Rabu, 26 Oktober 2011

PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
TIAP MATA PELAJARAN DI MADRASAH

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Semester V
Program Strata Satu Fakultas Tarbiyah
Mata Kuliah : Kurikulum PAI di Madrasah
Dosen
Dr. H. Rahmat Raharjo Syatibi, M. Ag.

Oleh
Muhamad Muhlasin
Muhamad Bisri Mustofa
Kel.V/PAI/Ve

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadhirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyusun tugas makalah yangberjudul “Pengembangan Kurikulum PAI Tiap Mata Pelajaran di Madrasah” ini dengan lancar.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kurikulum PAI di Madrasah pada Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Kebumen, semester V, Program S1, Pendidikan Agama Islam Tahun Akademik 2011/2012
Terima kasih kami sampaikan pada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini, khususnya terima kasih kami sampaikan pada Dr. H. Rahmat Raharjo Syatibi, M. Ag, selaku Dosen pengampu mata kuliah Kurikulum PAI di Madrasah.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.
Kebumen, Oktober 2011

DAFTAR ISI
JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang Masalah 4
B. Rumusan Masalah 4
BAB II PEMBAHASAN 6
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DI MADRASAH 6
A. Pengertian Tiap Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah 7
B. Tujuan Tiap Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah 11
C. Landasan Hukum Sistem Pendidikan Nasional 17
D. Landasan Hukum Tentang Standar Isi Dan Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Agama Islam 18
E. Langkah-langkah pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah 21
DAFTAR PUSTAKA 24

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan menigkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat mandiri, beriman,, bertaqwa, berahlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, meguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka dengan adanya hal tersebut maka perlu peraturan atau undang- undang tentang sistem pendidikan nasional serta peraturan pemerintah sebagai pelaksanaanya dan madrasah merupakan bagian intregralnya, karena merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.Oleh karena itu kurikulum perlu dirumuskan dan dikembangkan sedemikian rupa supaya tetap relevan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat dan mencerminkan eksistensi diri serta jati diri madrasah sebagai satuan pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan bahas dalam makalah ini adalah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Tiap Mata Pelajaran Di Madrasah,yang mengangkat kegelisahan akdemik tentang minimnya pengetahuan bagi sebagian calon guru, guru atau tenaga pendidik serta instansi terkait, yang diantaranya:
1. Pengertian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah.
2. Tujuan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah.
3. Landasan hukum sistem pendidikan pendidikan nasional serta peraturan pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Madrasah.
4. Langkah-langkah perkembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah.

BAB II
PEMBAHASAN

PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI TIAP MATA PELAJARAN DI MADRASAH

Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Tingkat Satuan Pendidikan di Madrasah ada tiga tingkat yaitu: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah.Serta mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah terdiri atas empat, pelajaran, yaitu: Al-Qur’an-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, Tarikh (Sejarah) Kebudayaan Islam.
A. Pengertian Tiap Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Di Madrasah
1. Madrasah Ibtidaiyah.
a) Al-Qur’an-Hadits
Al-Qur’an-Hadits adalah mata pelajaran PAI yang menekankan pada kemampuan membaca dan menulis al-Qur’an dan Hadits dengan benar, serta hafalan terhadap surat-surat pendek dalam al-Qur’an, pengenalan arti atau makna secara sederhana dari surat-surat pendek tersebut dan hadits-hadits tentang akhlak terpuji untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari melalui keteladanan dan pembiasaan.
b) Akidah-Akhlak
Akidah-Akhlak adalah mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang rukun iman yang dikaitkan dengan pengenalan dan penghayatan terhadap al-asma’ al-husna, serta penciptaan suasana keteladanan dan pembiasaan dalam mengamalkan akhlak terpuji dan adab Islami melalui pemberian contoh-contoh perilaku dan cara mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
c) Fiqih
Mata pelajaran Fiqih adalah mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang:
1) Fiqih ibadah, terutama menyangkut pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara pelaksanaan rukun Islam dan pembiasaannya dalam kehidupan sehari-hari,
2) Fiqih muamalah yang menyangkut pengenalan dan pemahaman sederhana mengenai ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, qurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.
d) Sejarah Kebudayaan Islam
Sejarah Kebudayaan Islam adalah mata pelajaran PAI yang menelaah tentang asal usul, perkembangan, peranan kebudayaan atau peradaban Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam sejarah Islam di masa lampau, mulai dari sejarah masyarakat Arab pra Islam, sejarah kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW, sampai masa Khulafaurrasyidin.

2. Madrasah Tsanawiyah.
a) Al-Qur'an-Hadis
Mata pelajaran Al-Qur'an-Hadis MTs ini merupakan kelanjutan dan kesinambungan dengan mata pelajaran Al-Qur'an-Hadis pada jenjang MI, terutama pada penekanan kemampuan membaca al-Qur'an-hadis, pemahaman surat-surat pendek, dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.
b) Akidah-Akhlak
Akidah-Akhlak adalah mata pelajaran PAI yang merupakan peningkatan dari akidah dan akhlak yang telah dipelajari oleh peserta didik di MI. Peningkatan tersebut dilakukan dengan cara mempelajari tentang rukun iman mulai dari iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, sampai iman kepada Qada dan Qadar yang dibuktikan dengan dalil-dalil naqli dan aqli, serta pemahaman dan penghayatan terhadap al-asma’ al-husna dengan menunjukkan ciri-ciri atau tanda-tanda perilaku seseorang dalam realitas kehidupan individu dan sosial serta pengamalan akhlak terpuji dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.
c) Fikih
Fikih adalah mata pelajaran yang memahami tentang pokok-pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk diaplikasikankan dalam kehidupan sehingga menjadi muslim yang selalu taat menjalankan syariat Islam secara kaaffah (sempurna).
d) Sejarah Kebudayaan Islam
Sejarah Kebudayaan Islam adalah mata pelajaran yang menelaah tentang asal-usul, perkembangan, peranan kebudayaan atau peradaban Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam sejarah Islam di masa lampau, mulai dari perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin, Bani ummayah, Abbasiyah, Ayyubiyah sampai perkembangan Islam di Indonesia.
3. Madrasah Aliyah.
a) Al-Qur'an-Hadis
Mata pelajaran Al-Quran Hadis di Madrasah Aliyah adalah salah satu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang merupakan peningkatan dari Al-Quran Hadis yang telah dipelajari oleh peserta didik di MTs.
b) Akidah-Akhlak
Mata pelajaran Akidah Akhlak di Madrasah Aliyah adalah salah satu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang merupakan peningkatan dari akidah dan akhlak yang telah dipelajari oleh peserta didik di Madrasah Tsanawiyah.
c) Fikih
Mata pelajaran Fikih adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang merupakan peningkatan dari fikih yang telah dipelajari oleh peserta didik di MTs.
d) Sejarah Kebudayaan Islam
Sejarah Kebudayaan Islam mata pelajaran yang menelaah tentang sal-usul, perkembangan, peranan kebudayaan/ peradaban Islam di masa lampau, mulai dari dakwah Nabi Muhammad pada periode Makkah dan periode Madinah, kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat, sampai perkembangan Islam periode klasik (zaman keemasan) pada tahun 650 M - 1250 M, abad pertengahan/ zaman kemunduran (1250 M – 1800 M), dan masa modern/ zaman kebangkitan (1800 – sekarang), serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.

B. Tujuan tiap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah
1. Madrasah Ibtidaiyah
a) Al-Qur’an-Hadits:
1) Memberikan kemampuan dasar kepada peserta didik dalam membaca, menulis, membiasakan, dan menggemari membaca al-Qur’an dan Hadits;
2) Memberikan pengertian, pemahaman, penghayatan isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an-Hadits melalui keteladanan dan pembiasaan;
3) Membina dan membimbing perilaku peserta didik dengan berpedoman pada isi kandungan ayat al-Qur’an dan al-Hadits.
b) Akidah-Akhlak
1) Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang aqidah Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
2) Mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun sosial, sebagai manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai aqidah Islam.
c) Fiqih
1) Mengetahui dan memahami cara-cara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial.
2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan dengan lingkungannya.
d) Sejarah Kebudayaan Islam
1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
2) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
3) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah.
4) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat
2. Madrasah Tsanawiyah.
a) Al-Qur'an-Hadis
1) Meningkatkan kecintaan siswa terhadap al-Qur'an dan Hadis.
2) Membekali siswa dengan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman dalam menyikapi dan menghadapi kehidupan.
3) Meningkatkan kekhusyukan siswa dalam beribadah terlebih salat, dengan menerapkan hukum bacaan tajwid serta isi kandungan surat/ayat dalam surat-surat pendek yang mereka baca.
b) Akidah-Akhlak
1) Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan,danpengembangan pengetahuan, penghaya- tan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang akidah Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT;
2) Mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan individu maupun sosial, sebagai manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai akidah Islam.
c) Fiqih
1) Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam dalam mengatur ketentuan dan tata cara menjalankan hubungan manusia dengan Allah yang diatur dalam fikih ibadah dan hubungan manusia dengan sesama yang diatur dalam fikih muamalah.
2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dalam melaksanakan ibadah kepada Allah dan ibadah sosial. Pengalaman tersebut diharapkan menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
d) Sejarah Kebudayaan Islam
1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
2) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
3) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah.
4) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat Islam di masa lampau.
5) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah Islam, meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
3. Madrasah Aliyah.
a) Al-Qur'an-Hadis
1) Meningkatkan kecintaan peserta didik terhadap al-Quran dan Hadis.
2) Membekali peserta didik dengan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Quran dan hadis sebagai pedoman dalam menyikapi dan menghadapi kehidupan.
3) Meningkatkan pemahaman dan pengalaman isi kandungan al-Quran dan hadis yang dilandasi oleh dasar-dasar keilmuan tentang al-Quran dan hadis.
b) Akidah Akhlak
1) Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang akidah Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT;
2) Mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun social, sebagai manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai akidah Islam
c) Fiqih
1) Mengetahui dan memahami prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tatacara pelaksanaan hukum Islam baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan social.
2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan dengan lingkungannya.
d) Sejarah Kebudayaan Islam
1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
2) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
3) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah.
4) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peningkatan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat Islam di masa lampau.

C. Landasan Sistem Pendidikan Nasional
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

D. Landasan Hukum Tentang Standar Isi (SI) Dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Pendidikan Agama Islam
1. Standar Isi (SI)
Mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
2. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 23 Tahun 2006.
3. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang SKL dan SI Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Di Madrasah.
SKL dan SI Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU adalah
a. SKL Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab untuk Pendidikan Dasar pada Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah, serta untuk Pendidikan Menengah pada Madrasah Aliyah;
b. SI Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab untuk Pendidikan Dasar pada Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah, serta untuk Pendidikan Menengah pada Madrasah Aliyah meliputi struktur mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab, lingkup materi minimal, dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal.
4. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang SKL dan SI Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Arab Di Madrasah
Bab I SKL Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Madrasah Ibtidaiyah
a. Al-Qur'an-Hadis
1) Membaca, menghafal, menulis, dan memahami surat-surat pendek dalam al-Qur'an surat al-Faatihah, an-Naas sampai dengan surat ad-Dhuhaa.
2) Menghafal, memahami arti, dan mengamalkan hadis-hadis pilihan tentang akhlak dan amal salih.
b. Akidah-Akhlak
Mengenal dan meyakini rukun iman dari iman kepada Allah sampai dengan iman kepada Qada dan Qadar melalui pembiasaan dalam mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah, pengenalan, pemahaman sederhana, dan penghayatan terhadap rukun iman dan al-asma’ al-husna, serta pembiasaan dalam pengamalan akhlak terpuji dan adab Islami serta menjauhi akhlak tercela dalam perilaku sehari-hari.

c. Fikih
Mengenal dan melaksanakan hukum Islam yang berkaitan dengan rukun Islam mulai dari ketentuan dan tata cara pelaksanaan taharah, salat, puasa, zakat, sampai dengan pelaksanaan ibadah hají, serta ketentuan tentang makanan dan minuman, khitan, kurban, dan cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.
d. Sejarah Kebudayaan Islam
Mengenal, mengidentifikasi, meneladani, dan mengambil ibrah dari sejarah Arab pra- Islam, sejarah Rasulullah SAW, khulafaurrasyidin, serta perjuangan tokoh-tokoh agama Islam di daerah masing-masing.

E. Langkah-langkah pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah.
1. Langkah-langkah pengembangan kurikulum
a) Menentukan tujuan, rumusan tujuan dirumuskan berdasarkan analisis berbagai tuntutan,harapan dan kebutuhan (peserta didik,guru dan lingkungan sekolah)..
b) Mengadakan penilaian umum tentang madrasah.
c) Menentukan isi,merupakan materi yang akan diberikan kepada murid selama mengikuti proses belajar mngajar.
d) Merumuskan kegiatan belajar mengajar, hal ini mencakup penentuan metode dan keseluruhan proses belajar mengajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
e) Mengidentifikasi masalah serta merumuskan penyelesaiannya.
f) Mengadakan dan menerapkan metode eveluasi .
g) Mengajukan saran perbaikan.

2. Langkah-langkah penngembangan kurikulum Berbasis KTSP.
a) Menganalisis dan mengembangkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI).
b) Merumuskan visi dan misi selanjutnya dikembangkan bidang studi yang akan diberikan untuk merealisasi tujuan.
c) Mengembangkan dan mengidentifikasi tenaga-tenaga kependidikan (guru dan non guru) sesuai dengan kualifikasi yag diperlukan engan berpedoman pada Standar Tenaga Kependidikan yang ditetapkan BSNP.
d) Mengidentifikasi fasilitas pembelajaran yang diperlukan untuk member kemudahan belajar sesuai dengan satndar sarana dan prasarana pendidikan yang ditetapkan BSNP.

