai beargumen bahwa bentuk pengambilan keputusan seperti ini hanya akan memberikan hasil maksimal jika seluruh alternatif yang mungkin dan biaya dari setiap alternatif dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan diambil – ini disebut model pengambilan keputusan ‘rational comprehensive’. Penekanan baru terhadap aspek komprehensif terbukti problematic, dan kritik segera bermunculan. Ada batasan-batasan manusiawi yang dimiliki oleh para pengambil keputusan untuk bisa komprehensif dalam membangun berbagai alternatif dan mengkalkulasikan keuntungan dan beban yang ditimbulkan tiap alternatif. Selain itu ada pula batasan politik dan institusional yang membatasi penseleksian opsi dan pilihan-pilihan keputusan. Model rasional-komprehensif dikritik sebagai menyesatkan, bahkan ada yang menganggapnya mendekati ‘sesat’. Mungkin salah satu kritik paling keras yang diarahkan pada model rasional adalah kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan behavioral Amerika, Herbert Simon, satu-satunya ahli administrasi publik yang pernah mendapatkan hadiah Nobel. Bermula di awal dekade 1950-an, ia berpendapat dalam serangkaian buku dan artikel bahwa ada beberapa hambatan yang tidak memungkinkan para pengambil keputusan untuk mencapai rasionalitas yang murni dan komprehensif dalam keputusan-keputusan mereka. Pertama, ada batasan-batasan kognitif pada kemampuan pengambil keputusan untuk mempertimbangkan seluruh opsi yang ada, sehingga mereka terpaksa bertindak selektif dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut. Jika demikian, maka nampaknya mereka memilih di antara opsi yang ada berdasarkan landasan ideologi atau politik, atau malah secara acak, tanpa merujuk dampak dari pilihan mereka terhadap efisiensi. Kedua, model ini mengasumsikan bahwa adalah mungkin bagi para pengambil keputusan untuk mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil, yang dalam kenyataannya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ketiga, setiap opsi kebijakan diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negative, yang menjadikan upaya komparasi berbagai konsekuensi tersebut menjadi sulit untuk dilakukan. Karena opsi yang sama bisa jadi efisien atau tidak-efisien tergantung dari situasinya, maka tidaklah mungkin bagi pengambil keputusan untuk sampai pada kesimpulan mutlak tentang alternatif mana yang lebih baik daripada alternatif lain. Penilaian Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk diri mereka sendiri dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. ‘Satisfying criterion’ ini adalah sesuatu yang nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang terbatas. Model Inkremental Berbagai keraguan tentang praktikalitas bahkan kegunaan model rasional membawa pada usaha untuk mengembangkan sebuah teori pengambilan keputusan yang lebih dekat dalam memperkirakan perilaku aktual dari para pengambil keputusan. Situasi ini mendorong munculnya model inkremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik sebagai sebuah proses yang dikarakterisasikan oleh tawar menawar dan kompromi antara berbagai pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Keputusan-keputusan yang dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel daripada diinginkan. Jasa dalam mengembangkan model inkremental dalam analisa pengambilan keputusan kebijakan publik paling layak diatributkan pada ilmuwan politik Yale University, Charles Lindblom. Ia merangkum model ini sebagai sebuah model yang terdiri dari strategi-strategi yang saling mendukung dalam melakukan penyederhanaan dan pemusatan fokus. Strategi-strategi itu adalah: • Pembatasan analisis hanya pada beberapa alternatif kebijakan yang familiar…hanya sedikit berbeda dari status quo; • Sebuah analisis tujuan kebijakan yang berjalinkelindan dan nilai-nilai dengan berbagai aspek empiris dari masalah yang dihadapi • Sebuah strategi yang mengedapankan analisis untuk mencari masalah yang ingin diselesaikan daripada tujuan-tujuan positif yang ingin dikejar; • Serangkaian percobaan, kegagalan, dan percobaan ulang; • Analisis yang mengeksplorasi hanya sebagian, bukan keseluruhan, konsekuensi-konsekuensi yang penting dari suatu alternatif yang dipertimbangkan; • Fragmentasi kerja analitis untuk berbagai partisipan dalam pembuatan kebijakan (setiap partisipan mengerjakan bagian mereka dari keseluruhan domain). Dalam pandangan Lindbolm, para pengambil keputusan mengembangkan berbagai kebijakan melalui sebuah proses membuat ‘perbandingan terbatas yang berurutan dengan kebijakan sebelumnya’, yaitu keputusan-keputusan yang sudah familiar bagi mereka. Seperti dikemukakan dalam artikelnya yang telah banyak dikutip, ‘The Science of “Muddling Through”’, para pengambil keputusan bekerja dalam sebuah proses yang secara terus menerus ‘terbangun dari situasi yang ada pada saat itu, setapak-demi-setapak dan dalam derajad yang kecil’. Keputusan yang diambil biasanya hanya sedikit berbeda dari keputusan-keputusan yang sudah ada; dengan kata lain, perubahan dari status-quo bersifat inkremental. Ada dua sebab mengapa berbagai keputusan cenderung tidak terlalu jauh berbeda dengan status quo. Pertama, karena proses tawar menawar mensyaratkan distribusi sumber daya yang terbatas di antara berbagai partisipan, maka akan lebih mudah untuk melanjutkan pola distribusi yang sudah ada daripada membuat sebuah pola baru yang berbeda secara radikal. Keuntungan dan kelemahan dari tatanan ada sudah diketahui dan dikenal oleh para aktor kebijakan, berbeda dengan ketidakpastian yang melingkupi tatanan yang masih baru, yang membuat kesepakatan untuk melakukan perubahan menjadi sulit dicapai. Hasil yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk muncul adalah kelanjutan dari status quo atau hanya perubahan kecil dari status quo. Kedua, standard operating procedure yang menjadi batu penjuru seluruh sistem birokrasi cenderung untuk lebih mengedepankan keberlanjutan atau kontinyuitas praktek-praktek yang sudah ada. Cara para birokrat mengidentifikasi berbagai opsi, metode dan kriteria untuk dipilih seringkali telah ditetapkan lebih dahulu, menghambat inovasi dan hanya mengulang tatanan yang sudah ada. Lindbolm juga berpendapat bahwa model inkremental yang mensyaratkan pemisahan antara tujuan dan cara ternyata tidak bisa dipraktekan dalam praktek, tidak hanya karena ada batasan waktu dan informasi seperti yang dikatakan Simon, tetapi juga karena para pembuat kebijakan tidak pernah benar-benar bisa memisahkan antara tujuan dan cara. Lindbolm berpendapat bahwa di sebagian besar area kebijakan, tujuan tidak bisa dipisahkan dari cara, dan tujuan apa yang dituju seringkali bergantung pada efektifitas cara yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. Karena kesepakatan atas pilihan kebijakan sulit untuk dicapai, para pengambil keputusan menghindari membuka kembali isu-isu lama atau mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan yang terlalu jauh berbeda dengan praktek-praktek yang ada, karena membuat kesepakatan menjadi semakin sulit dicapai. Hasilnya adalah berbagai keputusan kebijakan yang hanya sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan terdahulu. Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai sebuah kegiatan praktis yang berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi daripada berupaya mencapai tujuan jangka panjang. Dalam model ini, cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah ditemukan melalui trial-and-error daripada melalui evaluasi yang komprehensif dari semua cara yang ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang familiar, dan dianggap pantas, dan berhenti mencari alternatif lain ketika mereka percaya bahwa sebuah alternatif yang bisa diterima telah ditemukan. Dalam tulisan sebelumnya, Lindbolm dan para koleganya berkeyakinan bahwa kemungkinan pengambilan keputusan secara inkremental sangat mungkin ada-bersama dengan upaya-upaya untuk mencapai keputusan secara lebih rasional. Dengan demikian, Braybrooke dan Lindbolm berpendapat bahwa empat tipe pengambilan kuputusan bisa digunakan tergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, dan seberapa besar perbedaan alternatif kebijakan dengan kebijakan yang sudah ada. Ini memunculkan matix yang ditunjukan sebagai berikut: Empat Tipe Pengambilan Keputusan Tingkat pengetahuan yang ada Tinggi Rendah Perbedaan yang ada antara kebijakan alternatif dan yang terdahulu Tinggi Revolusioner Analitis Rendah Rasional Inkremental, terpisah-pisah (disjointed incremental) Sumber: diadaptasi dari David Braybrooke dan Charles Lindblom, A Strategy of Decision: Policy Evaluation as a Social Process, New York, Free Press of Glencoe, 1963 Dalam pandangan ini, sebagian besar keputusan nampaknya diambil secara incremental, melibatkan perubahan yang sangat kecil dalam situasi di mana hanya tersedia sedikit informasi dan pengetahuan. Tetapi, ada tiga kemungkinan lain, model rasional muncul sebagai salah satu kemungkinan bersama-sama dengan dua tipe yang definisinya tidak terlalu jelas – revolusioner dan analitis – dan tidak terlalu sering digunakan sebagai alternatif pengambilan-keputusan. Dalam perjalanan karir selanjutnya, Lindblom berpendapat bahwa ada spektrum style pengambilan keputusan. Spektrum ini terentang dari kutub ‘synoptic’ atau komprehensif rasional sampai pada ‘blundering’, yang artinya hanya mengikuti perkiraan-perkiraan tanpa ada upaya riil yang sistematis untuk menganalisa berbagai strategi alternatif. Spektrum itu diilustrasikan sbb.: Sebuah Spetrum Berbagai Style Pengambilan Keputusan Meskipun menerima berbagai kemungkinan teoritis bagi berbagai styles pengambilan keputusan, Lindbom dalam karya-karyanya yang kemudian menolak seluruh alternatif lain bagi model incremental berdasarkan alasan-alasan praktis. Ia berpendapat bahwa setiap analisis sinotik yang berusaha untuk mencapai keputusan-keputusan