Selamat Datang di Blog Inovasi Pendidikan Madrasah. Blog Edukasi dan Bisnis selagi ada waktu dan kesempatan.
Kamis, 07 April 2022
Strategi Membangun Citra Merek di Swasta Lembaga Pendidikan Islam
1. PENDAHULUAN
Pada awalnya istilah brand image digunakan dalam dunia industri dan sebagian besar terkait dengan suatu produk industri. Kemudian karena arus globalisasi, citra merek dimaknai sebagai representasi atau gambaran identitas atau wujud individu, objek atau organisasi/lembaga (Sutojo 2010). Sudut pandang lain yang dielaborasi oleh Sandra Oliver bahwa citra merek adalah praduga; anggapan yang muncul dalam diri konsumen ketika mengingat suatu produk tertentu (Oliver 2006). Pola pikir tersebut dapat terjadi dalam bentuk pemikiran atau kesan tertentu yang terkait dengan suatu merek atau produk. Bentuk pikiran seseorang kemudian dikonseptualisasikan berdasarkan klasifikasi yang tepat berdasarkan kapasitas, memori, dan keunikan produk tertentu. Jadi, jenis asumsi itu bisa berupa atribut, manfaat, dan sikap. Sedangkan yang dimaksud dengan membangun brand image adalah bagaimana membentuk cara pandang terhadap lembaga pendidikan baik secara eksternal maupun internal melalui kegiatan dan langkah yang terukur (Mahfuzhah 2018).
Dalam bidang pendidikan, citra merek merupakan suatu bentuk kesan yang digambarkan oleh konsumen yang terdiri dari masyarakat, orang tua siswa dan pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari pelayanan di bidang pendidikan. Dengan demikian, atribut pelayanan yang dimaksudkan dalam pendidikan adalah pelayanan yang diberikan oleh sekolah dalam bentuk proses belajar mengajar. Sedangkan atribut produk merupakan hasil pelayanan lembaga pendidikan kepada peserta didik. Oleh karena itu, ada kesan produk yang dibangun oleh label citra baik atau buruk. Berasal dari citra yang baik maka akan tercipta pemahaman publik, kepercayaan publik, dukungan publik, dan kerjasama publik (Bonar 1993). Citra merek merupakan hasil budaya sekolah yang bersumber dari nilai-nilai yang menjadi pedoman dan tolak ukur dalam institusi pendidikan.
Secara historis, istilah “merek” berasal dari aktivitas yang sering dilakukan oleh para peternak sapi di Amerika dengan memberikan label pada ternak mereka untuk memudahkan identifikasi kepemilikan sebelum dijual ke pasar (Riezebos 2003), (Sadat 2009), dan (Servier 2000). Dalam perkembangan selanjutnya, “merek” dimaknai sebagai indikator nilai yang ditawarkan kepada pelanggan, aset yang menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memperkuat kepuasan dan loyalitas mereka, dan sebagai alat ukur kualitas nilai yang ditawarkan (Kartajaya 2007). Pada akhirnya, “merek” berarti tanda tentang sumber produk untuk melindungi konsumen dan produsen dari pesaing yang mencoba merumuskan produk yang identik (Susanto 2004). Seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga pendidikan tentunya akan mendaftarkan dan mempercayakan lembaga pendidikan tersebut menjadi tempat mendidik anak-anaknya. Bahkan, mereka juga dapat mempengaruhi orang lain untuk menitipkan pendidikan anaknya kepada lembaga tersebut. Mengembangkan dan mempertahankan loyalitas sebagai perilaku dan sikap yang membentuk word of mouth marketing hanya dapat terjadi jika institusi mempertahankan nilai citra produk yang baik yang melekat di benak pelanggan. Soebagio dalam Admodiwiryo menjelaskan bahwa ada dua manfaat jika sebuah lembaga pendidikan menampilkan citra merek yang positif: pertama, konsumen akan mengembangkan sikap percaya yang tinggi; kedua, dapat menarik lebih banyak kerabat kepada anggota keluarga siswa (Admodiwiryo 2000). Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa “merek” adalah simbol yang digunakan sebagai penanda atau pembeda identitas yang dimiliki oleh institusi sebagai wujud eksistensinya (Išoraitÿ 2018). Dalam konteks lembaga pendidikan, brand biasanya diwujudkan dengan lambang dan nama sebuah organisasi pendidikan yang bertujuan sebagai identitas. Merek ini unik dan terspesialisasi yang membedakannya dari produk lain yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan serupa (Tjiptono 2005).