Penyusunan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran Akidah-Akhlak di Madrasah Aliyah ini dilakukan dengan cara mempertimbangkan dan me-review Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mata pelajaran Pendidikan Agama Islam aspek keimanan/akidah dan akhlak untuk SMA/MA, serta memperhatikan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam Nomor: DJ.II.1/PP.00/ED/681/2006 , tanggal 1 Agustus 2006, tentang Pelaksanaan Standar Isi, yang intinya bahwa Madrasah dapat meningkatkan kompetensi lulusan dan mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Standar isi madrasah ibtidaiyah,. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam,PenerbitDirektorat Pendidikan Pada Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama, 2006
Standar isi madrasah tsanawiyahPenulisDepartemen Agama. Direktorat Jenderal Pendidikan IslamPenerbitDirektorat tsb., 2006Tebal188 halaman
JudulModel pengembangan silabus pendidikan agama Islam dan Bahasa Arab madrasah aliyahPenulisDepartemen Agama. Direktorat Jenderal Pendidikan IslamPenerbitDirektorat tsb., 2006Tebal60 halaman
http://bestbuydoc.com/id/doc-file/4942/standar-kompetensi-sk-dan-kompetensi-dasar-kd-mata-pelajaran-pendidikan-agama-islam-dan-bahasa-arab-madrasah-aliyah-a.html
http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/Lamp03permenag02th2008.pdf
©2008 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam - Kementerian Agama Republik Indonesia
Lampiran Peraturan Menag No. 02 Tahun 2008, 2008 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam - Kementerian Agama Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam - Kementerian Agama Republik Indonesia2008Standar
Kompetensi (Sk) Dan Kompetensi Dasar (Kd) Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Arab Madrasah Tsanawiyah
http://andresangpengusaha.blogspot.com/2010/.html
http://bsnp-indonesia.org/id/wp-content/uploads/kompetensi/Panduan_Umum_KTSP.pdf

Selasa, 25 Oktober 2011

TENTANG MENCARI CARA BERTAMBAHNYA ILMU.

فَصْلٌ فِي الاِْسْتِفَادَةِ وَفَصْل فِي الْوَ رَعِ
TUGAS TERTULIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester IV
Program Strata Satu Fakultas Tarbiyah
Mata Kuliah : Qiroatul Kutub

Dosen
Drs.MUNGIN SIDI.

Oleh

MUHAMAD MUHLASIN (2093580)

PAI/IVe

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011
فَصْلٌ فِي الاِْسْتِفَادَةِ
وَيَنْبَغِ اَنْ يَكُونَ طَا لِبُ اْلعِلْمِ مُسْتَفِدًا فِيْ كُلِ وَقْتٍ حَتَى يَحْصُلَ لَهُ الْفَضْلِ.وَطَرِ يْقُ اْلاِسْتِفَادَةِ مِحْبَرَةٌ حَتَّى يَكْتُبَ مَا يَسْمَعُ مِنَ الْفَوَائِدِ الْعِلْمِيَّةِ. قِيْلَ : مَنْ حَفِظَ فَرَّ وَمَنْ كَتَبَ شَيْئًا قَرَّ. وَ قِيْلَ: اَلْعِلْمُ مَا يُؤْ خَذُ مِنْ اَفْوَاهِ آلرّجَالِ ِلأَنَّهُمْ يَحْفَظُوْنَ أَحْسَنَ مَا يَسْمَعُوْ وَيَقُوْلُوْنَ اَحْسَنَ مَا يَحْفَظُوْنَ.
وَسَمِعْتُ الشَّيْخَ اْلآُسْتَاذَ زَيْدَاْلاِسْلاَمِ اْلمَعْرُوْفَ بِاْ لاَدِيْبِ اْلمُخْتَارِ يَقُوْلُ : قَالَ هِلاَ لُ بْنُيَسَا رٍ رَاَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ ِلاَصْحَا بِهِ شَيْئًا مِنَ اْلعِلْمِ وَاْلحِكْمَةِ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللّهِ أَعِدْ لِىْ مَا قُلْتَ لَهُمْ. فَقَا لَ لِىْ: هَلْ مَعَكَ مِحْبَرَ ةٌ ؟ فَقُلْتُ : مَا مَعِىْ مِحْبَرَ ةٌ ؟ فَقَا لَ النَّبِىُّ صَلأَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا هِلاَ لُ لاَ تُفَارِقِ الْمِحْبَرَةَ فَاِنَّ اْلخَيْرَ فِيْهَا وَفِىْ اَهْلِهَا اِلَى يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ.
وَوَصَّى ألصَّدْرُ الشَّهِيْدُ حُسَامُ الدِّ يْنِ ابْنَهُ شَمْسَ الدِّيْنِ اَنْ يَحْفَظَ كُلَّ يَوْ مٍ يَسِيْرًا مِنَ اْلعِلْمِ وَالْحِكْمَةِ فَاِ نَّهُ يَسِيْرٌ وَعَنْ قَرِ يْبٍ يَكُوْنَ كَثِيْرًا. وَاشْتَرى عِصَامُ بْنُ يُوْ سُفَ قَلَمًا بِدِ يْنَا رٍ لِيَكْتُبَ مَا سَمِعَ فِى الْحَالِ. فَالْعُمْرُ قَصِيْرٌ وَالْعِلْمُ كَثِيْرٌ. فَيَنْبَغِى اَنْ لاَ يُضَيِّعَ اْلاَوْقَا تَوَألسَّا عَا تِ وَيَغْتَنِمَ اللَّيَا لِىَ وَالْخَلَوَاتِ. عَنْ يَحْيَى بْنِ مُعَاذِ الرَّازِ ىِّ اَللَّيْلُ طَوِيْلٌ وَلاَ تُقْصِرْهُ بِمَنَا مِكَ وَالنَّهَا رُ مُضِيْ ءٌ فَلاَ تُكَدِّرْهُ بِاَثَامِكَ.
وَيَنْبَغِىْ اَنْ يَغْتَنِمَ اَلشُّيوُْخَ وَيَسْتَفِدَ مِنْهُمْ وَلَيْسَ كُلُّ مَا فَا تَ يُدْرِكُ كَمَا قَالَ اُسْتَاذُنَا شَيْخُ ْاِلاسْلاَمِ ِفِىْ مَشِيْخَتِهِ :كَمْ مِنْ شَيْخٍ كَبِيْرٍ فِى الْعِلْمِ وَالْفَضْلِ اَدْرَكْتُهُ وَمَا اسْتَخْرَجْتُهُ وَاَقُوْلُ عَلى هذَا الْفَوْتُ منُْشِذٰا الْبَيْتُ شِعْرٌ:
لَهْفًاعَلَى فَوْتِ التَّلاقِىْ لَهْفً * مَا كُلُّ مَا فَاتَ وَيَفْنَى يُلْقَ
قَالَ عَلِىٌّ رَضِىَ الله تَعَالىْ عَنْهُ : اِذَا كُنْتَ فِىْ اَمْرٍِ فَكُنْ فِيْهِ وَ كَفى بِلأَ عْرَا ضِ عَنْ عِلْمِ اللهِ تَعَالى خِزْ يًا وَ خَسَا رً ا وَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْهُ لَيْلاً وَنَهَارًا.
وَلاَ بُدَ لِطَا لِبِ اْلعِلْمِ مِنْ تَحَمُّلِ اْلمَشَقَّةِ فِىْ طَلِبِ اْلعِلْمِ. وَ التَّمَلَّقُ مَذْ مَوْ مٌ اِ لاَّ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ ِلاَ نَّهُ لاَ بُدَّ لَهُ مِنَ التَّمَلُّقِ لِلاُْ سْتَا ذِ وَ الشُّرَ كَا ءِ وَغَيْرِ هِمْ لِْلاِ سْتِفَا دَ ةِ مِنْهُمْ. قِيْلَ : اَلْعِلْمُ عِزٌّ لاَ ذُلَّ فِيْهِ لاَ يُدْ رِ كَ اِلاَّ بِذُ لٍّ لاَ عِزَّ فِيْهِ وَ قَالَ الْقَا ئِلُ :
أَرٰى لَكَ نَفْسًا تَشْتَهِى اَنْ تُعِزَّ هَا * فَلَسْتَ تَنَا لُ الْعِزَّ حَتَّى تُذِ لَّهَا

فَصْل فِي الْوَ رَعِ
رَوٰى بَعْضُهُمْ حَدِ يْثًا فِىْ هَّا الْبَا بِ عَنْ رَسُوْ لِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَا لَ : مَنْ لَمْ يَتَوَرَّعْ فِىْ تَعَلُّمِهِ اِ بْتَلاَ هُ اللهُ تَعَا لىٰ بِأَحَدِ ثَلاَ ثَةِ اَشْيَآءَ : اِ مَّا اَنْ يُمِيْتَهُ فِى َِبَا بِه اَوْ يُوْ قِعَهُ فِى آلرَّ سَا تِيْقِ اَوْ يَبْتَلِيَهُ بِخِدْ مَةِ آلسُّلْطَا نِ.
فَمَهْمَا كَا نَ طَا لِبُ الْعِلْمِ اَوْرَعَ كَا نَ عِلْمُهُ اَنْفَعَ وَالتَّعَلُّمُ لَهُ اَيْسَرَ وَفَوَائِدُ هُ اَكْثَرَ. وَمِنَ الْوَرَعِ اَنْ يَتَحَرَّزَ عَنِ الشِّبَعِ وِكَثْرَةِ النَّوْمِ وَكَثْرَةِ الْكَلاَ مِ فِيْمَا لاَ يَنْفَعُ وَاَنْ يَتَحَرَّزَ عَنْ اَكْلِ طَعَا مِ السُّوْ قِ اَقْرَبُ اِلَى النَّجَاسَةِ وَالْخَبَا ثَةِ وَاَبْعَدُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى وَاَقْرَبُ اِلَى الْغَفْلَةِ ِلاَنَّ اَبْصَارَ الْفُقَرَاءِ تَقَعُ عَلَيْهِ وَلاَ يَقْدِرُوْنَ عَلَى الشِّرَاءِ مِنْهُ فَيَتَأَ ذَّؤْنَ بِذَ لِكَ فَتَذْهَبُ بَرْكَتُهُ.
وَحُكِىَ اَنَّ اْلاِمَا مَ الشَّيْخَ الْجَلِيْلَ مُحَمَّدّ بْنِ الْفَضْلِ كَا نَ فِى حَالِ تَعَلُّمِه لاِ يَأْ كُلُ مِنْ طَعَا مِ آلسُّوْ قِ وِكَا نَ اَبُوْهُ يَسْكُنُ فِىْ الرَّسْتَاقِ فِىْ بَيِْتِ ابْنِهِ خُبَْزَ السُّوْقِ يَوْمَا فَلَمْ يُكَلِّمْهُ سَا خِطَا عَلَيْهِ. فَا عْتَذَرَ ابْنُهُ فضقَالَ: مَا اشْتَرَيْتُهُ اَنَا وَلَمْ أَرْضَ بِه وَلَكِنْ اَحْضَرَهُ شَرِيْكِى. فَقَالَ اَبُوْهُ: لَوْ كُنْتَ تَحْتَاطُ وَتَتَوَرَّعُ لَمْ يَجْتَرِئْ شَرِيْكُكَ بِذٰلِكَ.
وَهَكَذ اكَا نُوْا يَتَوَرَعُوْنَفلِّذٰلِكَ وُفِّقُوْاِلْعِلْمِ وَالنَّشْرِِِِ حَتَّي بَقشيَ اسْمُهُمْ اِلَيْ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.وَوَصَّي فََقِيْهٌ مِنْ زُهَّادِ الْفُقَهَاءِ طَالِبَ الْعِلْمِ : عَلَيْكَ اَنْ تَتَحَّزَ عَنِ الْغِيْبَةِ وَعَنْ مُجَالَسَةِالْمِكْثَرِ.وَقَالَ:اِنَّ مَنْ يُكْثِرُ الْكَلاَ مِ يَسْرِقُ عُمْرَكَ وَ يُضَيِّقُ اَوْ قَا تَكَ.
وَمِنَ الْوَرَعِ اَنْيَتَجَنَّبَ مِنْ اَهْلِ الْفَسَادِوَالْمَعَاصِي وَالتَّعْطِيْلِ فَاِنَّ الْمُجَاوَرَةَ مُؤَثِّرَةٌ لاَ مَحَا لَةَ وَ اَنْ يَجْلِسَ مُسْقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَيَكُوْنَ مُسْتَنَّابِسُنَّةِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَغْتَنِمَ دَعْوَةِ الْمَظْْلُوْمِيْنَ.
وَحُكِيَاَنَّ رَجُلَيْنِ خَرَجَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ لِلْغُرْبَةِ وَكَانَا شَرِيْكَيْنِ فِِي الْعِلْمِ فَرَجَعَا بَعْدَ سِنِيْنَ اِلَيَ بَلَدِهِمَا وَقَدْ فَقُهَ اَحَدُهُمَا وَلَمْ يَفْقُهِ الاخَرُ.فَتَاَمَّلَ فُقَهَاءُ الْبَلْدَةِ وَسَاَلُوْاعَنِ حَالِهِمَاوَتِكْرَارِكاَنَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَالْمِصْرِالَّذِيْ حَصَلَ الْعِلْم فِيْهِ اْﻻٰ خَرِ كَانَ مُسْتَدْبِرَالْْقِبْلَةِ وَوَجْهُهُ اِلٰي غَيْرِالْمَصِرِ.
فَا تَّفَقَ الْعُلَمَاُ وَالْفُقَهَاءُ اَنَّ الْفَقِيْهَ فَقُهَ بِبَرْكَةِ اسْتِقْبَالِ الْقبْلَةِ اِذْ هُوَ السُّنَةُ فِي الْجَلُوْسِ اِلاَّ عِنْدَالضَّرُوْرَةِ وَبِبَرْكَةِ دُعَاءِالْمُسْلِمِيْنَ.فَاِنَّ الْمِصْرَ لاَ يَخْلُوْ عَنِ الْعُبَّادِوَاَهْلِالخَيْرِ.فَالظَّاهِرُاَنَّّ عَابِدًامِنَ الْعُبَّادِ دَعَالَهُ فِي ٍاللَّيْلِ.
فَيَنْبَغِيْ لِطَا لِبِ العِلْمِ اَنْ لاَ يَتَهَاوَنَ بِالاْٰدَابِ وَالسُّنَنِ فَاِنَّ مَنْ تَهَاوَنَ بِلاْٰدَابِ حُرِمَ السُّنَنِ.وَمَنْ تَهَاوَنَ بِلْفَرَاﺌِضِ وَمَنْ تَهَاوَنَ بِلْفَرَاﺌِضِ حُرِمَ اْلآخِرَةِ.وَبَعْضُهُمْ قَالَ:هَذَا حَدِيْثٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَيَنْبَغِِي اَنْ يُكْثِرَ الصَّلاَةَ وَيُصَلِِّيَ صَلاَةَ الْخَا شِعِيْنَ فَاِنَّ ذٰلِكَ عَوْنٌلَهُ عَلَي التَّحْصِيْلِ وَالتَّعَلُّمِ.وَانْشِدْتُ ِللشَّيْخِ الْجَلِيْل الزَّاهِدِالحَجَّاجِ نجْمِ الدِّيْنِ عُمَرَابْنُ مُحَمَّدِ النَّسَفِيِّ:
كُنْ لِلاََوَامِرِ وَالنَّوَاهِب حَافِظًا * وَعلَي الصَّلاَةِ مُوَاظِبَاوَمُحَافِظًا
وَاطْلُبْ عُلُوْمَ الشَّرْعِ وَجْهَدْ وَاسْتَعِنْ * بِطَّيِّبَاتِ تَصْرِفَقِيْهًاحَفِظًا
وَاسْاَلْ اِلَهَكَ حِفْظَ حِفْظِكَ رَا غِبًا * فِيْ فَضْلِه فَاللهُ خَيْرٌ حَفِظًا
وَقَالَ:اَطِيءعُوْا وَجِدُّوْا وَلاَ تََكْسَلُوءا وَاَنْتُمء اِلَي رَبِّكُمء تُرْجَعُوْنَوَلاَ تَهْجَعُوْا فَخِيَارُ الْوَرٰي قَلِيْلاً مِنَاللَّيْلِ مَايَهْجَعُوْنَ.
وَيَنْبَغِيْ اَنْ يَسْتَصْحِبَ دَفْتَرًا عَلَي كُلِّ حَلٍِ لِيُطَا لِعَهُ وَقِيْلَ:مَنْ لَمْ يَكُنِ الدَّفْتَرِ بَيَاضٌ وَيَسْتَصْحِبَ الْمِحْبَرَةَ لِيَكْتُبَ مَا سَمِعَ وَقَدْ ذَكَرْنَا حَدِثَ هِلاَلِبْنِ يَسَارٍ.