berdasarkan berbagai kriteria berorientasi maksimalisasi akan berakhir dengan kegagalan, dan seluruh pengambilan keputusan didasarkan pada, apa yang disebutnya sebagai, analisis ‘yang tidak lengkap dan tergeneralisasi’ (grossly incomplete analysis). Lindblom berpendapat, esensi dari inkrementalism adalah untuk mensistematisasikan berbagai ekputusan yang dicapai melaui cara ini, dengan menekankan pada pentingnya mencapai kesepakatan politik dan belajar dari trial-and-error, ketimbang hanya berkutat dengan keputusan-keputusan secara acak. Jika model inkremental mungkin bisa memberikan deskripsi yang akurat – yang mana klaim ini juga debatable – tentang bagaimana keputusan kebijakan publik seringkali dibuat, para kritikus ternyata juga menemukan beberapa kesalahan sebagai implikasi dari alur penelaahan yang disarankan model ini. Pertama, model ini dikritik karena sangat kurang memperhatikan orientasi tujuan. Sebagaimana dilontarkan oleh Fosters, inkrementalisme ‘akan membuat kita melintasi berbagai persimpangan berulang-ulang tanpa mengetahui kemana kita tujuan kita’. Kedua, model ini dikritik karena kecenderungan inherennya pada konservatisme, terlalu pesimis terhadap perubahan bersekala besar dan inovasi. Ketiga, model ini dikritik karena dianggap tidak demokratis, karena membatasi pengambilan keputusan hanya pada tawar menawar sekelompok kecil orang-orang pilihan, para pembuat kebijakan senior. Keempat, dengan tidak memperhatikan analisis dan perencanaan yang sistematik dan, sedikit banyak, menegasi kebutuhan untuk mencari alternatif-alternatif baru, model ini dianggap mendorong munculnya keputusan-keputusan berdasarkan perhitungan jangka-pendek, yang dikawatirkan akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif jangka panjang. Sebagai tambahan, model ini juga dikritik karena hanya memiliki kemampuan analitis yang sempit. Yehezkel Dror, contohnya, mencatat bahwa inkrementalism hanya bisa bekerja ketika ada kontinyuitas problem dalam jangka waktu yang cukup panjang, yang mana problem ini berusaha diselesaikan melalui suatu kebijakan tertentu. Model ini juga mensyaratkan cara yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan tersebut hampir selalu bisa dipakai. Pada kenyataannya, syarat-syarat ini jarang sekali terpenuhi. Inkrementalisme juga memiliki karakteristik sebagai model pengambilan keputusan dalam sebuah lingkungan yang relatif stabil, dan agak sulit untuk diaplikasikan pada situasi-situasi tidak biasa, seperti krisis. Model Tong Sampah Limitasi model rasional dan incremental membawa para ahli pembuat kebijakan publik mencari alternatif-alternatif baru. Amitai Etzioni memngembangkan pemindaian gabungan – model mixed scanning untuk menjembatani berbagai kekurangan, baik model rasional maupun incremental, dengan mengkombinasikan elemen-elemen keunggulan keduanya. Model gabungan seperti ini memberikan ruang yang lebih luas untuk inovasi daripada model incremental, tanpa terlalu dibebani dengan tuntutan-tuntutan yang tidak realistis dari model rasional. Etzioni mengatakan lebih lanjut bahwa pengambilan keputusan seperti inilah yang lebih sering terjadi dalam realitas pengambilan keputusan kebijakan publik. Adalah lazim ketika seringkaian keputusan-keputusan incremental diikuti oleh sebuah sebuah keputusan yang secara substansial berbeda, karena adanya sebuah permasalahan yang sama sekali bereda dari masalah yang dihadapi sebelumna. Karena itu, pemindaian gabungan dipandang sebuah sebuah model yang bersifat preskriptif dan juga desktriptif. Tetapi, pendekatan ini dan berbagai pendekatan lainnya sebagian besar tetap berada dalam kerangka yang dibangun oleh model rasional dan incremental. Pada dekade 1970-an, sebuah model yang sama sekali berbeda menyuarakan bahwa minimnya penggunaan rasionalitas adalah sesuatu yang inheren dalam prose pengambilan keputusan. March dan Olsen menawarkan model tong-sampah/garbage can yang menyangkal adanya penggunaan rasionalitas dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam derajad kecil sebagaimana dipaparkan dalam model inkremental. Mereka memulai dengan asumsi bahwa model-model yang lain mempertahankan asumsi adanya intensionalitas, pemahaman masalah, dan prediktibilitas relasi-relasi antar berbagai aktor yang pada kenyataannya sama sekali tidak diemui. Dalam pandangan March dan Olsen, pengambilan keputusan adalah sebuah proses yang sangat ambigu dan tak-terprediksi, dan kecil sekali kaitannya dengan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. March dan Olsen, sembari menolak instrumentalisme yang menjadi karakter sebagian besar model-model lain, berpendapat bahwa pengambilan keputusan adalah: Sebuah tong sampah kemana berbagai masalah dan solusi dilemparkan oleh para partisipan proses pengambilan keputusan. Campuran sampah dalam sebuah tong sebagian ditentukan oleh berbagai label yang ditempelkan pada tong-tong yang lain; tetapi sebagian lagi ditentukan oleh sampah seperti apa yang dihasilkan pada saat itu, pada campuran tong-tong yang tersedia, dan seberapa cepat sampah bisa dikumpulkan dan dibuang. March dan Olsen sengaja menggunakan metafora tong sampah untuk menghilangkan aura ilmiah dan rasional yang diatributkan pada proses pengambilan keputusan oleh para teoritisi sebelumnya. Mereka berusaha untuk memunculkan pemahaman bahwa seringkali para pembuat kebijakan itu sendiri tidak tahu tujuan mereka, begitu juga hubungan kausal antara problem dan tujuan kebijakan yang dihadapi. Dalam pandangan March dan Olsen, para aktor hanya mendefinisikan tujuan dan memilih cara secara serta merta, seiring dengan berjalannya proses kebijakan, yang mana hasilnya juga sangat tidak pasti dan tidak bisa diprediksi. Beberapa studi kasus telah membuktikan proposisi bahwa keputusan publik seringkali dibuat dengan cara yang sangat ad-hoc dan acak. Andersson, misalnya, pernah berpendapat bahwa bahkan keputusan-keputusan yang terkait dengan krisi Rudal Kuba sekalipun, diakui sebagai sebuah isu paling kritis selama perang dingin, dibuat dalam pilihan-pilihan simplistik pertanyaan dengan jawaban ya/tidak dalam berbagai proposal yang muncul selama pembahasan kebijakan terkait krisis tersebut. Katakanlah demikian, model tong sampah mungkin dianggap sebagai upaya yang terlalu membesar-besarkan fakta yang terjadi. Sementara tujuan utamanya mungkin bisa dikatakan cukup memberikan deskripsi yang akurat tentang bagaimana seringkali organisasi membuat kebijakan-kebijakannya, dalam contoh-contoh yang lain mungkin akan lebih masuk akal jika kita mengharapkan sesuatu yang lebih masuk akal. Terlepas dari itu semua, kekuatan utama dari model ini adalah kemampuannya untuk melepaskan diri dari perdebatan lama antara rasional vs. incremental, dan memberikan kesempatan untuk melakukan studi-studi pengambilan keputusan dalam konteks institusional yang lebih bernuansa. SEBUAH MODEL SUBSISTEM DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PUBLIK Pada awal dekade 1980-an, semakin jelas bagi para pengamat bahwa perdebatan lama antara para pendukung rasionalisme dan inkrementalisme menghambat karya emperis dan pengembangan teoritis dari subyek tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Smith dan May, ‘Sebuah perdebatan tentang keunggulan relatif model rasionalis dan inkremental telah mendominasi studi ini selama bertahun-tahun dan meskipun berbagai terma yang muncul dalam perdebatan ini telah diketahui oleh banyak orang, tetapi hampir sama sekali tidak memberikan efek bagi riset empiris di area kebijakan maupun administrasi publik’. Ketimbang melanjutkan perdebatan ini, pengarang berpendapat bahwa: Kita memerlukan lebih dari satu model untuk menjelaskan berbagai faset kehidupan organisasional. Permasalahannya bukanlah mendamaikan berbagai perbedaan yang ada antara model rasional dan incremental, tetapi membangun alternatif ketiga yang menggabungkan keunggulan dari masing-masing model tersebut. Problem yang ada adalah untuk menpertautkan keduanya, dalam arti mempertautkan realitas sosial sesungguhnya yang direpresentasikan oleh masing-masing model. Saat ini, beberapa langkah maju telah dicapai kea rah yang disarankan oleh Smith dan May. Meskipun ada sebagian kecil orang yang menginginkan untuk kembali ke sebuah model rasional komprehensif, atau sepenuhnya menolak inkrementalisme paling tidak sebagai sebuah deskripsi tentang sebagian besar pengambilan keputusan kebijakan publik actual, sebagian besar berpendapat bahwa pemikiran Braybrooke dan Lindblom tentang multiple-decision-making-styles adalah pilihan yang tepat dan adalah penting untuk menjelaskan secara cermat dalam kondisi seperti apa berbagai model pengambilan keputusan cenderung untuk diadopsi. Salah satu perkembangan yang paling menarik di sini bisa kia temukan dalam karya-karya John Forester. Ia berpendapat bahwa setidaknya ada enam model pengambilan-keputusan yang terkait dengan enam perangkat kondisi kunci. Menurutnya ‘apa yang rasional bagi untuk dilakukan oleh para administrator tergantung pada berbagai situasi di mana mereka bekerja’. Model pengambilan keputusan yang dibuat oleh para pengambil keputusan bervariasi menurut isu dan konteks institusional yang melingkupinya. Pada tahun 1984 dia menulis dalam artikelnya: Sebuah strategi bisa dipandang sebagai sesuatu yang praktis dan berguna atau sia-sia tergantung dari kondisi yang sedang dihadapi. Dalam waktu, keahlian, data dan permasalahan yang terdefinisikan dengan jelas, kalkulasi teknis mungkin bisa menjadi sesuatu yang berguna; tetapi jika waktu, data, definisi, dan kalkulasi tidak terdefinisi dengan jelas, kalkulasi semacam itu akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Dalam lingkungan organisasional yang kompleks, ketika muncul kebutuhan akan informasi, jejaring intelijen akan sama penting, atau bahkan lebih penting, daripada dokumen. Dalam sebuah lingkungan konflik