Ruslan mengatakan bahwa citra merek adalah seperangkat keyakinan, ide, pemikiran, dan kesan masyarakat terhadap suatu objek tertentu (Ruslan 2017). Menurut Moore, citra merek adalah perasaan, kesan, atau konsepsi publik tentang suatu objek, institusi atau organisasi (Moore 2005) dan (Jefkins 2003). Oleh karena itu, citra merek sekolah dapat dikategorikan sebagai gambaran atau kondisi suatu lembaga pendidikan yang dapat memberikan kesan yang kuat kepada masyarakat terhadap sekolah tersebut; Oleh karena itu, pihak sekolah tidak dapat mengatur persepsi publik terhadap citra tersebut. Jadi, membangun citra merek bukanlah hal yang mudah karena komunikasi dan informasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tidak secara langsung mengubah perilaku seseorang. Pada titik ini, institusi diharapkan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap lingkungan atau objek tertentu. Secara berurutan, sekolah akan memperoleh citra merek baik positif maupun negatif di masyarakat (Juhji 2020).
2. TUJUAN BRAN IMAGE:
Bertujuan untuk mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam swasta di tengah persaingan sekolah yang semakin menantang.
3. MANFAAT BRAN IMAGE :
Manfaat jika sebuah lembaga pendidikan menampilkan citra merek yang positif: pertama, konsumen akan mengembangkan sikap percaya yang tinggi; kedua, dapat menarik lebih banyak kerabat kepada anggota keluarga siswa (Admodiwiryo 2000).
4. KELEMAHAN/MASALAH YANG ADA :
a. Berdasarkan tuntutan tersebut, banyak pendidikan Islam lembaga belum memenuhi harapan masyarakat.
b. Penilaian masyarakat terhadap madrasah sebagai Islam lembaga pendidikan cenderung menurun dan dianggap memiliki kualitas yang rendah (Fauzi 2016). Sehingga madrasah dianggap sebagai sekolah menengah pilihan setelah tidak diterima di sekolah umum
c. Masalah utama Islam lembaga pendidikan berkaitan dengan faktor manajemen.
d. Tata kelola berdampak pada rendahnya kualitas keislaman Indonesia lembaga pendidikan (Suryadi 2009).
e. Faktor utama menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan Islam Indonesia meliputi:
a. Penyelenggaraan pendidikan menekankan hasil yang tidak konsisten;
b. Pelaksanaan pendidikan adalah dikelola secara terpusat – tidak secara holistik;
c. Masyarakat partisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sangat terbatas (Usman 1997) (Rohiat 2010),
d. Pendidikan Islam institusi tidak mengembangkan pendekatan yang efektif untuk masyarakat,
e. Sebagian besar umat Islam lebih memilih sekolah lain karena jasa dan kualitas,
f. Beberapa komunitas melakukannya belum sepenuhnya mengakui madrasah sebagai pendidikan modern (Indrioko 2105).
f. Sebagian besar lembaga pendidikan tidak mengerti konsep itu dengan baik. Jadi, mereka kesulitan bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang memperoleh modal yang cukup besar, memiliki citra merek yang baik, dan telah diterima oleh masyarakat luas masyarakat.
g. Namun fakta menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga pendidikan belum memahami konsep (membangun citra merek agar dapat bertahan dalam persaingan persaingan) tersebut dengan baik. Sehingga, mereka kesulitan bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang memperoleh modal besar, memiliki brand image yang baik, dan telah diterima oleh masyarakat luas.