Artinya :

BAB 38
TENTANG MENCARI CARA BERTAMBAHNYA ILMU.

Seharusnya orang yang mencari ilmu itu mencari tambahan di setiap waktu supaya mendapatkan ilmunya dengan kemuliaan.Dan diantaranya cara untuk bertambah ilmunya yaitu adalah dengan selalu membawa bolpoint,atau tempat tinta (alat tulis ) , untuk menulis ilmu yang bermanfaat yang ia dengar setiap saat. Karena ilmu yang dihafal suatu ketika bisa lupa. Sedang ilmu yang ditulis akan tetap abadi. Ada yang berkata, “Ilmu itu sesuatu yang diambil dari mulut orang-orang pandai karena mereka itu menghafal sebaik-baik yang mereka dengar. Dan mengatakan sebaik-baik yang mereka hafal.”
Hilal bin Yasar berkata, bahwa Nabi SAW pernah bersabda kepada para sahabatnya tentang ilmu dan hikmah. Lalu aku berkata,”Ya Rasul, sudikah tuan mengulangi apa yang tuan katakana kepada kami?” Kemudian Nabi SAW bersabda, ”Apakah kamu membawa tinta?” Aku menjawab, “Saya tidak.”
Nabi bersabda. “Ya Hilal, janganlah kamu meninggalkan wadah tinta. Karena kebaikan itu ada padanya, dan pada orang yang memilikinya hingga kiamat.”
Shadru Syahid Husam berpesan kepada putranya, Syamsuddin, supaya menghafal sedikit ilmu pengetahuan dan hikmah setiap hari. Karena sesuatu yang banyak itu dimulai dari sedikit.
Isham bin Yusuf pernah membeli pena seharga satu dinar untuk menulis apa yang ia dengan waktu mengaji. Karena dia sudah tahu bahwa umur manusia itu pendek, sedang ilmu amat banyak.
Oleh karena itu dia tidak mau menyia-nyiakan waktu sesaat pun. Dia gunakan waktu malam untuk mendalami ilmu agama.
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata, “Malam itu amat panjang, maka jangan kamu habiskan untuk tidur. Siang hari itu terang benderang maka jangan kamu redupkan dengan dosa-dosamu.”
Santri harus bisa memanfaatkan kesempatan bersama para ulama. Gunakan untuk menimba pengetahuan dari mereka. Karena kesempatan yang baik apabila telah hilang, tidak akan dijumpai lagi, sebagaimana yang dikatakan Ustad Syaikhul Islam dalam kitab nasihatnya,” Banyak sekali guru besar yang luas ilmu dan keutamannya yang pernah aku jumpai, namun aku tak memperoleh kebaikan dari mereka.: Atas keteledoran ini, aku gubah sebuah syair, “Oh… sungguh aku menyesal dengan segala penyesalan atas kelengahan. Setiap sesuatu yang telah hilang, tak akan bisa dijumpai lagi.” Sayidina Ali RA berkata, ”Bila kamu berada dalam satu urusan maka tetaplah di dalamnya. Kehinaan dan kerugian itu akibat berpaling dari ilmu Alloh SWT. Maka berlindunglah kepada Alloh SWT darinya pada malam dan siang hari.”
Para penuntut ilmu harus bertahan menanggung penderitaan dan kehinaan ketika mencari ilmu. Tamalluq (menjilat atau mencari muka) itu tercela kecuali dalam urusan menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu itu tidak bisa terpisah dari guru, teman-teman belajar, dan sebagainya.
Ada yang berkata, “Ilmu itu luhur, tiada hina padanya. Namun ilmu tak bisa didapat kecuali dengan merendah.” Penyair berkata, “Aku tshu ksmu bernafsu ingin menjadi orang mulia. Namun kamu tak akan memperoleh kemulian selama kamu tidak menghinakan diri sendiri.”



BAB 39
SIKAP WARA’ DALAM MENUNTUT ILMU

Sebagian ulama meriwayatkan sebuah hadis, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa tidak berlaku wara’ ketika belajar ilmu, maka dia akan diuji oleh Alloh SWT dengan salah satu dari tiga macam ujian,yaitu: mati muda, ditempatkan bersama orang-orang bodoh, atau diuji menjadi pelayan pemerintah.”
Santri yang bersifat wara’ ilmunya lebih bermanfaat. Belajarnya lebih mudah. Termasuk sifat Wara’ ialah menghindari rasa kenyang, banyak tidur, dan banyak bicara yang tidak berguna. Hindari makan-makanan pasar kalau bisa, karena makanan pasar itu lebih dekat kepada najis dan kotor, ketika membuatnya jauh dari zikir kepada Alloh SWT , lebih dekat kepada kelalaian. Sebab mata orang-orang kafir itu memperhatikan makanan itu tapi mereka tak beruang, dan tidak mampu membeli. Mereka tentu menahan rasa sakit karena tak terpenuhi keinginannya. Oleh karena itu makanan pasar itu hilang berkahnya.
Diceritakan bahwa Syaikh Al Jalil Muhammad bin Fadhal ketika mengaji beliau tidak mau makan-makanan pasar. Ayahnya yang tinggal di desa pada suatu hari datang ke tempatnya, pada hari Jum’at. Kemudian beliau menyiapkan makanan untuk ayahnya. Ketika ayahnya masuk ke rumahnya, dia melihat ada sepotong roti pasar. Maka ayahnya tak mau berbicara dengannya karena murka.
“Makanan ini bukan saya yang membeli, karena saya tidak menyukainya. Tapi teman saya yang membawakannya.” Alasan beliau kepada ayahnya, Lalu ayahnya berkata.” Jika kamu berhati-hati dan bersikap wara’ tentu temanmu itu tidak membawa makanan itu.”
Begitulah gaya hidup para ulama salaf. Mereka bersifat wara’, oleh sebab itu mereka diberi keluasan ilmu dan diberi kekuasaan untuk menyebarkannya, sehingga nama mereka tetap dikenang sampai hari kimat.
Salah seorang ahli fiqih yang zuhud berpesan kepada seorang pelajar, “Jauhkan diri dari membicarakan orang lain (ngrasni, Jawa) dan dari kebiasaan berkumpul bersama orang yang banyak bicara.”
Beliau berkata pula. “Sungguh orang yang banyak bicara, itu mencuri umurmu, dan membuang buang waktumu. “
Termasuk wara’ adalah menyingkirkan dari orang yang suka berbuat kerusakan dan maksiat serta senang menganggur. Karena bergaul dengan orang seperti itu bisa terpengaruh. Santri hendaknya menghadap kiblat ketika belajar untuk mengikuti sunnah Nabi SAW dan hendaknya ia mengambil manfaat dari doa orang yang ahli berbuat baik hendaknya ia menghindari doa orang yang teraniaya.
Dikisahkan bahwa ada dua orang laki-laki pergi mengaji di tempat yang jauh. Kedua orang tersebut menuntut ilmu di tempat yang sama. Mereka selalu mengulang-ulang pelajarannya bersama-sama.
Setelah beberapa tahun mereka kembali ke daerahnya. Tapi yang satu pandai yang satunya tidak. Kemudian para ahli fiqih di daerah tiu bertanya kepada dua orang itu tentang keberadaanya, cara belajarnya, dan cara duduknya ketika belajar. Lalu para ahli fiqih itu mendapat berita bahwa orang yang pandai itu, ketika belajar ia, menghadap kiblat dan menghadap ke kota dia menimba ilmu. Sedang temannya membelakangi kiblat ketika belajar, dan mukanya berpaling dari arah kota itu.
Maka para ulama dan fuqaha bersepakat bahwa orang yang pandai tersebut karena mendapat berkatnya menghadap kiblat. Karena menghadap kiblat ketika belajar hukumnya sunnah. Dan karena berkat doanya orang-orang Islam yang menghuni kota tersebut. Karena pendudk kota tersebut ahli ibadah, yang selalu mendoakan orang yang belajar ilmu agama di malam hari.
Oleh karena itu, seorang santri tidak boleh meremehkan adab sopan santun dan hal-hal yang hukumnya sunnah. Karena orang yang meremehkan adab, pasti dia terhalang dari hal-hal yang sunnah. Barangsiapa meremehkan ibadah-ibadah sunnah, maka dia pasti terhalang dari ibadah fardhu. Akibatnya dia bisa meremehkan ibadah fardhu. Dan orang yang meremehkan ibdah fardhu tentu terhalang dari urusan akhirat. Begitu menurut hadis Rasulullah SAW.
Seorang santri harus memperbanyak salat. Harus khusyu’ ketika melakukan salat. Karena hal itu dapat membantu memperoleh ilmu dan belajar,
Syaikh Najmuddin Umar bin Muhammad Nasafi, berkata dalam syairnya: “Kamu adalah orang yang menjaga perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT. Dan orang-orang yang menjaga dan aktif mengerjakan salat. Tuntutlah agama Syara’. Giatlah mempelajarinya sambil memohon pertolongan melalui amalan yang baik, niscaya kamu menjadi orang ahli ilmu agama. Memohonlah kepada Tuhanmu agar hafalanmu dipelihara dari kelupaan oleh-Nya. Karena kamu orang yang suka akan anugerah-Nya. Alloh SWT adalah sebaik-baik Zat yang memelihara.”
Beliau juga berkata, “taatlah kalian kepada Alloh SWT dan bersemangatlah, jangan bermalas-malasan. Karena kalian pasti akan kembali kepada-Nya,makadari itu kamu angan kebanyakan tidur, karena sebaik-baik makhluk adalah orang yang sedikit tidurnya.”
Seoranag pelajar harus selalu membawa buku setiap waktu, untuk di telaah. Dikatakan, “Barangsiapa yang tidak ada buku disakunya, maka tidaklah melekat dalam hatinya.”
Pelajar harus mencatat di bukunya apa yang didengar dari gurunya.
EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. PENGERTIAN EVALUASI
1. Secara Etimologi
Berasal dari bahasa Inggris : Evalution akar katanya value yang berarti nilai atau harga. Nilai dalam bahasa Arab disebut al-Qimah atau al-Taqdir . Dengan demikian secara harfiah, evaluasi pendidikan al-Taqdir al-tarbawiy dapat diartikan sebagai penilaian dalam (bidang) pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan.
2. Secara Terminologi
Para ahli mendevinisikan evaluasi sebagai berikut:
a. Menurut Edwind Wandt, evaluasi mengandung pengertian : suatu tindakan atau proses dalam menentukan nilai sesuatu.
b. Menurut M. Chabib Thoha, evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan onjek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Dengan demikian evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sitematik, dan berdasarkan atas tujuan yang jelas.
3. Evaluasi Pendidikan
Menurut Lembaa Pendidikan Administrasi Negara batasan mengenai evaluasi pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan.
b. Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (Fead Back) bagi penyempurnaan pendidikan.
Evaluasi dalam proses pembelajaran mengandung makna yaitu: (1). Pengukuran (measurement) dan (2). Penilaian (Evaluation)
4. Evaluasi Pendidikan Islam
Kalau kita kaitkan dengan pengertian evaluasi pendidikan dan pendidikan Islam, maka evaluasi itu berarti suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan Islam, Al-Wahab menyatakan bahwa evaluasi atau tagwim itu adalah sekumpulan kegiatan-kegiatan pendidikan yang menetukan atas suatu perkara untuk mengetahui tercapainya tujuan akhir pendidikan dan pengajaran sesuai dengan program-program pelajaran yang beraneka ragam. Evaluasi menitik beratkan pada proses pendidikan dn pengajaran peletakannya berupa catatan-catatan latihan dan juga pertemuan tatap muka.
B. FUNGSI EVALUASI
Dilihat dari prinsip evaluasi yang terdapat di dalam al-Quran, dan praktek yang dilakukan Rasululloh SAW, maka evaluasi berfungsi untuk :
1) Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi. (Q.S. al-Baqarah 155)
2) Untuk mengetahui sejauh mana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasululloh SAW kepada umatnya. )Q.S. al- Naml : 40)
Seorang pendidik melakukan evaluasi disekolah mempunyai fungsi sebagai berikut :
(1). Untuk mengetahui peserta didik yang mana yng terpandai dan terbodoh dikelasnya.
(2). Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki oleh peserta didik atau belum.
(3). Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesame peserta didik.
(4). Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan pesert didik setelah mengalami didikan dan ajaran.
(5). Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai penyesuaian dalam kelas.
(6). Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk rapor ijazah, piagam dan sebagainya.
C. PRINSIP VALUASI
1. Prinsip Umum
a. Valid
b. Berorientasi kepada kompetensi
c. Berkelanjutan
d. Menyeluruh
e. Bermakna
f. Adil dan objektif
g. Terbuka
h. Ikhlas
i. Praktis
j. Dicatat dan akurat
2. Prinsip Khusus
a. Adanya jenis penilaian yang digunakan yang memungkinkan adanya kesempatan terbaik dan maksimal bagi peserta didik menunjukan kemampuan hasil belajar mereka.
b. Setiap guru harus mampu melakasnakan prosedur penilaian, dan pencatatan secara tepat prestasi dan kemampuan serta hasil belajar yang dicapai peserta didik.
D. JENIS-JENIS PENILAIAN (EVALUASI)
1. Penilaian Formatif, yaitu penilaia untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik setelah menyelesaikan program dalam satuan materi pokok pada suatu bidang study tertentu:
a. Fungsi
Untuk memperbaiki proses pembelajaran kearah yang lebih baik dan efisien atau memperbaiki satuan atau rencana pmbelajaran
b. Tujuan
Untuk mengetahui hingga dimana penguasaan peserta didik tentng materi yang diajarkan dalam satu rencana atau satuan pelajaran
c. Aspek aspek yang dinilai
Aspek yang dinilai pada penilaian normative ialah, hasil kemajuan belajar peserta didik yang meliputi: pengetahuan, ketrampilan, sikap terhadap materi ajar agama yang disajikan.
2. Penilaian Sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik yang telah selesai mengikuti pembelajaran dalam satu caturwulan semester, atau akhir tahun.
a. Fungsi
Untuk mengetahui angka atau nilai murid setelah mengikuti program pembelajaran dalam satu caturwulan / semester
b. Tujuan
Untuk mengetahui taraf hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik setelah melakukan program pembelajaran dalam satu caturwulan, semester, akhir tahun atau akhir program pembelajaran
c. Aspek-aspek yang dinilai
Adalah kemajuan hasil belajar meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan pengasaan murid tentang materi pembelajaran yang diberikan.
d. Waktu Pelaksanaan
Dilaksanakan sebelum peserta didik mengikuti proses pembelajaran permulaan atau peserta didik tersebut baru akan mengikuti pendidikan disuatu tingkat tertentu
3. Penilaian Penempatan (Placement), yaitu penilaian tentang probadi peserta didik untuk kepentingan penempatan di dalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi peserta didik.
a. Fungsi
Untuk mengetahui keadaan peserta didik sepintas lalu termasuk keadaan seluruh pribadinya, peserta didik tersebut dapat ditempatkan pada posisinya. Umpamanya; peserta didik yang berbadan kecil ditempatkan didepan agar tidak mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar.
b. Tujuan
Untuk menempatkan peserta didik pada tempatnya yang sebenarnya, berdasrkan bakat, minat, kemampuan, kesanggupan, serta keadaan diri peserta didik sehingga peserta didik tidak mengalami hambatan.
c. Aspek yang dinilai
Keadaan fisik dan psycis, bakat, kemampuan, pengetahuan, pengalaman keterampilan, sikap, dan aspek lain yang dianggap perlu bagi kepentingan pendiidkan peserta didik selanjutnya.
d. Waktu pelaksanaan
Dilaksanakan sebelum peserta didik menduduki kelas tertentu sewaktu peneimaan murid baru atau setelah naik kelas.
4. Penilaian Dianostik, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil penganalisaan tentang keradaan belajar peserta didik baik merupakan kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam proses pembelajaran
a. Fungsi
Untuk mengetahui masalah-masalah yang diderita atau mengganggu peserta didik. Kesulitan peserta didik tersebut diusahakan pemecahannya.
b. Tujuan
Untuk membantu kesulitan atau mengetahui hambatan yang dialami peserta didik.
c. Aspek-aspek yang dinilai
Antara lain hasil belajar yang diperoleh murid, latar belakang kehidupannya, serta semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran.
d. Waktu pelaksanaan
Sesuai dengan keperluan pembinaan dari suatu lembaga pendidikan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan para peserta didiknya.
E. PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)
1. Pergantian PBK
Yaitu suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti autentik, akurat dan konsisten, serta mengidentifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar pada mata pelajaran yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan petunjuk kemajuan belajar peserta didik dan pelopornya.
2. Fungsi PBK
a) Bagi peserta didik
1) Mewujudkan dirinya dalam merubah atau mengembangkan penilaiannya dengan mengubah atau mengembangkan performans perilakunya kearah yang lebih baik (positif) dan maju (progresif)
2) Mendapatkan kepuasan atas apa yang telah dikerjakannya.
b) Bagi Guru
1) Menetapkan berbagai metode dan media yang relevan dengan kompetensi yang akan dicapai pada proses pembelajaran Fiqh
2) Membuat pertimbangan dan keputusan administratife
3. Tujuan
a) Mengetahui kemajuan belajar peserta didik, baik sebagai indidvidu maupun anggota kelompok/kelas setelah mengikuti pembelajaran mata pelajaran tertentu.
b) Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran yang dipergunakan guru dalam jangka waktu tertentu
c) Menentukan tindak lanjut dari kegiatan pembelajaran bagi peserta didik
4. Aspek-aspek yang dinilai
Kumpulan kerja perserta didik (Partofolio), hasil karya (product), penugasan (project), kinerja (performance), tindakan (action), dan tes tertulis (subjektif, objektif, dan proyektif)
5. Waktu Pelaksanaan
Dilaksanakan sepanjang waktu secara berkesinambungan selama peserta didik mengikuti proses pembelajaran