antar-organisasi, tawar menawar dan kompromi menjadi sesuatu yang sangat penting. Strategi-strategi administratif hanya menjadi strategi yang efektif dalam sebuah konteks politik dan organisasional. Forester berpendapat bahwa agar pengambilan keputusan menurut model rasional maka syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi. Pertama, jumlah agen (pengambil keputusan) harus dibatasi, bila perlu sesedikit mungkin. Kedua, tatanan organisasional bagi keputusan harus seerhana dan tertutup dari pengaruh aktor-aktor kebijakan lain. Ketiga, permasalahan yang dihadapi harus terdefinisi dengan jelas; dengan kata lain, scope, horizon, dimensi nilai, dan rantai konsekuensi harus betul-betul diketahui dan dipahami. Keempat, informasi harus sesempurna mungkin diketahui, dengan kata lain lengkap, aksesibel, dan bisa dipahami. Terakhir, tidak boleh ada desakan untuk mengambil keputusan secepat mungkin; yaitu, waktu yang tersedia bagi pengambil keputusan harus tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga mereka bisa mempertimbangkan seluruh kontingensi yang mungkin terjadi beserta konsekuensi yang sedang maupun akan dihadapi. Ketika syarat-syarat ini bisa dipenuhi secara sempurna, pengambilan keputusan yang rasional bisa kita harapkan. Jika kelima syarat ini tidak terpenuhi, yang mana menjadi kasus yang paling sering muncul dalam praktek, Forester berpendapat bahwa kita akan menemukan model-model pengambilan keputusan yang lain. Dengan demikian jumlah agen bisa bertambah sampai jumlah yang tidak terbatas; tatanan yang ada bisa mencakup berbagai organisasi yang berbeda dan relatif terbuka bagi pengaruh-pengaruh eksternal; permasalahan yang dihadapi akan bersifat ambigu atau multitafsir; informasi tidak lengkap, menyesatkan atau secara sengaja dimanipulasi’ dan waktu yang tersedia bisa jadi terbatas atau juga sengaja dimanipulasi. Bagan berikut menggambarkan berbagai parameter pengambilan keputusan. Berbagai parameter pengambilan keputusan Variabel Dimensi 1 Agen Tunggal – Banyak 2 Setting Tunggal, tertutup – Banyak, terbuka 3 Permasalahan Terdefinisi dengan jelas – Multitafsir, ambigu 4 Informasi Sempurna – dikontestasikan 5 Waktu Tak terbatas – dimanipulasi Sumber: diadaptasi dari John Forester: ‘Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through’. Public Administration Review 44, 1 (1984);26 Dari perspektif ini, Foreseter berpendapat bahwa ada lima kemungkinan model pengambilan keputusan: Optimalisasi, Satisfycing, Pencarian (Search), Tawar-menawar (Bargain), dan Organisasional. Optimilasisi adalah strategi yang digunakan ketika syarat-syarat model rasional komprehensif, seperti dipaparkan di atas, sepenuhnya terpenuhi. Prevalensi model-model lain bergantung pada seberapa banyak syarat yang tidak terpenuhi. Ketika limitasi-limitasi yang ada bersifat kognitif, untuk berbagai alasan yang dikemukakan sebelumnya, nampaknya akan lebih baik jika kita menggunakan model satisfycing. Model-model lain yang disarankan oleh Forester saling tumpang-tindih sehingga sulit untuk membedakan dan memaparkannya satu persatu. Model Pencarian adalah salah satu model yang bisa digunakan ketika problem yang dihadapi tidak terdefinisi dengan jelas. Sementara, model tawar-menawar adalah model yang bisa ditemukan ketika berbagai aktor harus mengambil keputusan dalam situasi ketiadaan informasi yang lengkap dan waktu yang mendesak. Model organisasional melibatkan berbagai setting dan aktor, yang meskipun sumberdaya waktu dan informasi tersedia, tetapi dihadapkan pada permasalahan yang beragam. Pendek kata, model-model pengambilan keputusan ini melibatkan jumlah aktor yang lebih banyak, setting yang lebih kompleks, permasalahan yang lebih beragam dan kabut, informasi yang tidak lengkap dan terdistorsi, dan waktu yang terbatas dan mendesak. Meskipun pemikiran Forester menjadi sebuah langkah maju penting dalam memberikan klasifikasi dan taksonomi, dan tentu saja memberikan alternatif pilihan yang berguna, selain model rasional, inkremental dan garbage-can, tetapi apa yang dilakukannya hanyalah langkah awal dalam membangun sebuah model pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebuah masalah besar dalam taksonomi yang dibangunnya adalah keterputusannya dari argument-argumennya sendiri. Sebuah penelaahan yang tertutup dari pembahasannya tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mengungkapkan bahwa orang akan berharap untuk menemukan lebih dari satu model yang mungkin muncul dari lima pilihan model kombinasi dan permutasi variabel-variabel yang dikemukakannya. Meskipun berbagai kategori, dalam prakteknya, tidak bisa dipilah-pilah dan, dalam berbagai kesempatan, tidak terlalu berguna bagi tujuan analitis, alasan mengapa seseorang harus menggunakan salah satu model yang dikemukakannya tetap merupakan sesuatu yang tidak jelas. Kita bisa mengembangkan model Forester dengan mendesain ulang variabel-variabelnya. Studi tentang ‘agen’ dan ‘setting’ bisa disempurnakan dengan berfokus pada subsistem kebijakan, sementara pemikiran tentang ‘permasalahan’, ‘informasi’ dan ‘waktu’ bisa dilihat sebagai pemikiran yang terkait dengan tipe-tipe konstrain yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Dengan demikian, dua variabel utama di sini adalah (1) kompleksitas subsistem kebijakan yang menangani permasalahan yang ada dan (2) seberapa besar konstrain yang harus dihadapi. Kompleksitas subsistem kebijakan mempengaruhi kemungkinan keberhasilan mencapai kesepakatan atau opisisi terhadap suatu pilihan dalam subsistem tersebut. Beberapa pilihan dianggap sejalan dengan nilai-nilai utama yang dipegang oleh anggota subsistem sementara sebagian yang lain tidak, sehingga kompleksitas subsistem ini menstrukturkan keputusan-keputusan dalam kategori pilihan-pilihan keras atau lunak. Mirip dengan itu, pengambilan keputusan relatif dibatasi oleh informasi dan waktu, dan juga kejelasan masalah. Bagan berikut menggambarkan empat model dasar pengambilan keputusan. Empat model ini muncul sebagai basis dari dua dimensi yang dipaparkan dalam analisis ini: kompleksitas subsistem dan derajat konstrain. Model Dasar PengambilanKeputusan Kompleksitas subsistem kebijakan Derajat konstrain Tinggi Rendah Tinggi Incremental adjustment Satisfying Search Rendah Optimizing adjustment Rational Search Sumber: dimodifikasi menurut Martin J. Smith, ‘Policy Networks and State Autonomy,’ dalam Political Influence of Ideas: Policy Communities and the Socieal Sciences, eds. S. Brooks dan A.-G. Gagnon. New York: Praeger, 1994. Dalam model ini, subsistem kebijakan yang kompleks akan cenderung memunculkan strategi-strategi penyesuaian (adjustment) daripada strategi pencarian (search). Situasi tingginya derajat konstrain cenderung menghasilan suatu pendekatan tawar menawar dalam pengambilan keputusan, sementara situasi di mana derajat konstrain rendah cenderung memunculkan aktifitas opmtimalisasi atau rasional. Jika digabungkan, kedua variabel ini menghasilkan empat model dasar pengambilan keputusan. Penyesuaian inkremental gaya Lindblom cenderung muncul dalam situasi ketika subsistem yang ada bersifat kompleks dan derajat konstrain yang tinggi. Dalam situasi semacam itu kita bisa perkirakan bahwa akan jarang muncul keputusan-keputusan bersekala besar dan beresiko tinggi. Pada skenario sebaliknya, ketika subsismtem kebijakan yang ada sederhana dan derajat konstrain rendah, pendekatan pencarian rasional dan perubahan besar sangat mungkin untuk dilakukan. Ketika ada sebuah subsistem yang kompleks dan derajat konstrain yang rendah, maka akan ada kecenderungan untuk memunculkan strategi penyesuaian, tetapi kali ini ditujukan untuk mencapai optimalisasi. Terakhir, ketika derajat konstrain tinggi, tetapi kompleksitas subsistem rendah, strategi-strategi satisfycing akan menjadi kecenderungan yang umum terjadi. KESIMPULAN Karakter esensial dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik sama seperti tahap-tahap lainnya dalam proses kebijakan. Sama halnya dengan tahapan sebelumnya dalam proses kebijakan publik, tahap pengambilan keputusan bervariasi menurut sifat alami dari subsistem kebijakan yang terlibat dalam proses itu dan derajat konstrain yang dihadapi oleh para pengambil-keputusan. Sebagaimana dirangkum oleh John Forester, apa yang rasional bagi para administrator dan politisi ditentukan oleh situasi di mana mereka bekerja. Didesak untuk segera memberikan rekomendasi, maka para pengambil keputusan ini tidak bisa melakukan studi yang mendalam. Ketika dihadapkan pada persaingan dan kompetisi organisasional, maka adalah sangat rasional jika para pengambil keputusan ini menjadi lebih tertutup. Apa yang rasional untuk dilakukan ditentukan oleh konteks yang dihadapi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam administrasi publik. Bacaan Pendukung Cahill, Anthony & E. Sam Overman, ‘The Evolution of Rationality in Policy Analysis’, hlm. 11-27 dalam Stuart S. Nagel (ed.). Policy Theory and Policy Evaluation. New York: Greenwood, 1990. Cohen, M., J. March & J. Olsen, ‘A Garbage Can Model of Organizational Choice’, Administrative Science Quarterly, 17, 1 (1972): 1-25. Etzioni, Amitai, ‘Mixed-scanning: A “Third” Approach to Decision-Making’, Public Administration Revew 44 (1984): 23-30. Forrester, John, ‘Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through’, Public Administration Review 44 (1984): 23-30. Lindblom, Charles, ‘The Science of Muddling Through’, Public Administration Review 19 (1959): 79-88. MacRae, Duncan Jr., & James A. Wilde. Policy Analysis for Public Decisions. Lanham, MD: University Press of America, 1985. Simon, Herbert, ‘A Behavioral Model of Rational Choice’, Quarterly Journal of Economics 69, 1 (1955): 99-118. Smith, Gilbert & David May, ‘The Artificial Debate Between Rationalist and Incrementalist Models of Decision-Making’, Policy and Politics 8 (1980): 147-61.