5. SOLUSI KELEMAHAN/MASALAH:
a. Peningkatan kualitas lembaga pendidikan Islam memerlukan keterlibatan aktif semua elemen di madrasah serta masyarakat luas sebagai konsumen pendidikan (Maujud 2017). Tanpa partisipasi masyarakat, lembaga pendidikan Islam akan dikelola secara terpisah dan sulit berkembang. Adanya partisipasi masyarakat merupakan ciri dari bentuk program layanan pendidikan (Pidarta 2004)
b. Upaya peningkatan kualitas tersebut akan membentuk citra positif lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan yang berkualitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki budaya disiplin yang kuat,
2) Memiliki kurikulum yang relevan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
3) Memiliki komunitas yang selalu menciptakan teknik pembelajaran yang kreatif,
4) Memiliki orientasinya pada keseimbangan antara pengetahuan dan soft skill,
5) Berorientasi pada pengembangan potensi siswa secara holistik (suryadi 2009).
c. Konstruksi opini publik dapat dikembangkan berdasarkan rasa saling percaya, dan saling membutuhkan antara sekolah dan masyarakat. Nasution menjelaskan bahwa opini publik akan sangat memajukan lembaga pendidikan karena kritik, saran, ide, pemikiran publik menjadi masukan yang berharga bagi lembaga tersebut (Nasution 2006).
d. Berikut nilai-nilai yang dapat diimplementasikan secara konsisten untuk menciptakan opini publik tentang keberadaan lembaga yang berkualitas. Aturan-aturan yang menjadi pedoman antara lain:
1) Mengutamakan pelayanan.
2) Berupaya memberikan kinerja terbaik.
3) Memberikan perhatian menyeluruh terhadap hal-hal yang menyeluruh bahkan sampai pada hal-hal tertentu.
4) Meminimalkan jarak dengan masyarakat.
5) Melakukan tindakan simpatik.
Oleh karena itu, sangat penting bagi lembaga pendidikan untuk membangun citra merek agar dapat bertahan dalam persaingan persaingan. Ini adalah suatu keharusan untuk meningkatkan citra merek mereka dengan menggunakan konsep-konsep manajerial pemasaran modern. Sekolah diharapkan mampu melakukan perubahan dalam hal manajemen kenaikan pangkat. Hal itu dapat dicapai dengan mengembangkan hubungan yang produktif dengan masyarakat sekitar untuk mengembangkan kualitas mereka guna membangun eksistensi dalam persaingan lembaga pendidikan (Tam 2007)
e. Ada empat komponen penting untuk membangun citra merek institusi seperti persepsi, kognisi, motivasi, dan sikap (Soemirat 2003). Persepsi berarti kemampuan seseorang untuk mengatur dan menginterpretasikan pola-pola stimulus di lingkungan (Atkinson 1991) Dengan memanfaatkan kemampuan mempersepsikan proses, terus mengembangkan citra dengan memberikan informasi kepada individu untuk memunculkan suatu keyakinan. Maka dari keyakinan tersebut kemudian timbul sikap pro dan kontra terhadap produk tersebut, yaitu terbentuknya citra positif atau negatif (Ardianto 2010).
6. ISI/ BAHASAN :
Seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga pendidikan tentunya akan mendaftarkan dan mempercayakan lembaga pendidikan tersebut menjadi tempat mendidik anak-anaknya. Bahkan, mereka juga dapat mempengaruhi orang lain untuk menitipkan pendidikan anaknya kepada lembaga tersebut. Mengembangkan dan mempertahankan loyalitas sebagai perilaku dan sikap yang membentuk word of mouth marketing hanya dapat terjadi jika institusi mempertahankan nilai citra produk yang baik yang melekat di benak pelanggan. Soebagio dalam Admodiwiryo menjelaskan bahwa ada dua manfaat jika sebuah lembaga pendidikan menampilkan citra merek yang positif: pertama, konsumen akan mengembangkan sikap percaya yang tinggi; kedua, dapat menarik lebih banyak kerabat kepada anggota keluarga siswa (Admodiwiryo 2000).