MUHLASIN STAINU KEBUMEN

MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN (MASYAQOT)

MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN
(MASYAQOT)

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Program Strata Satu Fakultas Tarbiyah
Semester III / E
Mata Kuliah : Kaidah Fiqih
Dosen
H. Muhammad Bahrul Ilmie, S.Ag., M.Hum.

Disusun Oleh

Muhamad Muhlasin


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadhirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyusun tugas makalah yang berjudul “MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN (MASYAQOT)” ini dengan lancar.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fiqih pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAINU) Kebumen, Semester III, Program S1, Pendidikan Agama Islam Tahun Akademik 2010/2011
Terima kasih kami sampaikan pada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini, khususnya terima kasih kami sampaikan pada Bapak H. Muhammad Bahrul Ilmie, S.Ag., M.Hum., selaku Dosen pengampu mata kuliah Kaidah Fiqih.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi kita khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.


Kebumen, Januari 2011


Penyusun

DAFTAR ISI

JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN (MASYAQOT) 4
1. Dasar Kaidah 4
2. Definisi Masyaqqat, Rukhsoh, dan ‘Azimah 7
3. Karakter dan Kwalifikasi Masyaqot 10
4. Metode Taqribi 11
5. Bentuk Rukhsoh (Toleransi) dan Obyek serta Hukum-hukunya 13
6. Aplikasi Rukhsoh 26
a. Dalam Mu’amalah 26
b. Dalam Ibadah 29
c. Dalam Pernikahan, dll 30
7. Kaidah-Kaidah Pendukung (Senada) 33
DAFTAR ISI 37

BAB I
MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN
(MASYAQOT)

Kaidah Yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan Teks Kaidah
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّسْيِرَ
“Kesukaran itu dapat menarik kemudahan.”
(as-suyuthi, TT:55)

1. Dasar Kaidah
a. Al-Qur’an
Dalam surat al-baqarah ayat 185 disebutkan :
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ اليُسْرَولايُريدُ بكُمُ العُسْرَ
“Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai kesulitan bagimu sekalian”
Ditilik dari ashab al-nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang yang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Manun menurut kalangan Mufassirin, jika ditilik dari aspek universalitas teks (‘umum al-lafzhi) pesan mendasarnya, maka ayat di atas berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang yang sakit atau musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.
Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan :
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدَّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian sesuatu kesempitan dalam urusan agama”

Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah swt. berfirman :
مَايُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”
Secara etimologi (bahasa), lafazh haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti “kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut Mufassirin, kalimat haraj pada ayat di atas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
Disamping itu, Allah swt. dalam QS. Al-Hajj di atas juga mencantumkan lafadz “fi al-Din” yang secara eksplisit menunjukkan bahwa kesulitan yang dimaksud adalah setiap kesulitan yang timbul dalam kerangka keagamaan (baca : syariat). Dengan demikian, peniadaan kesulitan dalam Islam merupakan aspresiasi Syari’ (Allah swt atau Nabi Muhammad saw.) terhadap dialektika hubungan umat yang tidak lepas dari beraneka ragam bentuk kesulitan. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa formulasi hukum ritual dan sosial umat Islam telah dimodifikasi dalam format yang mudah,fleksibel dan penih toleransi. Berbeda dengan umat-umat terdahulu (pra Islam) yang kontruksi syaratnya apalagi dibandingkan dengan syariat Islam seringkali teramat berat, ketat, dan kurang, aspresiatif terhadap karakteristik dan kondisi psikologis manusia.
Contoh paling sederhana adalah cara bersuci kaum Bani Israil, dimana anggota tubuh yang terkena najis yang dipotong. Bandingkan dengan Islam yang cara bersucinya cukup menggunakan air. Contoh lain seperti cara bertaubat mereka harus dilakukan dengan bunuh diri. Tidak ada jalan lain untuk menebus kesalahan atau dosa selain mati.
Formulasi hukum yang dibanding dengan syariat Nabi saw. terlihat “kurang manusiawi” ini yang nampak dari cara kaum Bani Israil memperlakukan orang-orang yang melakukan kesalahan, dimana aib atau kesalahan orang ini akan ditulis di keningnya atau di pintu rumahnya. Sebuah stigmatisasi yang tidak dikenal dalam formulasi hukum Islam.

Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah QS. al-Nisa ayat 28:
يُرِيدُ اللهُ أنْ يُخَفَّفَ عَنْكُمْ
“Allah mencintai kemudahan bagi kaum sekalian”.
Dimensi lain dari kemudahan (takhfif) yang tersirat pada ayat terakhir ini,menurut Syaikh Yasin al-Fadani, merupakan upaya Islam untuk memberi kebaikan, keringanan, dan keutamaan kepada umat. Syariat Nabi Muhammad saw. Selain itu, keringanan tersebut menjadi titik pembeda (al-fariq) antara syariat Nabi Muhammad saw. dengan bangunan hukum kaum Bani Israil.

b. Al-Hadits
Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah :
انَّمابُعِثتُم مَيْسِّرِيْنَ ولم تُبْعَثُوامُعَسِّرِينَ (رواه الشيخان)
“Kalian semua (kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw.) diutus untuk memberi kemudahan ; tidak untuk menyulitkan” (H.R. Bukhari-Muslim)

Atau hadits riwayat Imam Ahmad ra.:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنَّ دِينَ اللهِ يُسْرٌ, ثَلاَثًا
“Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah.” (kata-kata itu) diucapkan tiga kali.

Serta hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim :
مَاخُيَّرَ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أمْرَينِ الاّ اخْتَارَ أيسَرَهُمَامَالَم يَكُنْ إثْمَا
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah dan ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.


Lalu hadits yang berbunyi :
يَسِّرُوا ولاتُعَسِّرُوا
“Pemudahlah dan jangan menyulitkan”

Maksud dari agama mudah (al-sa,hah) dalam redaksi hadits terakhir ini, menurut al-Munawi adalah agama yang tidak membebani dosa dan tidak memberatkan umatnya yang sedang menghadapi kesulitan. Dan agama yang demikian itu, tambah al-Munawi, tidak lain adalah Islam.
Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqih : al-masyaqqah tajlib al-taysir oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besaran apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringan hukum. Bahkan al-Syab’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt .

2. Definisi Masyaqqat, Rukhsah dan ‘Asimah
a. Masyaqqat
Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat dan yang searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syaa’ berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di dalam al-Qur’an terdapat lafazh yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat tujuh.
Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna. (1) Masyaqqah oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika seseorang manusia berusaha untuk terbang dianggap melakukan masyaqqag dalam pengertian pertama. (2) Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat. (3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan kesulitan yang tidak sampai keluar dari kebiasaan umum.(4) Masyaqqah yang dimaknai sebagai “melawan hawa nafsu”.
Untuk membedakan masyaqqah bisa bisa berpengaruh dalam tataran hukum, al-Syathibi memberikan sebuah batasan bahwa pekerjaan tersebut saking beratnya jika dilakukan terus-menerus, akhirnya justru membuatkan ditinggalkan secara total atau sebagian saja. Atau jika pekerjaan itu tidak menyebabkan salah satu bagian dari pelaku menjadi ‘tidak beres’. Kesulitan dalam sebuah pekerjaan berdampak terhadap hal-hal seperti ini termasuk bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.


Rasionalisasi Rukhsoh Dalam Islam
Allah SWT sebagai Musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasann-Nya itu mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syari’ah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentuntya syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Dalam pada itu, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni positif (wajib), cenderung ke positif (sunnah), netral, cenderung ke negatif (makruh) dan negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT memberikan hukum keharusan yang disebut dengan ‘Azimah yakni keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif.
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhshah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah seimbang dengan kebolehan melakukan rukhshah .
Allah SWT berfirman :
يُرِيْدُ اللهُ اَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الاِْ نْسَانُ ضَعِيْفًا (النساء٢٨)
Allah menghendaki keringanan pada kalian dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah. (QS. An-Nisa : 28)
لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًااِلاَّوُسْعَهَا (البقرة ٢٨٦)
Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan. (QS. Al-Baqarah :286)

Sabda Nabi SAW :
اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اِنْ يُؤْتِيَ رُخُصَهُ كَمَايُحِبُّ اَنْ يُؤْ تِيَ عَزَائِمَهُ (رواه احمدوالبيهق عن ابن عمر)
(Sesungguhnya Allah suka memberikan keringanan-keringananNya sebagaimana ia senang memberikan keharusan-keharusannya). (HR. Ahmad dan Baihaque dari Ibnu Umar)
Bagi asy-Suatibi, kesuliyan itu dihilangkan bagi orang yang mukalaf karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap ubadah, serta benci terhadap terhadap taklof, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakekatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua karena takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang lain itu termasuk ibadah pula .
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah di atas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan .


b. Rukhsoh dan ‘Azimah
Pada dasarnya, rukhsah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang.
Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adakah sutau formulasi hukum-hukum dasar syariat yang bersifat tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi,maupun reduksi.
Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti mengalami seperti sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi telah berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah .

3. Karakter dan Kualifikasi Masyaqat
Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum terbafi dalam dua pembagian pokok :
1) Masuaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis mengggugurkan kewajiban haji. Rasa capek dan takut dalam peperangan,tidak dapat menggugurkan kewajiban jihad. Masalahnya, masih mengutip al-Suyuthi, masyaqqah semacam itu sudah merupakan tabiat dasar dan koneskuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika telah melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek, dan sebagainya. Begitu pula kewajiban jihad tetap harus terlewati rasa lelah, takut, bahkan kematian pun bisa terjadi. Sehingga tidak logis jika kemudahan (rukshah) diterapkan dalam domain ini.
2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan :
 Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syariat memberlakukan keringan hukum (rukhshah). Sebab, demikian tulisan al-Suyuthi, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya. Hal ini tentu akan membuat kewajiban itu sendiri menjadi terbengkelai. Dengan diberlakukannya rukhshah, maka kewajibab tersebut tetap bisa dilaksanakan.
 Masyaqqah yang sangat ringan (adna’). Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah. Sebab kemashalatan ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah katagori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga kemashlahatan ibadah yang nyata-nyata punya nilai lebih harus lebih diutamakan.
 Masyaqqah pertengahan (al-mutawasithah) yang berada pada titik iniversal diantara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan tertinggi (a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada katagori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.

Dalam catatan terakhir, al-Suyuthi menandaskan bahwa tidak ada ukuran pasti pada jenis masyaqqah yang mutawassitah ini. Satu-satunya cara mengetahuinya adalah melalui metode analisa-kualitatif (taqribi ; mendekatkan) .

4. Metode Taqribi
a. Klasifikasi Kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 katagori, yaitu :
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah kesilitan yang alami, di mana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat dihilangkan taklif, dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah untuk menggugurkan hukum qishas. Karena itu Ibnu Abdus Salam menyatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak menggugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak memperingan, karena jika hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa bila kesulitan itu berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhirat dapat mengikuti kadar kepayahan itu .
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, di mana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan memaksa diri dan memberatkan kehidupanya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah). Misalnya wanita selalu istihadlah, maka wudunya cukup untuk sholat wajib sedang untuk ibadah sunnah yang lainnya tidak diwajibkan, dan perbolehkan sholat khusus bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya .

b. Metode Taqribi
Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat mengerjakan, si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur beragam jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum.
Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf terendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf terendah, baik telah mencapai katagori mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat rukhshah.
Dalam uraian seputar metodologi ini, ‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam menandaskan bahwa, ibadah pasti mengandung masyaqqah (sekurang-kurangnya dipandang dari segi bahwa ia adalah taklif atau tuntutan. Jika kadar masyaqqah yang normal semakin bertambah tingkat kesulitannya karena ada masalah-masalah tertentu, maka di titik ini dia telah berada pada dan berubah menjadi level mutawassithah. Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambag masyaqqah sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.
Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain mengalami masyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa beratnya melakukan perjalanan .

5. Bentuk Rukhsah (Toleransi) dan Obyek serta Hukum-Hukumnya
a. Bentuk Rukhsah
1) Tipologi Beban dan Masyaqqot
Untuk mengetahui secara jelas masalah-masalah yang berhubungan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mujallaf, diperlukanlah adanya standarisai beban kewajiban yang harus dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan pada seberapa jauh masyaqqot yang ada pada pelaksanannya.
Dari faktor itulah, para ahli hukum Islam, seperti al-Syathibiy mengajukan pemikirannya tentang standarisasi Taklif dan Masyaqqot dengan menyatakan bahwa Taklif (beban kewajiban) itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipologi, yaitu :
1. Beban kewajiban dengan sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan, artinya beban kewajiban yang mengharuskan adanya syarat kemampuan orang dewasa dalam melakukan kehendaknya, hanya saja jika ada beban kewajiban yang tampaknya diluar kemampuan, maka sebenarnya hal ini merupakan suatu perintah dengan sebab-sebab yang mendahului atau akibat-akibat yang menyertainya, misalnya “Perintah untuk saling mencintai”. Yang dimaksudkan dengan perintah ini adalah suatu perbuatan yang bisa mendatangkan suatu kasih-sayang, bukan adanya cinta ansich, sebab hal ini diluar kemampuan manusia.
2. Beban kewajiban dengan sesuatu yang didalamnya mengandung suatu kesulitan, artinya hukum tidak menghendaki kesulitan. Maksudnya kesulitan yang timbul dari beban kewajiban tersebut tidak menjadi tujuan utama dari kewajiban tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya hal-hal sebagai berikut :
a. Al-qur’an dan al-Hadits secara ekplisit tidak menegaskan adanya paksaan.
b. Keberadaan beban kewajiban sebagai akibat adanya konsekensi untuk menghilangkan kesulitan atau masyaqqah.
c. Kesepakatan ‘ulama (ijma) menetapkan bahwa hukum Islam (syari’ah) itu sama sekali tidak bermaksud menjadikan perbuatan-perbuatan yang sulit sebagai suatu kewajiban.
Sekalipun demikian, hal seperti itu bukan berarti setiap kewajiban lepas begitu saja dari suatu kesulitan, sebab kesulitan adalah salah satu unsur yang memang didalam suatu kewajiban itu sendiri. Oleh sebab itu, kesulitan dapat diklasifikasikan menjadi dua tipologi, yaitu :
a. Al-masyaqqah idtirary, yaitu kesulitan yang merupakan konsekwensi logis dan tidak bisa dihindari dari suatu perbuatan dan kewajiban tertentu. Dan kesulitan ini merupakan kesulitan yang inhern, sebab kesulitan ini sama halnya dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh suatu pekerjaan seseorang dalam melengkapi kebutuhan hidupnya. Karena itulah kewajiban tersebut pasti mengandung kesulitan, tetapi sifatnya masih dalam batas kewajaran.
b. Al-Masyawwah al-Kharijy, yaitu kesulitan yang tidak memiliki hubungan apapun dengan kewajiban. Kesulitan ini memang tidak menjadi keinginan pelakunya dan juga bukan sebagai akibat dari suatu perbuatan, sebab adanya tidak disebabkan oleh kewajiban tersebut, tetapi keberadaannya bisa menpengaruhi atau memodifikasi kewajiban, seperti lapar, haus, dan sebagainya. Inilah yang menyebabkan munculnya “Rukhshah”
سِتَّةَ اَنْوَاعٍ كَمَاقَدْ رَسَمُوْا (١١٩) وَالشَّرْعُ تَخْفِيْفَاتُهُ تَنْقَسِمْ
تَحْفِيْفُ اِبْدَالٍ وَتَقْدِيْمٍ جَلِى (١١۰) تَخْفِيْفُ اِسْقَاطٍ وَتَنْقِيْصٍ يَلِى
تَخْفِيْفُ تَغْييْرٍ يُزَادُفَلْيُعَدْ (١٢١) تَخْفِيْفُ تَأْخِيْرٍ وَتَرْخِيْصٍ وَقَدْ

Dalam pandangan syara’, keringanan (Takhfif) itu, bisa diklasifikasikan menjadi 6 macam, yaitu :
1. Takhfifu isqothin, (keringanan dalam bentuk pengguguran)
2. Takhfifu tasqishin (keringanan dalam bentuk pengurangan)
3. Takhfifu ibdalin (keringanan dalam bentuk penggantian mendahuluan).
4. Takhfifu taqlimin (keringanan dalam bentuk mendahulukan)
5. Takhfifu ta’khirin (keringanan dalam bentuk pengakhiran)
6. Takhfifu tarkhisnin (keringan dalam bentuk kemurahan)

2) Tipologi Rukhshah (Takhfif)
Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam :
1. Takhfif Isqath, Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban. Seperti udzur sholat Jum’at, haji,umrah, dan jihad. Jika semua pekerjaan ini tidak dapat terlaksana akibat adanya udzur dengan ketentuan-ketentuan, maka syariat memberi toleransi dengan menghapus kewajiban-kewajiban tadi. Untuk sholat Jumat diganti dengan sholat zhuhur sebagaimana pada hari biasa.
2. Takhfif Tanqish, Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir. Sebelum menjadi musafir, ia harus melaksanakan shalat dzuhur atau ashar sebanyak 4 rakaat. Tapi setelah ia berada dalam perjalanan, maka kewajiban empat rakaat itu diperingan menjadi 2 rakaat dengan cara diqasrar.
3. Takhfif Ibdal, rukhsah berbentuk penggantian. Contohnya mandi dan wudhlu boleh diganti dengan tayamun. Kewajiban berdiri dalam shalat dapat diganti dengan duduk, duduk dalam shalat dapat diganti dengan shalat berbaring miring (idlthija), dan idltija dapat diganti dengan isyarat. Begitupula kewajiban memerdekakan budak dalam karafat yang bisa diganti dengan puasa 2 bulan, atau mengganti kewajiban puasa dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagian kewajiban haji dan umrah boleh diganti dengan kafarah. Semua bentuk “penggantian” di atas boleh dilakukan jika kita mengalami udzur, dan inilah uang dimaksud dengan takhfif ibdal.
4. Takhfif Taqdim, rukhshah dengan mendahulukan. Misalnya dalam jama; taqdim, dimana shalat ashar boleh didahulukan pada waktu zhuhur, shlat isya’ boleh dikerjakan pada waktu shalat maghrib ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hujan lebat.
5. Takhfif Ta’khir, rukhshah berupa penundaan aktivitas. Seperti shalat jama’ ta’khir.sholat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu shalat ashar, dan sholat maghrib pada sholat isya. Begitupun kewajiban puasa ramadhan boleh dilakukan pada bulan sesudahnya bagi orang yang sakit dan musafir. Boleh pula mengakhiri sholat bagi seseorang yang sedang menyelematkan nyawa orang lain, baik karena tenggelam, kebakaran, atau lainnya.
6. Takhfif Tarkhis, Rukhshah berbentuk peringatan. Seperti diperobolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makan yang najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan tenggorokan yang tersumbat. Semua jenis rukhshah semacam ini boleh dilakukan jika sudah menjadi keharusan atau menjadi satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan jiwa penderita. Hukum yang sama juga berlaku pada orang yang mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan terpaksa. Begitupun seseorang yang tayamun, walaupun hadatsnya belum hilang tapi ia diperbolehkan melaksanakan shalat, dan orang yang bersuci dengan memakai batu boleh melakukan shalat walaupun masih terdapat sisa-sisa kotoran yang tidak dapat hilang kecuali dengan memakai air.