Selasa, 13 Desember 2011

PETUGAS BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DAN MADRASAH DAN SYARAT-SYARATNYA

BAB VI PETUGAS BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DAN MADRASAH DAN SYARAT-SYARATNYA A. Petugas Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah Secara umum dikenal dua type petugas bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah, yaitu type professional dan nonprofessional. Petugas bimbingan dan konseling professional adalah mereka yang direkrut atau diangkat atas dasar kepemilikan ijazah atau latar belakang pendidikan profesi dan melaksanakan tugas khusus sebagai guru BK (tidak mengajar). Petugas bimbingan dan konseling professional rekrut atau diangkat sesuai klasifikasi keilmuannya dan latar belakang pendidikan seperti Diploma II, III atau Sarjana Strata Satu (S1), S2, dan S3 jurusan bimbingan dan konseling. Petugas bimbingan professional mencurahkan sepenuh waktunya pada pelayanan bimbingan dan konseling (tidak mengajarkan materi pelajaran) atau disebut juga full time guidance and conseling. Tenaga professional bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah bias lebih dari satu orang. Apabila sekolah dan madrasah berpegang pada pola spesialis, tenaga professional menjadi tenaga inti dan memegang peranan kunci dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah yang bersangkutan. Petugas BK atau guru BK non-profesional adalah mereka yang dipilih dan diangkat tidak berdasarkan keilmuan atau latar belakang pendidikan profesi. Yang termasuk ke dalam petugas BK non-profesional di sekolah dan madrasah adalah: 1. Guru wali kelas yang selain memegang kelas tertentu diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai petugas atau guru BK. Petugas BK yang seperti ini memiliki tugas rangkap. Alas an penetapan wali kelas sebagai petugas BK selain sebagai wali kelas adalah karena wali kelas dekat dengan siswanya sehingga wali kelas dapat dengan segera mengetahui berbagai persoalan siswanya. 2. Guru pembimbing yaitu seorang guru yang selain mengajar pada mata pelajaran tertentu, terlibat juga dalam pelayanan bimbingan dan konseling (part time teacher and part time counselor). Guru BK model ini termasuk memiliki tugas rangkap. Guru mata pelajaran yang bias diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai guru BK misalnya guru agama, guru PPKN, dan guru-guru lain terutama guru yang tidak memiliki jam pelajaran. 3. Guru mata pelajaran tertentu yang diserahi tugas khusus menjadi petugas (guru BK). Petugas BK model ini tidak merangkap tugas. Tugas dan tanggung jawab pokoknya adalah memberikan pelajaran pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa. 4. Kepala sekolah (madrasah) yang bertanggung jawab atas sekurang-jurangnya 40 orang siswa. Pertimbangan penetapan tenaga bimbingan model ini di sekolah dan madrasah adalah kepala sekolah (madrasah) berasal dari jabatan fungsional (guru) sedangkan jabatan kepala sekolah (madrasah) adalah structural. Agar fungsinya sebagai pejabat fungsional tidak tanggal, maka kepala sekolah (madrasah) biasanya disserahi tugas dan tanggung jawab membimbing 40 orang siswa. B. Syarat-syarat Pembimbing (Konselor) Sekolah dan Madrasah Arifin dan Eti Kartikawati (1994/1995) menyatakan bahwa petugas bimbingan dan konseling di sekolah (termasuk madrasah) dipilih atas dasar kualifikasi: 1) Kepribadian, 2) Pendidikan, 3) Pengalaman, 4) Kemampuan Berdasarkan kualifikasi di atas, setidaknya untuk memilih atau mengangkat seorang guru pembimbing atau konselor di seolah (madrasah) harus mememnuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan: kepribadiannya, pendidikannya, pengalamannya, dan kemampuannya. 1. Syarat yang Berkenan dengan Kepribadian Seorang guru pembimbing atau konselor harus memiliki kepribadian baik. Pelayanan bimbingan dan konseling berkaitan dengan pembentukan perilaku dan kepribadian klien. Melalui konseling diharapkan terbentuk perilaku positif (akhlak baik) dan kepribadian yang baik pula pada diri klien. Upaya ini akan efektif apabila diakukan olh sesorang yang memiliki kepribadian baik pula. Selain itu, praktik bimbingan dam konseling berlandaskan atas norma-norma tertentu. Dengan kepribadian yang baik, diharapkan tidak terjadi pelanggaran terhadap norma0norma yang bias merusak citra pelayanan bimbingan dan konseling. Dalam keadaan tertentu seorang guru pembimbing (konselor) bias menjadi model atau contoh yang baik bagi penyelesaian masalah siswa (klien). Dalam konteks ini ada teori counseling by modeling, yaitu konseling melalui percontohan. Guru pembimbing atau konselor bias menjadi contoh yang efektif bagi pemecahan masalah siswa (kliennya). Guru pembimbing (konselor) tidak akan dapat menjadikan fungsi ini apabila dirinya tidak memliki kepribadian yang baik. Misalnya konselor akan sulit mengubah perilaku siswa yang tidak disiplin apabila ia sendiri tidak dapat menunjukan perilaku disiplin kepada para siswa. Konselor akan sulit mengubah sifat siswa yang emosional apabila ia sendiri adalah orang yang emosional dan seterusnya. Dalam praktik bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, syarat ini menjadi lebih urgen. Sebagi lembaga pendidikan agama Islam yangbdalam praktik pendidikan dan pembelajarannya dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, maka praktik pelayanan bimbingan dan konselingnya pun dijiwai dan dilandasi noleh nilai-nilai ajaran Islam. Salah satu nilainya adalah pembimbingbing atau konselornya harus berakhlak baik (memiliki akhlak al0karimah). Mungkin tidak berlebihan apabila praktik bimbingan dan konseling yang dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai ajaran islam mengacu kepada praktik bimbingan dan konselingnya Rasululloh SAW. Rasululloh SAW adalah sosok pemecah masalah umat yang efektif. Oleh sebab itu, Rasululloh SAW merupakan konselor pertama dalam Islam yang membimbing, mengarahkan, menuntun dan menasihati umat agar beriman kepada agama Tauhid (Islam).

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme dan Irasionalisme Diterjemahkan oleh: Joash Tapiheru Tahap pengambilan keputusan dalam siklus kebijakan mendapatkan perhatian lebih dalam tahap awal pengembangan ilmu kebijakan, ketika para analis banyak meminjam dari berbagai model pengambilan-keputusan dalam organisasi yang kompleks, sebagaimana dikembangkan oleh para ahli administrasi publik dan organisasi bisnis. Pada pertengahan tahun 1960-an, diskusi tentang pengambilan-keputusan kebijakan publik berubah fokus ke perdebatan seputar ‘model rasional’ dan ‘model inkremental’. Model rasional dipilih sebagai model tentang bagaimana keputusan seharusnya diambil, sementara model inkremental digambarkan sebagai model yang secara aktual paling banyak dipraktekan dalam pemerintahan. Kenyataan ini, pada dekade 1970-an, memunculkan kuatnya upaya untuk mengembangkan berbagai model pengambilan keputusan alternatif dalam berbagai organisasi yang kompleks. Sebagian upaya ini diarahkan untuk mensintesiskan model rasional dan inkremental. Sebagian yang lain – termasuk model pengambilan-keputusan yang disebut ‘garbage-can’ – berfokus pada berbagai elemen rasional dari perilaku organisasional, demi mencapai model alternative selain rasionalisme dan inkrementalisme. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul upaya untuk bergerak lebih jauh lagi dari tiga model yang umum dipakai tersebut dan mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih bernuansa terhadap berbagai proses yang kompleks terkait dengan pengambilan keputusan kebijakan publik. Tujuan dari bab ini adalah untuk membahas berbagai model yang ada dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan menelaah perkembangan terbaru di bidang ini. Bab ini akah diakhiri dengan menawarkan sebuah model alternatif pengambilan keputusan dalam pemerintahan, yang memperhitungkan permasalahan pembatasan kekuasaan dan signifansi subsistem kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas ketika kita membicarakan siklus kebijakan. BERBAGAI ISU KONSEPTUAL Gary Brewer dan Peter DeLeon menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik sebagai: Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi…Tahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik. Definisi ini memberikan beberapa poin kunci tentang tahap pengambilan-keputusan dalam pembuatan kebijakan. Pertama, pengambilan keputusan bukanlah sebuah tahap yang berdiri sendiri, atau sebuah sinonim bagi keseluruhan proses pembuatan kebijakan publik, tetapi sebuah tahap spesifik yang berakar pada tahap-tahap sebelumnya dalam siklus kebijakan. Ini melibatkan tindakan memilih dari sejumlah kecil pilihan kebijakan alternatif, sebagaimana diidentifikasikan dalam proses formulasi kebijakan, untuk memecahkan sebuah masalah publik. Kedua, definisi ini menggarisbawahi poin bahwa pengambilan-keputusan dalam kebijakan publik bukanlah sebuah hal teknis, tetapi secara inheren adalah sebuah proses politik. Di sini diakui bahwa keputusan kebijakan pulbik menciptakan ‘pemenang’ dan ‘pecundang’, bahkan jika keputusan yang diambil adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun atau mempertahankan status quo. Definisi Brewer dan DeLeon tidak mengatakan apapun tentang signifikansi, arah yang berpotensi untuk diambil, atau cakupan dari pengambilan keputusan publik. Untuk menangani isu-isu ini, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana keputusan dibuat di pemerintahan sekaligus memberikan preskripsi tentang bagaimana seharusnya keputusan dibuat. Meskipun berbagai model ini memiliki perbedaan-perbedaan signifikan, mereka juga memiliki beberapa kesamaan. Inilah yang akan kita bahas di bagian selanjutnya dari tulisan ini. Pertama, setiap model mengakui bahwa jumlah aktor kebijakan yang relevan semakin berkurang seiring dengan berjalannya proses kebijakan. Dus, agenda-setting melibatkan sejumlah besar aktor-aktor negara dan masyarakat. Pada tahap formulasi kebijakan, jumlah aktor yang relevan tetap besar, tetapi hanya mencakup aktor-aktor negara dan masyarakat yang menjadi bagian dari subsistem kebijakan. Tahap pengambilan keputusan kebijakan publik melibatkan aktor yang lebih sedikit lagi, karena tahap ini menyisihkan seluruh aktor non-negara, termasuk mereka yang berasal dari level-level pemerintahan yang lain. Hanya para politisi dan pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan otoritatif dalam area permasalahan yang berpartisipasi dalam tahap ini. Kedua, berbagai model ini juga mengakui bahwa dalam pemerintahan modern derajat kebebasan yang dinikmati oleh para pengambil keputusan dibatasi oleh sejumlah aturan yang mengatur jabatan-jabatan politik dan administrative serta membatasi pilihan-pilihan tindakan para pemegang jabatan itu. Aturan-aturan ini mulai dari konstitusi negara bersangkutan sampai mandate spesifik yang ditujukan pada individu pengambil keputusan melalui berbagai undang-undang dan regulasi. Aturan-aturan itu biasanya tidak hanya menentukan keputusan-keputusan apa yang mungkin untuk diambil oleh keagenan maupun pejabat pemerintah, tetapi juga mengatur prosedur yang harus diikuti untuk sampai pada keputusan itu. Seperti telah dicatat oleh Allison dan Halperin, berbagai aturan dan prosedur operasional itu memberikan ‘action-channels’ bagi para pengambil keputusan – seperangkat prosedur yang teregularisasi untuk menghasilkan tipe-tipe keputusan tertentu. Aturan dan SOP ini menjelaskan mengapa proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan menjadi begitu bersifat rutin dan repetitif. Sementara aturan dan SOP ini membatasi kebebasan para pengambil-keputusan, masih tersisa diskresi yang cukup besar pada individu pengambil keputusan untuk sampai pada penilaian mereka tentang cara yang terbaik untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada. Keputusan tentang proses apa yang terjadi selanjutnya dan keputusan apa yang dianggap terbaik bervariasi sebagai hasil tarik menarik antara pengambil-keputusan dan konteks di mana para pengambil keputusan ini beroperasi. Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi, sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris, Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari cabang yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Pengambil keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama atau hampir sama. Di balik area kesamaan dari berbagai model yang dikembangkan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan , model-model itu juga memiliki perbedaan yang signifikan antara satu dengan lainnya. Model yang paling banyak digunakan dalam analisa terhadap tahap ini adalah model Rasional, Inkremental, dan Garbage Con. Kita akan membahasnya satu-persatu. Model-model Pengambilan Keputusan Dua model yang paling dikenal dalam pengambilan keputusan kebijakan publik biasanya disebut dengan nama model rasional dan model inkremental. Model yang pertama pada dasarnya adalah sebuah model pengambilan keputusan bisnis yang diaplikasikan di arena publik, sementara model yang kedua adalah sebuah model politik yang diaplikasikan dalam kebijakan publik. Model-model yang lain berusaha untuk mengkombinasikan rasionalitas dan inkrementalism dengan komposisi yang berbeda-beda untuk tiap model. Sebaliknya, berbeda dengan model-model yang mengakui adanya rasionalitas; meskipun derajatnya berbeda-beda; dalam proses pengambilan keputusan, model garbage can memotret proses pengambilan keputusan sebaai sebuah proses yang pada dasarnya tidak rasional (tetapi tidak sepenuhnya irasional) yang didasarkan pada kepantasan dan perilaku pengambilan-keputusan yang telah menjadi ritual. Model Rasional Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan: 1. Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah 2. Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar 3. Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan. 4. Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut. Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’. Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional berakar pada usaha awal untuk membangun sebuah disiplin ilmu tentang perilaku organisasi dan administrasi publik. Berbagai elemen dari model ini bisa ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal seperti Henry Fayol di Perancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di Inggris dan Amerika Serikat. Dengan menjadikan ide yang dikemukakan oleh Fayol dalam dalam studinya tentang industri batu bara di Prancis menjelang abad XX, Gulick and Urwick mengkodifikasikan sebuah model yang mereka daku sebagai keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Model PODSCORB yang mereka kembangkan menyiratkan bahwa organisasi bisa memaksimalkan kinerja mereka melalui Perencanaan, Pengorganisasian, Pengambilan Keputusan, Penentuan Pilihan, Pengkoordinasian, Perekrutan dan Penganggaran yang terencana. “Pengambilan keputusan’ atas suatu tindakan tertentu, bagi Gulick dan Urwick, berarti menimbang antara keuntungan dengan biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan. Kemudian, para analist yang mengusung perspektif ini mulai beargumen bahwa bentuk pengambilan keputusan seperti ini hanya akan memberikan hasil maksimal jika seluruh alternatif yang mungkin dan biaya dari setiap alternatif dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan diambil – ini disebut model pengambilan keputusan ‘rational comprehensive’. Penekanan baru terhadap aspek komprehensif terbukti problematic, dan kritik segera bermunculan. Ada batasan-batasan manusiawi yang dimiliki oleh para pengambil keputusan untuk bisa komprehensif dalam membangun berbagai alternatif dan mengkalkulasikan keuntungan dan beban yang ditimbulkan tiap alternatif. Selain itu ada pula batasan politik dan institusional yang membatasi penseleksian opsi dan pilihan-pilihan keputusan. Model rasional-komprehensif dikritik sebagai menyesatkan, bahkan ada yang menganggapnya mendekati ‘sesat’. Mungkin salah satu kritik paling keras yang diarahkan pada model rasional adalah kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan behavioral Amerika, Herbert Simon, satu-satunya ahli administrasi publik yang pernah mendapatkan hadiah Nobel. Bermula di awal dekade 1950-an, ia berpendapat dalam serangkaian buku dan artikel bahwa ada beberapa hambatan yang tidak memungkinkan para pengambil keputusan untuk mencapai rasionalitas yang murni dan komprehensif dalam keputusan-keputusan mereka. Pertama, ada batasan-batasan kognitif pada kemampuan pengambil keputusan untuk mempertimbangkan seluruh opsi yang ada, sehingga mereka terpaksa bertindak selektif dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut. Jika demikian, maka nampaknya mereka memilih di antara opsi yang ada berdasarkan landasan ideologi atau politik, atau malah secara acak, tanpa merujuk dampak dari pilihan mereka terhadap efisiensi. Kedua, model ini mengasumsikan bahwa adalah mungkin bagi para pengambil keputusan untuk mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil, yang dalam kenyataannya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ketiga, setiap opsi kebijakan diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negative, yang menjadikan upaya komparasi berbagai konsekuensi tersebut menjadi sulit untuk dilakukan. Karena opsi yang sama bisa jadi efisien atau tidak-efisien tergantung dari situasinya, maka tidaklah mungkin bagi pengambil keputusan untuk sampai pada kesimpulan mutlak tentang alternatif mana yang lebih baik daripada alternatif lain. Penilaian Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk diri mereka sendiri dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. ‘Satisfying criterion’ ini adalah sesuatu yang nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang terbatas. Model Inkremental Berbagai keraguan tentang praktikalitas bahkan kegunaan model rasional membawa pada usaha untuk mengembangkan sebuah teori pengambilan keputusan yang lebih dekat dalam memperkirakan perilaku aktual dari para pengambil keputusan. Situasi ini mendorong munculnya model inkremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik sebagai sebuah proses yang dikarakterisasikan oleh tawar menawar dan kompromi antara berbagai pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Keputusan-keputusan yang dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel daripada diinginkan. Jasa dalam mengembangkan model inkremental dalam analisa pengambilan keputusan kebijakan publik paling layak diatributkan pada ilmuwan politik Yale University, Charles Lindblom. Ia merangkum model ini sebagai sebuah model yang terdiri dari strategi-strategi yang saling mendukung dalam melakukan penyederhanaan dan pemusatan fokus. Strategi-strategi itu adalah: • Pembatasan analisis hanya pada beberapa alternatif kebijakan yang familiar…hanya sedikit berbeda dari status quo; • Sebuah analisis tujuan kebijakan yang berjalinkelindan dan nilai-nilai dengan berbagai aspek empiris dari masalah yang dihadapi • Sebuah strategi yang mengedapankan analisis untuk mencari masalah yang ingin diselesaikan daripada tujuan-tujuan positif yang ingin dikejar; • Serangkaian percobaan, kegagalan, dan percobaan ulang; • Analisis yang mengeksplorasi hanya sebagian, bukan keseluruhan, konsekuensi-konsekuensi yang penting dari suatu alternatif yang dipertimbangkan; • Fragmentasi kerja analitis untuk berbagai partisipan dalam pembuatan kebijakan (setiap partisipan mengerjakan bagian mereka dari keseluruhan domain). Dalam pandangan Lindbolm, para pengambil keputusan mengembangkan berbagai kebijakan melalui sebuah proses membuat ‘perbandingan terbatas yang berurutan dengan kebijakan sebelumnya’, yaitu keputusan-keputusan yang sudah familiar bagi mereka. Seperti dikemukakan dalam artikelnya yang telah banyak dikutip, ‘The Science of “Muddling Through”’, para pengambil keputusan bekerja dalam sebuah proses yang secara terus menerus ‘terbangun dari situasi yang ada pada saat itu, setapak-demi-setapak dan dalam derajad yang kecil’. Keputusan yang diambil biasanya hanya sedikit berbeda dari keputusan-keputusan yang sudah ada; dengan kata lain, perubahan dari status-quo bersifat inkremental. Ada dua sebab mengapa berbagai keputusan cenderung tidak terlalu jauh berbeda dengan status quo. Pertama, karena proses tawar menawar mensyaratkan distribusi sumber daya yang terbatas di antara berbagai partisipan, maka akan lebih mudah untuk melanjutkan pola distribusi yang sudah ada daripada membuat sebuah pola baru yang berbeda secara radikal. Keuntungan dan kelemahan dari tatanan ada sudah diketahui dan dikenal oleh para aktor kebijakan, berbeda dengan ketidakpastian yang melingkupi tatanan yang masih baru, yang membuat kesepakatan untuk melakukan perubahan menjadi sulit dicapai. Hasil yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk muncul adalah kelanjutan dari status quo atau hanya perubahan kecil dari status quo. Kedua, standard operating procedure yang menjadi batu penjuru seluruh sistem birokrasi cenderung untuk lebih mengedepankan keberlanjutan atau kontinyuitas praktek-praktek yang sudah ada. Cara para birokrat mengidentifikasi berbagai opsi, metode dan kriteria untuk dipilih seringkali telah ditetapkan lebih dahulu, menghambat inovasi dan hanya mengulang tatanan yang sudah ada. Lindbolm juga berpendapat bahwa model inkremental yang mensyaratkan pemisahan antara tujuan dan cara ternyata tidak bisa dipraktekan dalam praktek, tidak hanya karena ada batasan waktu dan informasi seperti yang dikatakan Simon, tetapi juga karena para pembuat kebijakan tidak pernah benar-benar bisa memisahkan antara tujuan dan cara. Lindbolm berpendapat bahwa di sebagian besar area kebijakan, tujuan tidak bisa dipisahkan dari cara, dan tujuan apa yang dituju seringkali bergantung pada efektifitas cara yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. Karena kesepakatan atas pilihan kebijakan sulit untuk dicapai, para pengambil keputusan menghindari membuka kembali isu-isu lama atau mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan yang terlalu jauh berbeda dengan praktek-praktek yang ada, karena membuat kesepakatan menjadi semakin sulit dicapai. Hasilnya adalah berbagai keputusan kebijakan yang hanya sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan terdahulu. Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai sebuah kegiatan praktis yang berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi daripada berupaya mencapai tujuan jangka panjang. Dalam model ini, cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah ditemukan melalui trial-and-error daripada melalui evaluasi yang komprehensif dari semua cara yang ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang familiar, dan dianggap pantas, dan berhenti mencari alternatif lain ketika mereka percaya bahwa sebuah alternatif yang bisa diterima telah ditemukan. Dalam tulisan sebelumnya, Lindbolm dan para koleganya berkeyakinan bahwa kemungkinan pengambilan keputusan secara inkremental sangat mungkin ada-bersama dengan upaya-upaya untuk mencapai keputusan secara lebih rasional. Dengan demikian, Braybrooke dan Lindbolm berpendapat bahwa empat tipe pengambilan kuputusan bisa digunakan tergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, dan seberapa besar perbedaan alternatif kebijakan dengan kebijakan yang sudah ada. Ini memunculkan matix yang ditunjukan sebagai berikut: Empat Tipe Pengambilan Keputusan Tingkat pengetahuan yang ada Tinggi Rendah Perbedaan yang ada antara kebijakan alternatif dan yang terdahulu Tinggi Revolusioner Analitis Rendah Rasional Inkremental, terpisah-pisah (disjointed incremental) Sumber: diadaptasi dari David Braybrooke dan Charles Lindblom, A Strategy of Decision: Policy Evaluation as a Social Process, New York, Free Press of Glencoe, 1963 Dalam pandangan ini, sebagian besar keputusan nampaknya diambil secara incremental, melibatkan perubahan yang sangat kecil dalam situasi di mana hanya tersedia sedikit informasi dan pengetahuan. Tetapi, ada tiga kemungkinan lain, model rasional muncul sebagai salah satu kemungkinan bersama-sama dengan dua tipe yang definisinya tidak terlalu jelas – revolusioner dan analitis – dan tidak terlalu sering digunakan sebagai alternatif pengambilan-keputusan. Dalam perjalanan karir selanjutnya, Lindblom berpendapat bahwa ada spektrum style pengambilan keputusan. Spektrum ini terentang dari kutub ‘synoptic’ atau komprehensif rasional sampai pada ‘blundering’, yang artinya hanya mengikuti perkiraan-perkiraan tanpa ada upaya riil yang sistematis untuk menganalisa berbagai strategi alternatif. Spektrum itu diilustrasikan sbb.: Sebuah Spetrum Berbagai Style Pengambilan Keputusan Meskipun menerima berbagai kemungkinan teoritis bagi berbagai styles pengambilan keputusan, Lindbom dalam karya-karyanya yang kemudian menolak seluruh alternatif lain bagi model incremental berdasarkan alasan-alasan praktis. Ia berpendapat bahwa setiap analisis sinotik yang berusaha untuk mencapai keputusan-keputusan berdasarkan berbagai kriteria berorientasi maksimalisasi akan berakhir dengan kegagalan, dan seluruh pengambilan keputusan didasarkan pada, apa yang disebutnya sebagai, analisis ‘yang tidak lengkap dan tergeneralisasi’ (grossly incomplete analysis). Lindblom berpendapat, esensi dari inkrementalism adalah untuk mensistematisasikan berbagai ekputusan yang dicapai melaui cara ini, dengan menekankan pada pentingnya mencapai kesepakatan politik dan belajar dari trial-and-error, ketimbang hanya berkutat dengan keputusan-keputusan secara acak. Jika model inkremental mungkin bisa memberikan deskripsi yang akurat – yang mana klaim ini juga debatable – tentang bagaimana keputusan kebijakan publik seringkali dibuat, para kritikus ternyata juga menemukan beberapa kesalahan sebagai implikasi dari alur penelaahan yang disarankan model ini. Pertama, model ini dikritik karena sangat kurang memperhatikan orientasi tujuan. Sebagaimana dilontarkan oleh Fosters, inkrementalisme ‘akan membuat kita melintasi berbagai persimpangan berulang-ulang tanpa mengetahui kemana kita tujuan kita’. Kedua, model ini dikritik karena kecenderungan inherennya pada konservatisme, terlalu pesimis terhadap perubahan bersekala besar dan inovasi. Ketiga, model ini dikritik karena dianggap tidak demokratis, karena membatasi pengambilan keputusan hanya pada tawar menawar sekelompok kecil orang-orang pilihan, para pembuat kebijakan senior. Keempat, dengan tidak memperhatikan analisis dan perencanaan yang sistematik dan, sedikit banyak, menegasi kebutuhan untuk mencari alternatif-alternatif baru, model ini dianggap mendorong munculnya keputusan-keputusan berdasarkan perhitungan jangka-pendek, yang dikawatirkan akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif jangka panjang. Sebagai tambahan, model ini juga dikritik karena hanya memiliki kemampuan analitis yang sempit. Yehezkel Dror, contohnya, mencatat bahwa inkrementalism hanya bisa bekerja ketika ada kontinyuitas problem dalam jangka waktu yang cukup panjang, yang mana problem ini berusaha diselesaikan melalui suatu kebijakan tertentu. Model ini juga mensyaratkan cara yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan tersebut hampir selalu bisa dipakai. Pada kenyataannya, syarat-syarat ini jarang sekali terpenuhi. Inkrementalisme juga memiliki karakteristik sebagai model pengambilan keputusan dalam sebuah lingkungan yang relatif stabil, dan agak sulit untuk diaplikasikan pada situasi-situasi tidak biasa, seperti krisis. Model Tong Sampah Limitasi model rasional dan incremental membawa para ahli pembuat kebijakan publik mencari alternatif-alternatif baru. Amitai Etzioni memngembangkan pemindaian gabungan – model mixed scanning untuk menjembatani berbagai kekurangan, baik model rasional maupun incremental, dengan mengkombinasikan elemen-elemen keunggulan keduanya. Model gabungan seperti ini memberikan ruang yang lebih luas untuk inovasi daripada model incremental, tanpa terlalu dibebani dengan tuntutan-tuntutan yang tidak realistis dari model rasional. Etzioni mengatakan lebih lanjut bahwa pengambilan keputusan seperti inilah yang lebih sering terjadi dalam realitas pengambilan keputusan kebijakan publik. Adalah lazim ketika seringkaian keputusan-keputusan incremental diikuti oleh sebuah sebuah keputusan yang secara substansial berbeda, karena adanya sebuah permasalahan yang sama sekali bereda dari masalah yang dihadapi sebelumna. Karena itu, pemindaian gabungan dipandang sebuah sebuah model yang bersifat preskriptif dan juga desktriptif. Tetapi, pendekatan ini dan berbagai pendekatan lainnya sebagian besar tetap berada dalam kerangka yang dibangun oleh model rasional dan incremental. Pada dekade 1970-an, sebuah model yang sama sekali berbeda menyuarakan bahwa minimnya penggunaan rasionalitas adalah sesuatu yang inheren dalam prose pengambilan keputusan. March dan Olsen menawarkan model tong-sampah/garbage can yang menyangkal adanya penggunaan rasionalitas dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam derajad kecil sebagaimana dipaparkan dalam model inkremental. Mereka memulai dengan asumsi bahwa model-model yang lain mempertahankan asumsi adanya intensionalitas, pemahaman masalah, dan prediktibilitas relasi-relasi antar berbagai aktor yang pada kenyataannya sama sekali tidak diemui. Dalam pandangan March dan Olsen, pengambilan keputusan adalah sebuah proses yang sangat ambigu dan tak-terprediksi, dan kecil sekali kaitannya dengan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. March dan Olsen, sembari menolak instrumentalisme yang menjadi karakter sebagian besar model-model lain, berpendapat bahwa pengambilan keputusan adalah: Sebuah tong sampah kemana berbagai masalah dan solusi dilemparkan oleh para partisipan proses pengambilan keputusan. Campuran sampah dalam sebuah tong sebagian ditentukan oleh berbagai label yang ditempelkan pada tong-tong yang lain; tetapi sebagian lagi ditentukan oleh sampah seperti apa yang dihasilkan pada saat itu, pada campuran tong-tong yang tersedia, dan seberapa cepat sampah bisa dikumpulkan dan dibuang. March dan Olsen sengaja menggunakan metafora tong sampah untuk menghilangkan aura ilmiah dan rasional yang diatributkan pada proses pengambilan keputusan oleh para teoritisi sebelumnya. Mereka berusaha untuk memunculkan pemahaman bahwa seringkali para pembuat kebijakan itu sendiri tidak tahu tujuan mereka, begitu juga hubungan kausal antara problem dan tujuan kebijakan yang dihadapi. Dalam pandangan March dan Olsen, para aktor hanya mendefinisikan tujuan dan memilih cara secara serta merta, seiring dengan berjalannya proses kebijakan, yang mana hasilnya juga sangat tidak pasti dan tidak bisa diprediksi. Beberapa studi kasus telah membuktikan proposisi bahwa keputusan publik seringkali dibuat dengan cara yang sangat ad-hoc dan acak. Andersson, misalnya, pernah berpendapat bahwa bahkan keputusan-keputusan yang terkait dengan krisi Rudal Kuba sekalipun, diakui sebagai sebuah isu paling kritis selama perang dingin, dibuat dalam pilihan-pilihan simplistik pertanyaan dengan jawaban ya/tidak dalam berbagai proposal yang muncul selama pembahasan kebijakan terkait krisis tersebut. Katakanlah demikian, model tong sampah mungkin dianggap sebagai upaya yang terlalu membesar-besarkan fakta yang terjadi. Sementara tujuan utamanya mungkin bisa dikatakan cukup memberikan deskripsi yang akurat tentang bagaimana seringkali organisasi membuat kebijakan-kebijakannya, dalam contoh-contoh yang lain mungkin akan lebih masuk akal jika kita mengharapkan sesuatu yang lebih masuk akal. Terlepas dari itu semua, kekuatan utama dari model ini adalah kemampuannya untuk melepaskan diri dari perdebatan lama antara rasional vs. incremental, dan memberikan kesempatan untuk melakukan studi-studi pengambilan keputusan dalam konteks institusional yang lebih bernuansa. SEBUAH MODEL SUBSISTEM DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PUBLIK Pada awal dekade 1980-an, semakin jelas bagi para pengamat bahwa perdebatan lama antara para pendukung rasionalisme dan inkrementalisme menghambat karya emperis dan pengembangan teoritis dari subyek tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Smith dan May, ‘Sebuah perdebatan tentang keunggulan relatif model rasionalis dan inkremental telah mendominasi studi ini selama bertahun-tahun dan meskipun berbagai terma yang muncul dalam perdebatan ini telah diketahui oleh banyak orang, tetapi hampir sama sekali tidak memberikan efek bagi riset empiris di area kebijakan maupun administrasi publik’. Ketimbang melanjutkan perdebatan ini, pengarang berpendapat bahwa: Kita memerlukan lebih dari satu model untuk menjelaskan berbagai faset kehidupan organisasional. Permasalahannya bukanlah mendamaikan berbagai perbedaan yang ada antara model rasional dan incremental, tetapi membangun alternatif ketiga yang menggabungkan keunggulan dari masing-masing model tersebut. Problem yang ada adalah untuk menpertautkan keduanya, dalam arti mempertautkan realitas sosial sesungguhnya yang direpresentasikan oleh masing-masing model. Saat ini, beberapa langkah maju telah dicapai kea rah yang disarankan oleh Smith dan May. Meskipun ada sebagian kecil orang yang menginginkan untuk kembali ke sebuah model rasional komprehensif, atau sepenuhnya menolak inkrementalisme paling tidak sebagai sebuah deskripsi tentang sebagian besar pengambilan keputusan kebijakan publik actual, sebagian besar berpendapat bahwa pemikiran Braybrooke dan Lindblom tentang multiple-decision-making-styles adalah pilihan yang tepat dan adalah penting untuk menjelaskan secara cermat dalam kondisi seperti apa berbagai model pengambilan keputusan cenderung untuk diadopsi. Salah satu perkembangan yang paling menarik di sini bisa kia temukan dalam karya-karya John Forester. Ia berpendapat bahwa setidaknya ada enam model pengambilan-keputusan yang terkait dengan enam perangkat kondisi kunci. Menurutnya ‘apa yang rasional bagi untuk dilakukan oleh para administrator tergantung pada berbagai situasi di mana mereka bekerja’. Model pengambilan keputusan yang dibuat oleh para pengambil keputusan bervariasi menurut isu dan konteks institusional yang melingkupinya. Pada tahun 1984 dia menulis dalam artikelnya: Sebuah strategi bisa dipandang sebagai sesuatu yang praktis dan berguna atau sia-sia tergantung dari kondisi yang sedang dihadapi. Dalam waktu, keahlian, data dan permasalahan yang terdefinisikan dengan jelas, kalkulasi teknis mungkin bisa menjadi sesuatu yang berguna; tetapi jika waktu, data, definisi, dan kalkulasi tidak terdefinisi dengan jelas, kalkulasi semacam itu akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Dalam lingkungan organisasional yang kompleks, ketika muncul kebutuhan akan informasi, jejaring intelijen akan sama penting, atau bahkan lebih penting, daripada dokumen. Dalam sebuah lingkungan konflik antar-organisasi, tawar menawar dan kompromi menjadi sesuatu yang sangat penting. Strategi-strategi administratif hanya menjadi strategi yang efektif dalam sebuah konteks politik dan organisasional. Forester berpendapat bahwa agar pengambilan keputusan menurut model rasional maka syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi. Pertama, jumlah agen (pengambil keputusan) harus dibatasi, bila perlu sesedikit mungkin. Kedua, tatanan organisasional bagi keputusan harus seerhana dan tertutup dari pengaruh aktor-aktor kebijakan lain. Ketiga, permasalahan yang dihadapi harus terdefinisi dengan jelas; dengan kata lain, scope, horizon, dimensi nilai, dan rantai konsekuensi harus betul-betul diketahui dan dipahami. Keempat, informasi harus sesempurna mungkin diketahui, dengan kata lain lengkap, aksesibel, dan bisa dipahami. Terakhir, tidak boleh ada desakan untuk mengambil keputusan secepat mungkin; yaitu, waktu yang tersedia bagi pengambil keputusan harus tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga mereka bisa mempertimbangkan seluruh kontingensi yang mungkin terjadi beserta konsekuensi yang sedang maupun akan dihadapi. Ketika syarat-syarat ini bisa dipenuhi secara sempurna, pengambilan keputusan yang rasional bisa kita harapkan. Jika kelima syarat ini tidak terpenuhi, yang mana menjadi kasus yang paling sering muncul dalam praktek, Forester berpendapat bahwa kita akan menemukan model-model pengambilan keputusan yang lain. Dengan demikian jumlah agen bisa bertambah sampai jumlah yang tidak terbatas; tatanan yang ada bisa mencakup berbagai organisasi yang berbeda dan relatif terbuka bagi pengaruh-pengaruh eksternal; permasalahan yang dihadapi akan bersifat ambigu atau multitafsir; informasi tidak lengkap, menyesatkan atau secara sengaja dimanipulasi’ dan waktu yang tersedia bisa jadi terbatas atau juga sengaja dimanipulasi. Bagan berikut menggambarkan berbagai parameter pengambilan keputusan. Berbagai parameter pengambilan keputusan Variabel Dimensi 1 Agen Tunggal – Banyak 2 Setting Tunggal, tertutup – Banyak, terbuka 3 Permasalahan Terdefinisi dengan jelas – Multitafsir, ambigu 4 Informasi Sempurna – dikontestasikan 5 Waktu Tak terbatas – dimanipulasi Sumber: diadaptasi dari John Forester: ‘Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through’. Public Administration Review 44, 1 (1984);26 Dari perspektif ini, Foreseter berpendapat bahwa ada lima kemungkinan model pengambilan keputusan: Optimalisasi, Satisfycing, Pencarian (Search), Tawar-menawar (Bargain), dan Organisasional. Optimilasisi adalah strategi yang digunakan ketika syarat-syarat model rasional komprehensif, seperti dipaparkan di atas, sepenuhnya terpenuhi. Prevalensi model-model lain bergantung pada seberapa banyak syarat yang tidak terpenuhi. Ketika limitasi-limitasi yang ada bersifat kognitif, untuk berbagai alasan yang dikemukakan sebelumnya, nampaknya akan lebih baik jika kita menggunakan model satisfycing. Model-model lain yang disarankan oleh Forester saling tumpang-tindih sehingga sulit untuk membedakan dan memaparkannya satu persatu. Model Pencarian adalah salah satu model yang bisa digunakan ketika problem yang dihadapi tidak terdefinisi dengan jelas. Sementara, model tawar-menawar adalah model yang bisa ditemukan ketika berbagai aktor harus mengambil keputusan dalam situasi ketiadaan informasi yang lengkap dan waktu yang mendesak. Model organisasional melibatkan berbagai setting dan aktor, yang meskipun sumberdaya waktu dan informasi tersedia, tetapi dihadapkan pada permasalahan yang beragam. Pendek kata, model-model pengambilan keputusan ini melibatkan jumlah aktor yang lebih banyak, setting yang lebih kompleks, permasalahan yang lebih beragam dan kabut, informasi yang tidak lengkap dan terdistorsi, dan waktu yang terbatas dan mendesak. Meskipun pemikiran Forester menjadi sebuah langkah maju penting dalam memberikan klasifikasi dan taksonomi, dan tentu saja memberikan alternatif pilihan yang berguna, selain model rasional, inkremental dan garbage-can, tetapi apa yang dilakukannya hanyalah langkah awal dalam membangun sebuah model pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebuah masalah besar dalam taksonomi yang dibangunnya adalah keterputusannya dari argument-argumennya sendiri. Sebuah penelaahan yang tertutup dari pembahasannya tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mengungkapkan bahwa orang akan berharap untuk menemukan lebih dari satu model yang mungkin muncul dari lima pilihan model kombinasi dan permutasi variabel-variabel yang dikemukakannya. Meskipun berbagai kategori, dalam prakteknya, tidak bisa dipilah-pilah dan, dalam berbagai kesempatan, tidak terlalu berguna bagi tujuan analitis, alasan mengapa seseorang harus menggunakan salah satu model yang dikemukakannya tetap merupakan sesuatu yang tidak jelas. Kita bisa mengembangkan model Forester dengan mendesain ulang variabel-variabelnya. Studi tentang ‘agen’ dan ‘setting’ bisa disempurnakan dengan berfokus pada subsistem kebijakan, sementara pemikiran tentang ‘permasalahan’, ‘informasi’ dan ‘waktu’ bisa dilihat sebagai pemikiran yang terkait dengan tipe-tipe konstrain yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Dengan demikian, dua variabel utama di sini adalah (1) kompleksitas subsistem kebijakan yang menangani permasalahan yang ada dan (2) seberapa besar konstrain yang harus dihadapi. Kompleksitas subsistem kebijakan mempengaruhi kemungkinan keberhasilan mencapai kesepakatan atau opisisi terhadap suatu pilihan dalam subsistem tersebut. Beberapa pilihan dianggap sejalan dengan nilai-nilai utama yang dipegang oleh anggota subsistem sementara sebagian yang lain tidak, sehingga kompleksitas subsistem ini menstrukturkan keputusan-keputusan dalam kategori pilihan-pilihan keras atau lunak. Mirip dengan itu, pengambilan keputusan relatif dibatasi oleh informasi dan waktu, dan juga kejelasan masalah. Bagan berikut menggambarkan empat model dasar pengambilan keputusan. Empat model ini muncul sebagai basis dari dua dimensi yang dipaparkan dalam analisis ini: kompleksitas subsistem dan derajat konstrain. Model Dasar PengambilanKeputusan Kompleksitas subsistem kebijakan Derajat konstrain Tinggi Rendah Tinggi Incremental adjustment Satisfying Search Rendah Optimizing adjustment Rational Search Sumber: dimodifikasi menurut Martin J. Smith, ‘Policy Networks and State Autonomy,’ dalam Political Influence of Ideas: Policy Communities and the Socieal Sciences, eds. S. Brooks dan A.-G. Gagnon. New York: Praeger, 1994. Dalam model ini, subsistem kebijakan yang kompleks akan cenderung memunculkan strategi-strategi penyesuaian (adjustment) daripada strategi pencarian (search). Situasi tingginya derajat konstrain cenderung menghasilan suatu pendekatan tawar menawar dalam pengambilan keputusan, sementara situasi di mana derajat konstrain rendah cenderung memunculkan aktifitas opmtimalisasi atau rasional. Jika digabungkan, kedua variabel ini menghasilkan empat model dasar pengambilan keputusan. Penyesuaian inkremental gaya Lindblom cenderung muncul dalam situasi ketika subsistem yang ada bersifat kompleks dan derajat konstrain yang tinggi. Dalam situasi semacam itu kita bisa perkirakan bahwa akan jarang muncul keputusan-keputusan bersekala besar dan beresiko tinggi. Pada skenario sebaliknya, ketika subsismtem kebijakan yang ada sederhana dan derajat konstrain rendah, pendekatan pencarian rasional dan perubahan besar sangat mungkin untuk dilakukan. Ketika ada sebuah subsistem yang kompleks dan derajat konstrain yang rendah, maka akan ada kecenderungan untuk memunculkan strategi penyesuaian, tetapi kali ini ditujukan untuk mencapai optimalisasi. Terakhir, ketika derajat konstrain tinggi, tetapi kompleksitas subsistem rendah, strategi-strategi satisfycing akan menjadi kecenderungan yang umum terjadi. KESIMPULAN Karakter esensial dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik sama seperti tahap-tahap lainnya dalam proses kebijakan. Sama halnya dengan tahapan sebelumnya dalam proses kebijakan publik, tahap pengambilan keputusan bervariasi menurut sifat alami dari subsistem kebijakan yang terlibat dalam proses itu dan derajat konstrain yang dihadapi oleh para pengambil-keputusan. Sebagaimana dirangkum oleh John Forester, apa yang rasional bagi para administrator dan politisi ditentukan oleh situasi di mana mereka bekerja. Didesak untuk segera memberikan rekomendasi, maka para pengambil keputusan ini tidak bisa melakukan studi yang mendalam. Ketika dihadapkan pada persaingan dan kompetisi organisasional, maka adalah sangat rasional jika para pengambil keputusan ini menjadi lebih tertutup. Apa yang rasional untuk dilakukan ditentukan oleh konteks yang dihadapi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam administrasi publik. Bacaan Pendukung Cahill, Anthony & E. Sam Overman, ‘The Evolution of Rationality in Policy Analysis’, hlm. 11-27 dalam Stuart S. Nagel (ed.). Policy Theory and Policy Evaluation. New York: Greenwood, 1990. Cohen, M., J. March & J. Olsen, ‘A Garbage Can Model of Organizational Choice’, Administrative Science Quarterly, 17, 1 (1972): 1-25. Etzioni, Amitai, ‘Mixed-scanning: A “Third” Approach to Decision-Making’, Public Administration Revew 44 (1984): 23-30. Forrester, John, ‘Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through’, Public Administration Review 44 (1984): 23-30. Lindblom, Charles, ‘The Science of Muddling Through’, Public Administration Review 19 (1959): 79-88. MacRae, Duncan Jr., & James A. Wilde. Policy Analysis for Public Decisions. Lanham, MD: University Press of America, 1985. Simon, Herbert, ‘A Behavioral Model of Rational Choice’, Quarterly Journal of Economics 69, 1 (1955): 99-118. Smith, Gilbert & David May, ‘The Artificial Debate Between Rationalist and Incrementalist Models of Decision-Making’, Policy and Politics 8 (1980): 147-61.