Ruslan mengatakan bahwa citra merek adalah seperangkat keyakinan, ide, pemikiran, dan kesan masyarakat terhadap suatu objek tertentu (Ruslan 2017). Menurut Moore, citra merek adalah perasaan, kesan, atau konsepsi publik tentang suatu objek, institusi atau organisasi (Moore 2005) dan (Jefkins 2003).
Oleh karena itu, citra merek sekolah dapat dikategorikan sebagai gambaran atau kondisi suatu lembaga pendidikan yang dapat memberikan kesan yang kuat kepada masyarakat terhadap sekolah tersebut; Oleh karena itu, pihak sekolah tidak dapat mengatur persepsi publik terhadap citra tersebut. Jadi, membangun citra merek bukanlah hal yang mudah karena komunikasi dan informasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tidak secara langsung mengubah perilaku seseorang. Pada titik ini, institusi diharapkan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap lingkungan atau objek tertentu.
Secara berurutan, sekolah akan memperoleh citra merek baik positif maupun negatif di masyarakat (Juhji 2020). Karena adanya layanan pendidikan yang tidak berwujud (Secundo 2010), konsumen biasanya mengamati indikasi tertentu untuk menilai kualitas layanan pendidikan. Citra Merek dalam Pemasaran Pendidikan Menciptakan citra merek yang positif di lembaga pendidikan bukanlah hal yang mudah. Bagi pengelola lembaga pendidikan dituntut untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang dapat membentuk brand image pada lembaga pendidikan tersebut. Selain itu, mereka harus membangun citra merek yang positif dari lembaga pendidikan dan memahami istilah penerapan bauran pemasaran yang sinergis (Gajic 2012). Bauran pemasaran dalam konteks pendidikan merupakan elemen yang sangat penting karena Mereka akan melihat kualitas kinerja guru, administrator, dan karyawan, infrastruktur, peralatan pendidikan, simbol yang digunakan oleh sekolah, dan biaya sekolah untuk membayar sekolah. Dengan demikian, komponen-komponen lembaga pendidikan harus terus memperbaharui kompetensinya. Tujuan utama dari proses pemutakhiran adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan, berkesinambungan, dan terpadu. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan tidak dalam satu kesatuan proses tetapi dilakukan berdasarkan peningkatan mutu pada masing-masing komponen pendidikan (Arbangki 2016).
Citra Merek dalam Pemasaran Pendidikan Menciptakan citra merek yang positif di lembaga pendidikan bukanlah hal yang mudah. Bagi pengelola lembaga pendidikan dituntut untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang dapat membentuk brand image pada lembaga pendidikan tersebut. Selain itu, mereka harus membangun citra merek yang positif dari lembaga pendidikan dan memahami istilah penerapan bauran pemasaran yang sinergis (Gajic 2012).
Bauran pemasaran dalam konteks pendidikan merupakan elemen yang sangat penting karena dapat dikombinasikan untuk menghasilkan strategi pemasaran guna memenangkan persaingan. Bisa juga sebagai alat promosi yang terdiri dari berbagai elemen program pemasaran yang akan diteliti, sehingga implementasi strategi pemasaran dan positioning dapat dilakukan dengan sukses.