Selain enam pemilahan di atas, al-Ala’i menambahkan satu lagi bentuk rukhshah yang diberi nama takhfif-taghyir (rukhshah keringanan-perubahan). Seperti perubahan runtutan gerak dalam shalat pada saat situasi yang menakutkan (shalat al-khawf), semisal shalat pada masa peperangan. Sholat dalam kondisi seperti ini boleh dilakukan sesuai kemampuan atau gerakan yang mungkin dilakukan, tanpa aturan pasti. Seperti kita maklumi, dalam kondisi bagaimanapun seorang muslim tetap berkewajiban mendirikan shalat, termasuk dalam keadaan perang.
Namun ulama lain mengatakan, rukhshah jenis ini termasuk katagori rukhshah tanqish (bagian ke-2), dengan argumen bahwa runtutan shalat khawf telah berkurang dari runtutan semula (al-nazhm al-ashl). Ada juga yang mengatakan termasuk katagori rukhshah tarkhish (bagian ke-6). Dengan latar belakang khilaf seperti ini, dapat disimpulkan bahwa pemilihan rukhshah tetap ada enam.

b. Obyek-Obyek
Setidaknya ada tujuh obyek yang bisa mendapat rukhsah. Ketujuh obyek tersebut adalah :
d. Pemaksaan (ikrah)
Kalangan Ushuliyyin cenderung berbeda pandangan dalam mendefinisikan ikhrah ini, ada yang mengatakan, ikhrah adalah menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidak diinginkannya. Ada yang mendefinisikan sebagai menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan tertentu, sekaligus memberikan ancaman yang sangat mungkin dijatuhkan, sehingga mukrah (orang yang dipaksa) mengalami ketakutan serta masih lagi definisi-definisi lain.
Terlepas dari khilaf di atas, al-Suyuthi memberikan tujuh syarat pokok ikrah yang bisa menyebabkan rukshah :
 Pemaksa (mukrih) mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui saran kekuasaan atau gencarnya intimidasi.
 Mukrah tidak mampu menolak dengan cara apapun, baik dengan melarikan diri, minta pertolongan orang lain, atau bahkan mengimbangi paksaan itu.
 Mukrah mempunyai prasangka kuat bahwa jika dia menolak paksaan itu, maka makrih akan menjatuhkan ancamannya.
 Obyek paksaan adalah sesuatu yang haram dikerjakan misalnya : membunuh, merampok, memukul orang lain, dan lain sebagainya.
 Ancaman mukrih adalah sesuatu yang bisa dijatuhkan secara langsung. Artinya, ketika mukrih mengancam, seketika itu pula ia akan melaksanakan ancamannya, Sehingga, andaikata ancaman itu masih akan diwujudkan di lain waktu, satu hari lagi misalnya maka makrah tidak akan mendapat rukhshah.
 Ancaman harus berupa sesuatu yang jelas atau ditentukan (mu’ayyam). Artinya, tidak abstrak, mengambang, atau mengada-ada.
 Mukrah hanya bisa selamat dari ancaman jika mau melaksanakan paksaan mukrih.
Dengan terpenuhinya tujuh syarat diatas, bukan berarti secara otomatis mukrah akan mendapatkan rukhshah. Perlu diingat, ketujuh syarat di atas hanya terbatas pada obyek dan subyek paksaan (mukrah-mukrih). Ia belum menyentuh jenis-jenis paksaan. Padahal untuk menganalisa suatu khasus, syariat mendorong kita untuk tidak bersikap memahami sepotong-potong (parsial), melainkan harus melalui pengamatan yang komprehensif (menyeluruh). Tujuannya, agar produk hukum yang dihasilkan bisa lebih obyektif, proporsional, dan tentunya bisa dipertanggungjawabkan.
Karena itulah, kalangan Hanafiah secara kualitatif membagi jenis paksaan dalam dua bentuk, pertama ikrah mulja yakni sebuah paksaan dengan ancaman membunuh atau memotong salah satu organ tubuh, kedua ikrah ghayru mulja, yaitu suatu paksaan yang bukan berupa pembunuhan atau pemotongan tubuh. Jadi hanya berkisar antara pemukulan, pemenjaraan, perampasan harta benda, dan lain-lain.
Kedua macam ancaman di atas, masih mengutip Hanafiyah akan melahirkan predikat hukuman yang berbeda sesuai obyek paksaan. Paksaan untuk membunuh dan berzina misalnya, jelas haram dilakukan, karena perbuatan zina tidak ditolelir syariat. Berbeda kalau paksaan itu berupa perbuatan meminum khamr atau memakan bangkai. Hal itu justru wajib dilakukan.
Bisa juga obyek paksaan berupa rukhshah yang apabila dikerjakan, maka mukrah tidak mengandung dosa. Contohnya seseorang yang dipaksa mengucapkan kalimat yang berbau kufur, atau dipaksa mencuri barang orang lain. Kedua pekerjaan itu boleh dilakukan dan termasuk rukhshah, tapi dengan catatan, keduanya disertai ingkar dalam hati.
Berbeda dengan Hanafiah, kalangan Syafi’iyah secara lebih sederhana membagi ikrah hanya dalam dua jenis yang mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama, ikrah bi al-haq (paksaan yang dibenarkan. Seperti permasalahan hutang yang telah jatuh tempo. Orang yang berhutang (mukrah) boleh dipaksa untuk menjual barang-barang miliknya guna melunasi hutang-hutangnya. Paksaan semacam ini jelas wajib untuk dipenuhi, karena si mukrah memiliki kewajiban membayar hutang. Dan transaksi jual beli barang milik mukrah yang merupakan transaksi yang berdasar paksaan, hukumannya tetap sah.
Kedua, ikrar bi gair al-haq (paksaan tanpa alasan yang benar). Jenis paksaan kedua ini dibagi dalam dua katagori :
 Ikrah yang haram, seperti paksaan untuk membunuh. Dalam situasi ini, si mukrah tidak boleh melaksanakan paksaan itu. Karena jika demikian, maka ia akan mendapat qishash (sangsi pembunuhan yang berupa alasan yang setimpal). Sebab pada dasarnya, ia belum lepas dari tuntutan hukum (taklif), walaupun statusnya adalah orang yang dipaksa.
 Ikrah yang mubah (boleh). Misalnya dipaksa mencuri barang orang lain. Jika paksaan itu dilaksanakan, maka si mukrah akan terbebas dari jeratan hukum mencuri (had al-sariqah). Artinya, yang menanggung konsekuensi had pencurian adalah mukrih, sehingga ia harus di-had sekaligus mengembalikan barang yang dicuri. Jika barangnya tidak ada, maka harus memberi ganti rugi (dlaman).
Dari sekian kualifikasi ikrah diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa obyek paksaan berupa pembunuhan tetapharam dan tidak boleh dilakukan. Hal ini tidak lepas dari argumen dasar fiqh, bahwa perlindungan terhadap hak hidup setiap manusia (hifzh al-nafs) memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya, kita tidak boleh melindungi diri dengan mengorbankan orang lain. Nabi saw. Bersabda : la dlarara wa la dlirara. Atau dalam kaidah fiqh : al-dlarar la yuzalu bi al-dlarar. Begitu pula dengan paksaan melakukan zina. Syariat tidak memberikan rukhshah karena berlandaskan premis pokok, bahwa zina akan menimbulkan dampak yang lebih buruk di kemudian hari, yakni berupa kekaburan garis keturunan (nasl). Padahal perlindungan terhadap keturunan (hifzh as-nasl) merupakan salah satu unsur pokok terciptanya kemaslahatan universal fundamental (maslahah kulliyyah-asasiah), yang notabene adalah tujuan pokok diturunkannya syariat. Berbeda dengan paksaan meminum khamr, ternyata syara’ memberikan rukhshah, dengan syarat itu dilakukan demi mempertahankan nyawa, agar terhindar dari siksaan, juga harus dengan tidak menghendaki hakikat dari ucapan kufur itu (inkar bi al-qalb) artinya, kondisi hati tetap dalam keimanan kepada Allah. Dalam surat al_nahl : 106, Allah berfirman :
مَنْ كَفَرَ بِالله مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِهِ إِلَّامَنْ أَكْرِهَ وقَلْبُه مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setekah beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tenang..”
e. Lupa (nisyan)
Secara termologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum) untuk mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan memori yang sempat hilang.
Al-Karmani secara sederhana menyebutkan, nis-yan adalah hilangnya sesuatu yang telah diketahui daru daya lafal dan ingatan. Sedangkan sahwu adalah hilangnya hal-hal yang sudah diketahui dari daya hafal saja.
Dari dua definisi di atas, definisi versi al-Barmawi kiranya bisa dibuat perpaduan-kesimpulan (sintesa-konklusif). Menurut al-Barnawi, jika ingatannya bisa kembali dalam selang waktu yang tidak begitu lama, maka disebut sahwu. Tapi bila agak lama, dinamakan nis-yan.
Berkaitan dengan masalah rukhshah dan konsekuensi hukumnya, nis-yan masih dipilah dalam tiga perincian :
1. Jika bentuk nis-yan adalah meninggalkan sebuah kewajiban, maka kewajibab itu hakikatnya belum gugur. Dalam arti, jika ingatan telah pulih kembali, maka kewajiban itu harus dikerjakan kembali.
2. Apabila nis-yan-nya adalah melakukan sebuah larangan, maka akan menimbulkan dua perincian :
 Jika berhubungan dengan perusakan harta benda orang lain, maka tidak berdosa, namun wajib membayar ganti rugi (kompensasi, dlaman)
 Jika berhubungan dengan perusakan harta orang lain, maka tidak ada dosa ataupun ganti rugi.
3. Nis-yan terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, seperti hukuman dera (‘uqubah). Dalam kondisi seperti ini, nis-yan dianggap sesuatu yang syubhat (tidak jelas) sehingga dapat menggugurkan ‘uqubah tersebut.

c. Tidak tahu (jahl)
Kebodohan atau ketidaktahuan merupakan sesuatu yang sangat dilematis. Di satu sisi ia sangat dibenci syariat, disisi lain ia selalu ada pada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Karena itu, syariat tidak serta merta “memojokkan” semua bentuk kebodohan, melainkan memberi pemberian (sharing) yang proposional pada jenis-jenis kebodohan yang bisa mendapatkan rukhshah dengan yang tidak. Sehingga, kebodohan sebagai sebuah fenomena sosial yang bersifat alamiah, tidak “tersingkirkan” secara total, sekaligus tidak dibiarkan secara serampangan. Dengan kata lain, syariat ingin menempatkan ketidakmengertian seseorang pada posisi yang semestinya.
Karena itulah, syariat membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhshah dalam dua katagori berikut :
1) Ketidaktahuan terhadap hukum syariat karena baru masuk Islam (mu’allaf). Dalam kondisi ini, Islam memberikan toleransi yang sangat rasional dan manusiawi. Semisal seorang mu’allaf, ketika baru masuk Islam, tentunya belum begitu tahu akan agama yang baru dipeluknya secara rinci sehingga ketidaktahuan masih ditolerir syariat. Sedangkan bagi muslim yang telah lama memeluk agama Islam, diharuskan untuk menjalankan ritual agama sesuai dengan syarat-rukunnya. Tidak ada dispensasi sebagaimana mu’allaf.
2) Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti seorang muslim yang hidup di daerah terpencil, di hutan belantara, ataupun di sebuah komunitas besar, namun demikian diantara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama. Dalam kondisi seperti ini, syariat masih memberikan keluasan hukum kepadanya, karena ia memang berada dalam suatu keadaan yang sangat tidak mungkin dihindari. Berbeda halnya bagi kaum muslim yang hidup dan berkembang dalam komunitas yang religius dan kental dengan peradaban Islam, maka wajib melaksanakan ibadahnya sesuai konsep yang ditentukan syari’at, sebab kondisinya memang memungkinkan.
Bagi orang yang tidak tahu semacam itu, jika dia berada dalam kondisi serba sulit dan melakukan sebuah keleledoran, maka syariat masih memberi keringanan (rukhshah). Jika misalnya dia berbicara di saat shalat, maka tidak membatalkan shalatnya, karena ia memang tidak tahu bahwa berbicara di saat shalat bisa membatalkan.

d. Kondisi sulit (‘usr)
Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal itu tidak terjasi dalam dinamika keseharian saja. Tapi dalam pelaksanaan hukum syariat pun, dilema itu sering muncul tanpa diundang.
Contoh paling sederhana, ketika kita berjalan-jalan bertepatan dengan turunnya hujan, biasanya percikan air yang bercampur lumpur najis seringkali mengenai pakaian. Sementera kita sangat sulit menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris memenuhi badan jalan.
Sebagaimana telah kita maklumi, syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. ini tidak pernah bersikap ekstrim. Dalam arti, elastisitas hukum yang disesuaikan dengan konteks permasalahan adalah langgam kehadiran Islam. Islam tidak pernah bersikap kaku dalam menyikapi suatu persoalan. Ia selalu, memandang setiap persoalan dari berbagai persepekstif dan sudut pandang, sehingga hukum-hukum yang dicetuskannya selalu obyektif, koorperatif, dan komprehensif.
Nah, terkait dengan permasalahan diatas, Islam memang tetap menghukumi percikan yang mengenai pakaian itu sebagai sesuatu yang najis. Sebab ia berasal dari sesuatu yang najis. Namun demikian, karena percikan itu timbul dari keadaan yang sulit dihindari (al’urs) maka hukumnya di-ma’fuw (diampuni). Sehingga pakaian yang terkena najis itu tetap bisa digunakan untuk mendirikan shalat, misalnya.
Contoh lain adalah darah bisul, darah jerawat, darah orang lain, kotoran lalat, dan kotoran burung. Jika najis-najis itu mengenai tubuh dan timbul dari keadaan sulit (tidak disengaja mengenai tubuh kita), dan menurut standar ‘urf (umum) hanya sedikit kadarnya, maka juga dihukumi najis yang di-ma’fuw.

e. Perjalanan (safar)
Bepergian atau melakukan suatu perjalanan merupakan salah satu kebutuhan semi primer manusia. Pada saat tertentu, orang pasti membutuhkan aktivitas yang berupa perjalanan, baik untuk berbisnis, berslahturahmi, kuliah, mondok, dan sebagainya. Lalu, apakah setiap perjalanan diberi rukhshah, tentunya tidak demikian. Sebab jika setiap perjalanan diberi rukhshah, berarti Islam tidak memiliki sistematika hukum yang jelas dan konseptual.
Setidaknya, ada delapan jenis rukhshah yang dapat dilakukan saat seseorang melakukan suatu perjalanan. Kedelapan jenis itu, oleh al-Nawawi dipilah berdasarkan kadar hukum masing-masing. Pemilahan versi al-Nawawi agaknya dapat diterima oleh ulama lain, karena telah mewakili hampir semua jenis rukhshah beserta perinciannya. Pilihannya adalah seperti dibawah ini :
1. Meringkas shalat (qashar)
2. Tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (ifthar)
3. Membasuh khuff atau muzah (sepatu kulit) lebih dari satu malam. Lain halnya orang yang tidak dalam perjalanan, ia hanya mendapat rukhshah membasuh muzah selama satu hari satu malam saja.
Catatan : tiga obyek rukhshah di atas hanya berlaku saat melakukan perjalanan jauh, yakni telah mencapai marhalah.
4. Meninggalkan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
5. Memakan bangkai.
Catatan : dua katagori rukhshah ini tidak dikhususnkan untuk perjalanan jauh saja. Dalam arti, rukhshah meninggalkan shalat jum’at dan memakan bangkai tidak disyaratkan setelah perjalanan mencapai marhalah.
Jama’ shalat. Untuk menjama’ shalat, fuqaha, masih memperselisihkan, apakah perjalanan harus mencapai dua marhalah atau tidak. Menurut qawl ashah, dua marhalah merupakan syarat menjama’ shalat.
6. Shalat sunah di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat.
7. Gugurnya kewajiban shalat yang telah dilakukan walaupun bersuci dengan cara tayamun. Pada poin ketujuh dan kedelapan ini pun masih terjadi kontradiksi antar fuqaha’ terutama dalam soal jarak tempuh perjalanan. Qawl Ashah justru tidak mematok syarat minimal dua marhalah. Artinya, sholat sunah di atas kendaraan tetap dianggap sah, walaupun perjalanannya belum sampai jarak dua marhalah. Begitu pula jika kita bertayamum sebagai pengganti wudlu’, dengan syarat-syarat tertentu, walaupun perjalanannya belum sampai dua marhalah, kewajiban shalat yang telah dilaksanakan dianggap gugur. Sehingga tidak perlu mengulangi (qadla).

f. Sakit (maradl)
Telah kita ketahui, kewajiban shalat dan puasa Ramadhan tidak akan gugur selama nyawa masing di kandung badan. Sebab, keduanya merupakan ibadah yang akan dipertanggung jawabkan pertama kali oleh setiap muslim di akherat. Selain itu, dua ibadah ini juga menjadi cermin akan kualitas keimanan setiap muslim.
Permasalahannya,bagaimana jika kondisi tubuh sedang sakit. Bukankah setiap orang dalam batas dan saat tertentu pasti mengalami sakit? Sebagai agama yang membawa misiajaran kisah sayang alam semesta (rahmatan lil alamin), Islam sangat “memahami” permasalahan sakit ini, dengan memberikan keringanan hukum bagi penderita sakit dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Tapi bukan berarti setiap jenis penyakit akan memperingan hukum. Sebab,logisnya kiranya jika orang yang berpenyakit panu meminta keringanan hukum shalat, misalnya?
Karena itu, secara cerdas Fuqaha merekomendasikan metode dasar untuk membedakan penyakit yang bisa dan yang tidak bisa memperoleh rukhshah. Metode ini ditawarkan Fuqaha’ ini disebut metodologi analisis-kualitatif (taqribi), yakni suatu pengamatan dan analisa pada obyek hukum yang dikaji, dengan mengambil sampel pada kualitas obyek bersangkutan dari berbagai aspek. Contohnya : jika seseorang yang sedang sakit menjalani puasa, maka harus dilihat, bagaimana kondisi tubuhnya ; separoh apakah penyakit yang diderita ; dampak apa yang ditimbulkan ;bagaimana pengalaman orang lain saat ditimpa hal serupa; dan sebagainya.
Jika penyakit itu menimbulkan dampak yang membahayakan maka akan mendapat rukhshah. Dalam arti, suatu penyakit bisa mendapatkan rukhshah apabila parah atau berdampak fatal pada keselamatan si penderita jika ia memaksakan diri melakukan suatu ritus ibadah tersebut. Contohnya : orang yang sakit diperbolehkan tayamum sebagai pengganti wudlu, atau shalat sambil duduk, tidur maupun isyarat ketika tidak bisa melakukannya dengan sempurna (berdiri).
Dalam permasalahan boleh tidaknya orang mengqasharkan shalat, masih terjadi kontradiksi diantara Fuqaha. Pendapat yang paling kuat adalah yang tidak memperbolehkan. Sedangkan pendapat yang memperbolehkan karena menganalogikan qashar dengan jama’.

g. Nilai “minus” (naqsh)
Yang termasuk dalam katagori ini adalah kaum hawa, anak-anak, orang gila, idiot (safih), hamba sahaya, dan orang sakit. Ketidak sempurnaan yang dimaksud bukan berarti karena cacatnya anggota badan dan minusnya intelektualitas, melainkan minus yang bersifat insting-psikologis(tabiat-kejiwaan). Perempuan misalnya, dalam beberapa kondisi tertentu dianggap mempunyai sifat naqsh (kurang) karena secara psikologis memiliki kadar emosional tinggi, tidak sabaran, berbicara sering diluar kontrol, dan hal-hal yang bersifat thabi’i (karakteristik) lainnya. Sedangkan anak-anak, orang gila, dan idiot jelas punya daya nalar dan daya pikir kurang dibanding daya nalar orang dewasa dan normal.
Sementara nilai minus hamba sahaya terletak pada kedudukannya yang masih di bawah kekuasaan orang lain (sayyid ; majikan). Hamba sahaya belum “memiiki” dirinya sendiri secara utuh. Sedangkan nilai minus orang yang sakit terletak pada kondisi kesehatan tubuhnya yang berada di bawah standa normal.
Berdasar hipotesa di atas, syariat memberikan keringanan hukum bagi mereka. Anak kecil dan orang gila tidak mendapat taklif ; kaum perempuan mendapat beban taklif lebih ringan dibanding laki-laki, seperti tidak wajib shalat Jumat, tidak wajib jihad, tidak wajib membayar diyat (denda) dan jizyah, boleh memakai kain sutera dan perhiasan dari emas, dan sebagainya. Bahkan menurut sebagian ulama, diperbolehkannya seorang lelaki berpoligami ternyata adalah bagian dari ‘keringanan’ bagi kaum hawa. Hal itu berlandaskan pada asumsi dasar, bahwa kaum hawa adalah jenis kelamin mayoritas. Agar populasi yang begitu besar itu dapat “tersalurkan”, maka syariat memperbolehkan satu laki-laki beristeri sampai empat orang.

c. Hukum Rukhshah
Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima :
1. Rukhshah wajib, contohnya memakai bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak yang asalnya haram merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilaksanakan.
2. Rukhshah sunah, misalnya sholat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan sholat zhuhur, karena cuaca pada awal wakyu zhuhur sangat panas. Atau melihat muka dan dua telapak tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh di atas merupakan rukhshah yang sunah dikerjakan.
3. Rukhshah mubah, contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini asalnya dikatagorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum (selengkapnya lihat kaidah Kubra kelima).
4. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ sholat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah) dalam contoh di atas lebih utama untuk tidak dikerjakan.
5. Rukhshah makruh. Contohnya meng-qashar sholat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk mengindar khilaf Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tifa marhalah (142 km versi Hanafiyah). Sementara al-Syafi’i menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar .
6. Aplikasi Rukhsah
a. Dalam Muamalah
Setelah membaca alenia-alenia sebelumnya, sepintas lalu terdapat kesan bahwa rukhshah hanya berlaku dalam ranah ‘ubudiyyah (ibadah). Padahal tidak demikian, rukhshah juga akan menampakkan peranannya dalam ranah hukum selain ubudiyah, seperti dalam transaksi syar’i atau yang biasa disebut mu’amalah.
Banyak aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah dalam mu’amalah, diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara terminologis adalah sesuatu yang masih bersifat kabur dan tidak jelas. Akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan melakukan transaksi. Dalam setiap mu’amalah, gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara pelaku transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil.
Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam mu'amalah, gharar terbagi menjadi tiga tingkatan :
 Gharar yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak boleh dilakukan. Gharar semacam ini tidak mendapat toleransi syariat (ghayru ma'fuw 'anhu), seperti gharar yang terjadi pada penjualan janin binatang yang masih berada dalam kandungan induknya (bay' al-malaqih), penjualan sperma hewan pejantan, atau penjualan barang yang sulit diserah terimakan. Apapun alasannya, gharar seperti tersebut di atas tidak akan memperoleh rukhshah., sebab umumnya gharar semacam itu mudah dihindari. Dalam arti ia dapat melakukan jual beli tanpa harus melakukan tiga hal ini.
 Gharar yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan. Contohnya menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan barang-barang sejenis yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan barang-barang konsumsi di atas tidak diharuskan melalui pengelupasan kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada, kualitas isinya sulit diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak diharuskan melihat kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi di atas juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini diperbolehkan karena termasuk kategori masyaqqoh (kesulitan).
 Gharar tingkat antara maupun tingkat kedua. Gharar jenis ini terbagi menjadi dua :
1. Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala yang tidak boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah jenis ini walaupun kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa bertahan lama (awet), sehingga harus dikelupas terlebih dahulu sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan barang yang tidak ditentukan secara pasti (ibham), seperti menjual salah satu diantara dua baju atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di tempat transaksi (bay' al-ghaib).

2. Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak dilakukan akan menimbulkan masyaqqah. Transaksi jenis ini mendapat toleransi hukum dari syariat (ma’fuw). Contohnya membeli biji-bijian dengan hanya melihat bagian luar tumpukannya (shubrah). Contoh lain adalah membeli barang hanya dengan melihat contohnya (sampel atau master), dimana contoh itu telah dianggap mewakili kualitas barang-barang lain vang sejenis. Contoh terakhir terhadap ukuran layak-tidaknya buah untuk dikonsumsi adalah hanya dengan melihat permulaan waktu matang dan rasa manis, tanpa harus menunggu buah itu betul-betul matang.

Dalam tataran paktis, syara' juga memperbolehkan beragam transaksi yang pada dasarnya dilarang, namun karena sudah menjadi kebutuhan umum maka transaksi itu menjadi diperbolehkan. Sebab bila tidak di perkenankan akan membuat masyarakat mengalami kesulitan. Seperti :
 Ijarah yakni akad sewa-menyewa yang pada awalnya tidak diperbolehkan karena sesuatu yang disewa berupa manfaat, seperti manfaat rumah, misalnya. Sedangkan manfaat sendiri bersifat abstrak atau tidak tampak oleh indera (ma'dumah), sedangkan melakukan transaksi pada barang yang tidak tampak adalah termasuk gharar. Namun karena ijarah sudah menjadi kebutuhan umum masyarakat, bahkan sudah mencapai tingkat darurat, maka ijarah diperbolehkan.
 Muzara'ah, yaitu penyewaan tanah dengan pembayaran berupa sebagian hasil pendapatan tanah, dan benih yang ditanam berasal dari pemilik tanah. Sebagaimana ijarah, latar belakang diperbolehkarmya muzara'ah adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan sejarah mencatat bahwa muzara'ah telah dilakukan di seluruh penjuru Arab. Ini adalah bukti bahwa muzara'ah adalah kebutuhan umum masyarakat
 Musaqah, yakni transakasi yang dilakukan untuk merawat dan menyirami pohon kurma/anggur, dengan kesepakatan bahwa buah yang dihasilkan akan dibagi berdua.
 Qiradl adalah transaksi pemberian modal dan seseorang kepada koleganya, untuk dikelola demi mendapatkan keuntungan yang akan dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Seperti halnya musaqah, qiradl juga tetap diperbolehkan, walaupun mengandung gharar, karena adanya hajat atau kebutuhan umum masyarakat yang sudah mendekati kadar darurat.
 Salam secara sederhana adalah memesan. Secara istilah, salam dimaknai sebagai transaksi pada barang dengan menggunakan uang atau harga kontan dan melalui ungkapan pesan (shighat al-salam).Jika melihat karakternya, salam sebenarnya termasuk jenis transaksi pada barang yang tidak wujud (ma'dum), namun karena sudah menjadi kebutuhan umum masyarakat, akhirnya jenis transaksi ini dilegalkan oleh syariat.
 Hiwalah, yaitu perpindahan hutang dari tanggungan seseorang pada tanggungan orang lain, yang oleh Taqiyuddin al-Hishni di istilahkan sebagai penjualan hutang dengan hutang lainnya. Dengan demikian, hiwalah sebenarnya tidak diperbolehkan, namun menjadi boleh karena ada kebutuhan.
 Diberlakukannya hukum khiyar dalam transaksi jual-beli. Pemberlakuan khiyar ini adalah didasarkan pertimbangan kebiasaan dalam jual beli yang umumnya dilakukan secara spontan-dalam arti tanpa menangguhkan waktu-sehingga di kemudian hari salah seorang pelaku transaksi bisa saja merasa menyesal melakukannya. Untuk menanggulangi kejadian semacam ini, syariat memberi rukshah berupa khiyar yang memungkinkan untuk dilakukannya penggagalan transaksi (faskhal-bay').

Ketujuh transaksi ini diperbolehkan syara' karena ada kebutuhan umum (hajah 'ammah) yang tidak bisa ditinggalkan, walaupun pada awalnya tidak diperbolehkan karena transaksi-transaksi ini dilakukan pada barang atau jasa yang tidak ada (ma'dum).
Selain rukhshah-rukhshah di atas, syara' juga memberikan keringanan pada akad ja'iz, yaitu sejenis transaksi dimana masing-masing pelaku dapat membatalkannya dalam waktu kapanpun. Yang termasuk akad ja'iz ini adalah syirkah, wakalah, 'ariyah, dan sebagainya. Karena apabila akad-akad yang seharusnya ja'iz berubah menjadi lazim, akan rnenimbulkan kesulitan bagi orang yang menjalankan akad itu sendiri.
Kesulitan-kesulitan yang dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang muslim yang menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudah-kemudahannya .

b. Aplikasi Rukhshah dalam Ibadah
Tidak semua masyaqqah mendapat rukhsoh demian pula dengan ibadah. Masyaqqah dalam ibadah tidak semua mendapat rukhshah, yaitu masyaqqah yang kondisinya sangat ringan, sepertti flu, pusing, dan pegal-pegal, karena hal ini secara alami manusia masih mampu mencari jalan keluar sehingga belum masuk keterpaksaan.
Ibadah akan mendapat rukhsah jika masyaqqah sudah mencapai ghoiru mu’tadah atau tingkat kesulitannya dalam ibadah sudah mencapai tingkat al-a’la dan masyaqqat al-mutawassitoh.
Aplikasi rukhsoh dalam ibadah, berdasarkan obyek rukhsoh bepergian akan ditemukan aplikasi rukhsoh dalam ibadah. Demikian pula ketika orang dalam keadaan sakit. Seperti halnya seorang mukallaf akan mendapatkan rukhsoh dia dalam perjalanan seperti sholat, meringkas sholat empat rokaat menjadi dua rokaat, serta tidak puasa di bulan Romadhon, membasuk khuff atau muzah lebih dari satu malam, dan dalam keadaan sakit seperti diperbolehkan tayamun sebagai pengganti wudlu, sholat sambil duduk, tidur, maupun isyarah.
Selain itu dalam hal keadaan adanya halangan (udzur, alasan yang bisa diterima oleh syar’i) seperti sholat Jum’at, haji, umroh dan jihad. Untuk sholat Jum’at diganti dengan sholat dhuhur sebagaimana hari-hari biasa. Serta zakatpun ada rukhsohnya yaitu mempercepat zakat sebelum waktunya tiba. Semua rukhsoh ini dijatuhkan karena sebuah masyaqqat yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikulnya dan dan jika tetap dilakukan dan memberatkan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya.

c. Rukhshah dalam Pernikahan
Rukhshah juga ditemukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan. Seperti contoh Rukhshah Takhfif (toleransi berupa peringatan tuntutan) dalam pernikahan, yang tentunya dilatar belakangi oleh adanya masyaqqah. Contoh-contoh rukhshah yang ada dalam pernikahan seperti :
1. Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghinari masyaqqah yang timbul pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk dipertahankan.
2. Khulu’ dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem-fasakh (membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama). Rukhshah ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak punya kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami.
3. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadnya perceraian, karena dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang matang.

d. Rukhshah dalam Zhihar dan Ayman
Kafarah adalah sebuah denda yang dibebankan pada seorang yang melanggar sumpah (aiman arau half) yang disandarkan pada Allah atau nama-namaNya, baik dalam hal-hal yang ringan ataupun yang berat. Dengan disyaritakannya kafarah, pada hakikatnya ‘memudahkan’ terhadap orang yang bersumpah (halif), apabila ia menghendaki untuk tidak melaksanakan apa yag disumpahi. Mungkin karena mersas berat (masyaqqah) ketika akan melaksanakan apa yang disumpahi. Katakanlah kaffarah ini adalah alternatif agar ia dapat menentukan mana yang ringan baginya. Karena apabila orang yang bersumpah dituntut untuk melaksanakan sumpahnya tanpa ada pilihan lain, maka tentu ia akan merasa berat, atau minimal ia akan menyesali terhadap sumpah yang telah dia lakukan.
Dengan demikian, kaffarah yang kelihatnaya memberi beban pada orang yang melanggar sumpah (halif) sebenarnya merupakan sebuah keringanan yang diberikan syariat kepdanya. Sebab dengan diberlakukannya kaffarah bagi pelanggar sumpah (hanits al-yamin), dia diperkenankan untuk memilih antara melaksanakan antara apa yang ia katkaan dalam sumpahnya (al-wafa) atau tidak melaksanakan sumpahnya dengan konsekuensi dia harus membayar denda atas pelanggaran sumpahnya. Hal ini juga berlaku daam masalah sumpah zhihar.

e. Rukhshah bagi sayyid (Tuan) dan Budaknya
Termasuk rukhshah bagi seorang budak adalah tidak diwajibkannya shalat jum’at, haji, dan zakat. Andaikan kewajiban-kewajiban ini dibebankan pada seorang budak maka akan menyulitkan sayyid dan budaknya. Karena kewajiban-kewajiban ini membutuhkan biaya yang akan mengurangi pendapatan seorang budak yang seharusnya digunakan sebagai cicilan (dalam kitabah) pada seoroang sayyid agar dirinya segera merdeka. Begitu juga apabila budak tetap diwajibkan melakukan shalat jum’at dan haji, juga kana mengurangi jam kerjanya sehinga menjadikan proses kemerdekaannya tertunda. Disamping itu, sayyid juga tidak bisa segera mendapatkan harta dari cicilan budaknya.

f. Rukhshah dalam Qishash
Dalam pelaksanaan qishash, pihak keluarga yang punya hak qishash (mustahiq al-qishash) dalam syariat Islam diberi kebebasan untuk memilih antara menuntut qishash dan meminta diyat (denda yang berua uang sebagai ganti qishash). Dua pilihan yang telah diberikan syara’ ini pada dasarnya memberi kemudahan bagi mustahiq al-qishash dan sekaligus orang yang membunuh (al-qatil) sendiri.
Sejarah mencatat, qishash dalam syariat Nabi Musa As . harus dilakukan dengan cara dibunuh tanpa ada alternativ pengganti. Qishash tidak dapat ditawar dengan cara yang lain dan dalam bentuk apapun. Sementara dalam syariat Nabi Isa As, hukuman yang diterapkan pada seorang pembunuh adalah dengan ara embayar diya, tidak dengan cara lain. Dan yang terakhir adalah qishash dalam syariat Nabi Muhammad SAW. Qishash dalam syaariat nabi terakhir ini, pihak keluarga yang terbunuh dapat memilih antara melakukan qishash atau meminta diyat.
Andaikan syariat qishash ini cuma dengan cara balas bunuh sperti yang ada dalam syariat Nabi Musa As., maka bisa saja akan menyulitkan bagi keluarga yang terbunuh, karena tidak menutup kemungkinan pembunuh adalah orang yang masih ada ikatan tali keluarga, sehingga opsi diyat bisa dijadikan alternatif pilhan agar hubungan kekerabatan anatara pembunuh dan pihak yang terbunuh tetap terjalin harmonis. Pun andaikan qishash ini cuma dengan cara yang diberlakuan pada masa Nabi Isa As. (hanya membayar diyat), maka akan memberikan kesempatan melakukan pembunuhan sewenang-wenang bagi orang-orang yang mampu membayar diyat. Di smping itu, sakit hati keluarga orang yang terbunuh tidak akan terobati karena tidak bisa memberi balasan setimpal kepada pembunuh yang bisa jadi adalah pembunuh kelas kakap yang memang harus segera dimusnahkan dari panggung sejarah kemanusiaan.

g. Rukhshah bagi Mujtahid
Berijtihad adalah tugas suci seorang mujtahid untuk menelorkan hukum-hukum. Dalam prakteknya, hokum yang ditetapkan mujtahid aalah putusan dan ketetapan yang berdasar pada persangkaan kuat yang dihasilkannya (zhan). Ia tidak dibebani untuk mencapai titik kebenaran hakiki, melainkan hanya bertugas menggali hukum yang didasari praduga kuat. Hal ini merupakan sebuah keringanan tersendiri bagi mujtahid, karena jika dia dibebani untuk mencari hukum syar’i yang berdasarkan keyakinan (baca : hingga mencapai kebenaran sejati) akan menimbulkan kesuitan baginya. Keringana lain yang diberikan kepada seorang mujtahid adalah, keliaru dalam melakukan ijtihad seorangmujtahid tetap diberi pahala karena kebanyakn hukum-hukum fiqh didasarkan dari dalil zhan, yang tetnunya akan menghasilkan putusan hukum yag berkualitafiksai zhan pula.
Seorang hakim dipengadilan, yang juga termasuk mujathid, juga mendapat keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup berpegang pada persangkaan kuat yang didapatkan dari kesaksian pra saksi yang adil dan terpercaya. Ia tidak diwajibkan memberi putusan hukuman yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus berusaha memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal mungkin .

7. Kaidah – Kaidah Senada
Telah kita maklumi,setiap kaidah dasar pasti memiliki kaidah-kaidah cabang yang senada dan memiliki substansi sama, walaupun berbeda segi engungkapan. Pada kaidah al-masyaqqah tajlibu al-taysr ini, terdapat tiga kaidah cabang sebagai berikut :

(I)
إِذَاضَاقَ الأَمْرُ إِتَّسَعَ
“Ketika sesuatu sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”
Dengan kata lain, keringaan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman ayang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene menghadapi kesuitan diperbolehkan ‘mengangkat’ orang lain (yang bukan muhrim) utuk menjadi walinya (muhakkam).
Contoh lain seperti fenomena yangsering terjadi di musim kemarau, dimana lalat-lalat banyak bertebaran membawa najis dikakinya. Jika lalat-lalat nakal itu banyak bertebaran ditubuh kita, maka najis-najis dikaki mereka hukumnya ma’fu. Sebaba, kita sanagat sulit menghindari. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dlaqa), akan membuat hukum menjadi ringan (ittas’a) berupa di-ma’fu-nya najis-nasjis tersebut.


(II)
إِذّا اتَّسَعَ الأَمْرُضَاقَ
“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
Kaidah cabang kedua ini sebenarnya semakna dengan kaidah cabang pertama, walaupun redaksinya berbeda dan enderung berlawanaan. Artinya, jika yang pertama menyatakan bahwa kesempitan akan membuahkan keluasan (hukum), maka yang kedua ini bersikap sebaliknya, yakni keadaan lapang akan membuat hukum menjadi sempit terbatas.
Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehakn melakukan gerakan. Sebaba kondisi ita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.
Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittisa’a), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (dlaqa), yakini tidak boleh melakukan pergerakan yang berlebihan.

(III)
كُلُّ مَاتَجَاوَزَ حَدَّهُ إِنْعَكَسَ إِلَى ضِدَّهِ
“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum yang sebaliknya”
Kaidah yang ketiga ini adalah hasil sintesa (perpadauan) dua kaidah sebelumnya. Artiya, kaidah ini memandang, sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya; ketikakondisi sulit berarti hukumnya ringan, saat keadaaan lapang akan membuat hukum menjadi ketat. Al-Ghazali lah yang melaukan upaya sintetik tersebut, yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika dilihat sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai substansi yang senada.
Sebelum mengakhiri kaian ini, perlu kami tambahkan klasifikasi masyaqqah versi ahli ushul fiqh (ushuliyyun). Ushuliyyun hanya membagi masyaqqah secara global dalam dua kategori.
Pertama, masyaqqah umum dan lumrah. Yakni sebentuk kesulitan yang umumnya mampu kita tanggung. Hal itu seringkali kita alami, seperti pegal-pegal, sakit kepala ringan, dan lain sebagainya. Masyaqqah jenis ini jelas tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperoleh rukhshah selain tidak proposional, juga tidak bisa diterima akal sehat.
Kedua, masyaqqah khusus dan tidak lumrah. Yaitu sebentuk kesulitan yang jarang terjadi dan biasanya sangat berat untuk ditanggung. Masyaqqah jenis kedua ini akan menelorkan tiga pembagian :
1. Masyaqqah khusus yang diberi rukhshah, seperti beratnya melakukan perjalanan, sulitnya puasa dalam keadaan sakit parah, dan lain sebagainya. Pada stadium inilah, sebuah kewajiban (puasa misalnya) dapat ditinggalkan demi menolak masyaqqqah yang lebih berat.
2. Masyaqqah khusus yang wajib dilaksankan. Misalnya kewajiabn jihad, amar ma’ruf-nahi munkar, an lain sebgainya. Walaupun kewajiban-kewajiban di atas jelas-jelas mengandung unsur masyaqqah, akan tetapi wajib dilaksanakan. Sebab realisasai dari kewajiban-kewajiban itu mau tidak mau selalu bersamaan dengan kesulitan. Walaupun demikian, jika dalam pelaksanaannya timbul dampak negatif pada diri si pelaku, maka pahala yang didapatnya tentu lebih besar. Tidak seperti masyaqqah jenis pertama yag justru makruh apabila terus dikerjakan.
3. Masyaqqah khusus yang bukan esensi pekerjaan, tapi muncul karena khilafan pelakunya. Seperti nadzar tidakminum air sehari-semanlam, nadzar berjemur diterik matahari, tdak mau berkomunikasi degan siapapun, dan pekerjaan-pekerjaan absursd (ghayr al-ma’qul) lainnya. Masyaqqah katergori ini jelas tdak ditolerir oleh syariat. Selain tidak disyariatkan, pekerjaan-pekerjaan di atas jelas tidak mengandung unsur kemaslahatan sama sekali; tidak ada kemsalahatan jika harus menyiksa diri sendiri. Bahkan, perbuatan itu tergolong dosa besar yang sangat dikecam syariat. Hal ini terbuktikan dari kisah kecil sebelumnya, dimana ketaatan total hinga melampaui batas yang dilakukan sahabat ternyata tidak membuat nabi SAW bergembira. Nabi justru meberi peringatan kepada mereka agar menempatkan segala sesuatu (termasuk ibadah) sesuai porsinya. Ibadah yang jelas-jelas punya landasan syariat tapi dijalankan secara berlebhan saja, ternyata tidak direstui oleh Nabi SAW. Apalagi ‘ibadah’ yang tidak dilandasi dalil syar’i seperti berjemur diterik matahari dan tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, misalnya, pasti lebih dimurkai lagi.
Dari sini kita bisa mengambil benang merah, bahwa sebenarnya Islam selalu bersikap obyektif dan proporsional dlam nerepakan ajaran-ajarannya. Islam tidak pernah bersikap kaku, menutup diri, atau menutup mata akan kebutuhan dan kesulitan yang dialami umat. Jika kondisi sulit, umat diberi kemudahan. Tapi bila kondisi lapang, umat diri kebebasan mengekspresikan aktivitas ritual-spiritual hingga sosialnya, tapi tetap dalam batas-batas yang wajar. Intinya, ajaran Islam itu selalu tawasuth, tasamuh, tawazzun, bin I’tidal, binti moderat. Jika kemudian muncul stereotip yang mengkalim bahwa Islam itu kolot, rigid, puritan, marginal, tidak emansipatif dan sebutan miring lainya, hal itu semata karena kurangnya pemahaman yang benar tentang Islam .


DAFTAR ISI

Abdul Haq,dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Khalista Surabaya, 2005.
Muslik Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhayah, PT Raja Grafindo Persada Wahbah as-Suhaili 1982:40