Ada tujuh faktor yang membentuk citra merek sebagai berikut:
a. Kualitas; berkaitan dengan kualitas produk barang dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga,
b. Terpercaya atau reliabel; berkaitan dengan pendapat atau kesepakatan yang dikembangkan oleh masyarakat tentang suatu produk atau jasa,
c. Kegunaan atau manfaat; berhubungan dengan fungsi a produk atau layanan.
d. Layanan; Hal ini berkaitan dengan tugas lembaga dalam melayani konsumen,
e. Risiko; Hal ini berkaitan dengan besarnya akibat atau kerugian yang mungkin dialami oleh konsumen.
f. Harga; berkaitan dengan besarnya biaya untuk belajar,
g. Citra merek yang dimiliki oleh merek itu sendiri; misalnya berupa pandangan, kesepakatan, dan informasi terkait merek tertentu (Schiffman 2007).
7. KESIMPULAN :
a. Branding citra memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan pengakuan institusi di masyarakat. Padahal, aspek tersebut sangat berpengaruh untuk mengembangkan keputusan orang tua dan siswa untuk memilih sekolah untuk mencapai proses belajar. Lebih lanjut, Chen menjelaskan bahwa brand image dianggap sebagai mitos sekolah oleh sebagian orang tua. Oleh karena itu, penelitian ini sejalan dengan kesimpulan yang diberikan oleh para peneliti sebelumnya.
b. Brand image lembaga pendidikan merupakan gambaran simbol yang digunakan oleh lembaga pendidikan dengan bentuk yang berbeda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dan, brand image biasanya terbentuk dari curahan ide dan inovasi yang terus menerus dilakukan oleh lembaga pendidikan kepada masyarakat (Mundiri 2016).
c. Citra merek sebagai seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki orang terhadap suatu objek. Sedangkan sikap dan tindakan seseorang terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh objek tersebut. Artinya keyakinan, ide, dan kesan seseorang memiliki pengaruh yang besar terhadap sikap dan perilaku serta kemungkinan tanggapan (Kotler, B2B Brand Management 2006).
d. Seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga pendidikan tentunya akan mendaftarkan dan mempercayakan lembaga pendidikan tersebut menjadi tempat mendidik anak-anaknya. Bahkan, mereka juga dapat mempengaruhi orang lain untuk menitipkan pendidikan anaknya kepada lembaga tersebut. Mengembangkan dan mempertahankan loyalitas sebagai perilaku dan sikap yang membentuk word of mouth marketing hanya dapat terjadi jika institusi mempertahankan nilai citra produk yang baik yang melekat di benak pelanggan.
e. Contoh dari penerapan image branding, selalu 10 besar, Selain aspek akademik, proses promosi institusi dilakukan dengan mengadakan berbagai kegiatan, seperti: event dan lomba kreativitas siswa SD, seminar kompetensi guru, inhouse training, bazar, menghadirkan tokoh nasional, publikasi karya ilmiah, prestasi sekolah di media cetak dan elektronik, pengembangan web kelembagaan, penggunaan platform media sosial sebagai media komunikasi seperti: facebook, instagram, blog, youtube, dll. Semua kegiatan tersebut bertujuan untuk mengelola harapan masyarakat terhadap kemajuan siswa dan memberikan informasi berupa bukti nyata hasil kegiatan belajar mengajar, sehingga masyarakat memiliki kepercayaan yang kuat terhadap sekolah.
f. Program penghafalan Al-Qur'an (Tahfidzul Quran) sebagai keunggulan dan karakter sekolah dibandingkan dengan sekolah lain. Dalam program tahfidz, santri diharapkan mampu menghafal minimal 15 juz. Selain itu, penguasaan buku-buku tradisional/klasik Islam, soft skill, kegiatan ekstrakurikuler, dan kewirausahaan menjadi keunggulan lain yang membedakan sekolah tersebut. Strategi promosi dilakukan hingga masyarakat dapat mengenal dan mengenal kredibilitas lembaga pendidikan Islam tersebut, sehingga menjadi pilihan pertama untuk menuntut ilmu, bukan menjadi pilihan kedua setelah sekolah umum. Berdasarkan kegiatan ini, lembaga akan memiliki karakter yang kuat dan unik sehingga dapat memberikan kesan positif kepada masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar