Rabu, 14 Desember 2011

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme dan Irasionalisme Diterjemahkan oleh: Joash Tapiheru Tahap pengambilan keputusan dalam siklus kebijakan mendapatkan perhatian lebih dalam tahap awal pengembangan ilmu kebijakan, ketika para analis banyak meminjam dari berbagai model pengambilan-keputusan dalam organisasi yang kompleks, sebagaimana dikembangkan oleh para ahli administrasi publik dan organisasi bisnis. Pada pertengahan tahun 1960-an, diskusi tentang pengambilan-keputusan kebijakan publik berubah fokus ke perdebatan seputar ‘model rasional’ dan ‘model inkremental’. Model rasional dipilih sebagai model tentang bagaimana keputusan seharusnya diambil, sementara model inkremental digambarkan sebagai model yang secara aktual paling banyak dipraktekan dalam pemerintahan. Kenyataan ini, pada dekade 1970-an, memunculkan kuatnya upaya untuk mengembangkan berbagai model pengambilan keputusan alternatif dalam berbagai organisasi yang kompleks. Sebagian upaya ini diarahkan untuk mensintesiskan model rasional dan inkremental. Sebagian yang lain – termasuk model pengambilan-keputusan yang disebut ‘garbage-can’ – berfokus pada berbagai elemen rasional dari perilaku organisasional, demi mencapai model alternative selain rasionalisme dan inkrementalisme. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul upaya untuk bergerak lebih jauh lagi dari tiga model yang umum dipakai tersebut dan mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih bernuansa terhadap berbagai proses yang kompleks terkait dengan pengambilan keputusan kebijakan publik. Tujuan dari bab ini adalah untuk membahas berbagai model yang ada dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan menelaah perkembangan terbaru di bidang ini. Bab ini akah diakhiri dengan menawarkan sebuah model alternatif pengambilan keputusan dalam pemerintahan, yang memperhitungkan permasalahan pembatasan kekuasaan dan signifansi subsistem kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas ketika kita membicarakan siklus kebijakan. BERBAGAI ISU KONSEPTUAL Gary Brewer dan Peter DeLeon menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik sebagai: Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi…Tahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik. Definisi ini memberikan beberapa poin kunci tentang tahap pengambilan-keputusan dalam pembuatan kebijakan. Pertama, pengambilan keputusan bukanlah sebuah tahap yang berdiri sendiri, atau sebuah sinonim bagi keseluruhan proses pembuatan kebijakan publik, tetapi sebuah tahap spesifik yang berakar pada tahap-tahap sebelumnya dalam siklus kebijakan. Ini melibatkan tindakan memilih dari sejumlah kecil pilihan kebijakan alternatif, sebagaimana diidentifikasikan dalam proses formulasi kebijakan, untuk memecahkan sebuah masalah publik. Kedua, definisi ini menggarisbawahi poin bahwa pengambilan-keputusan dalam kebijakan publik bukanlah sebuah hal teknis, tetapi secara inheren adalah sebuah proses politik. Di sini diakui bahwa keputusan kebijakan pulbik menciptakan ‘pemenang’ dan ‘pecundang’, bahkan jika keputusan yang diambil adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun atau mempertahankan status quo. Definisi Brewer dan DeLeon tidak mengatakan apapun tentang signifikansi, arah yang berpotensi untuk diambil, atau cakupan dari pengambilan keputusan publik. Untuk menangani isu-isu ini, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana keputusan dibuat di pemerintahan sekaligus memberikan preskripsi tentang bagaimana seharusnya keputusan dibuat. Meskipun berbagai model ini memiliki perbedaan-perbedaan signifikan, mereka juga memiliki beberapa kesamaan. Inilah yang akan kita bahas di bagian selanjutnya dari tulisan ini. Pertama, setiap model mengakui bahwa jumlah aktor kebijakan yang relevan semakin berkurang seiring dengan berjalannya proses kebijakan. Dus, agenda-setting melibatkan sejumlah besar aktor-aktor negara dan masyarakat. Pada tahap formulasi kebijakan, jumlah aktor yang relevan tetap besar, tetapi hanya mencakup aktor-aktor negara dan masyarakat yang menjadi bagian dari subsistem kebijakan. Tahap pengambilan keputusan kebijakan publik melibatkan aktor yang lebih sedikit lagi, karena tahap ini menyisihkan seluruh aktor non-negara, termasuk mereka yang berasal dari level-level pemerintahan yang lain. Hanya para politisi dan pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan otoritatif dalam area permasalahan yang berpartisipasi dalam tahap ini. Kedua, berbagai model ini juga mengakui bahwa dalam pemerintahan modern derajat kebebasan yang dinikmati oleh para pengambil keputusan dibatasi oleh sejumlah aturan yang mengatur jabatan-jabatan politik dan administrative serta membatasi pilihan-pilihan tindakan para pemegang jabatan itu. Aturan-aturan ini mulai dari konstitusi negara bersangkutan sampai mandate spesifik yang ditujukan pada individu pengambil keputusan melalui berbagai undang-undang dan regulasi. Aturan-aturan itu biasanya tidak hanya menentukan keputusan-keputusan apa yang mungkin untuk diambil oleh keagenan maupun pejabat pemerintah, tetapi juga mengatur prosedur yang harus diikuti untuk sampai pada keputusan itu. Seperti telah dicatat oleh Allison dan Halperin, berbagai aturan dan prosedur operasional itu memberikan ‘action-channels’ bagi para pengambil keputusan – seperangkat prosedur yang teregularisasi untuk menghasilkan tipe-tipe keputusan tertentu. Aturan dan SOP ini menjelaskan mengapa proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan menjadi begitu bersifat rutin dan repetitif. Sementara aturan dan SOP ini membatasi kebebasan para pengambil-keputusan, masih tersisa diskresi yang cukup besar pada individu pengambil keputusan untuk sampai pada penilaian mereka tentang cara yang terbaik untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada. Keputusan tentang proses apa yang terjadi selanjutnya dan keputusan apa yang dianggap terbaik bervariasi sebagai hasil tarik menarik antara pengambil-keputusan dan konteks di mana para pengambil keputusan ini beroperasi. Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi, sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris, Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari cabang yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Pengambil keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama atau hampir sama. Di balik area kesamaan dari berbagai model yang dikembangkan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan , model-model itu juga memiliki perbedaan yang signifikan antara satu dengan lainnya. Model yang paling banyak digunakan dalam analisa terhadap tahap ini adalah model Rasional, Inkremental, dan Garbage Con. Kita akan membahasnya satu-persatu. Model-model Pengambilan Keputusan Dua model yang paling dikenal dalam pengambilan keputusan kebijakan publik biasanya disebut dengan nama model rasional dan model inkremental. Model yang pertama pada dasarnya adalah sebuah model pengambilan keputusan bisnis yang diaplikasikan di arena publik, sementara model yang kedua adalah sebuah model politik yang diaplikasikan dalam kebijakan publik. Model-model yang lain berusaha untuk mengkombinasikan rasionalitas dan inkrementalism dengan komposisi yang berbeda-beda untuk tiap model. Sebaliknya, berbeda dengan model-model yang mengakui adanya rasionalitas; meskipun derajatnya berbeda-beda; dalam proses pengambilan keputusan, model garbage can memotret proses pengambilan keputusan sebaai sebuah proses yang pada dasarnya tidak rasional (tetapi tidak sepenuhnya irasional) yang didasarkan pada kepantasan dan perilaku pengambilan-keputusan yang telah menjadi ritual. Model Rasional Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan: 1. Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah 2. Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar 3. Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan. 4. Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut. Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’. Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional berakar pada usaha awal untuk membangun sebuah disiplin ilmu tentang perilaku organisasi dan administrasi publik. Berbagai elemen dari model ini bisa ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal seperti Henry Fayol di Perancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di Inggris dan Amerika Serikat. Dengan menjadikan ide yang dikemukakan oleh Fayol dalam dalam studinya tentang industri batu bara di Prancis menjelang abad XX, Gulick and Urwick mengkodifikasikan sebuah model yang mereka daku sebagai keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Model PODSCORB yang mereka kembangkan menyiratkan bahwa organisasi bisa memaksimalkan kinerja mereka melalui Perencanaan, Pengorganisasian, Pengambilan Keputusan, Penentuan Pilihan, Pengkoordinasian, Perekrutan dan Penganggaran yang terencana. “Pengambilan keputusan’ atas suatu tindakan tertentu, bagi Gulick dan Urwick, berarti menimbang antara keuntungan dengan biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan. Kemudian, para analist yang mengusung perspektif ini mulai beargumen bahwa bentuk pengambilan keputusan seperti ini hanya akan memberikan hasil maksimal jika seluruh alternatif yang mungkin dan biaya dari setiap alternatif dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan diambil – ini disebut model pengambilan keputusan ‘rational comprehensive’. Penekanan baru terhadap aspek komprehensif terbukti problematic, dan kritik segera bermunculan. Ada batasan-batasan manusiawi yang dimiliki oleh para pengambil keputusan untuk bisa komprehensif dalam membangun berbagai alternatif dan mengkalkulasikan keuntungan dan beban yang ditimbulkan tiap alternatif. Selain itu ada pula batasan politik dan institusional yang membatasi penseleksian opsi dan pilihan-pilihan keputusan. Model rasional-komprehensif dikritik sebagai menyesatkan, bahkan ada yang menganggapnya mendekati ‘sesat’. Mungkin salah satu kritik paling keras yang diarahkan pada model rasional adalah kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan behavioral Amerika, Herbert Simon, satu-satunya ahli administrasi publik yang pernah mendapatkan hadiah Nobel. Bermula di awal dekade 1950-an, ia berpendapat dalam serangkaian buku dan artikel bahwa ada beberapa hambatan yang tidak memungkinkan para pengambil keputusan untuk mencapai rasionalitas yang murni dan komprehensif dalam keputusan-keputusan mereka. Pertama, ada batasan-batasan kognitif pada kemampuan pengambil keputusan untuk mempertimbangkan seluruh opsi yang ada, sehingga mereka terpaksa bertindak selektif dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut. Jika demikian, maka nampaknya mereka memilih di antara opsi yang ada berdasarkan landasan ideologi atau politik, atau malah secara acak, tanpa merujuk dampak dari pilihan mereka terhadap efisiensi. Kedua, model ini mengasumsikan bahwa adalah mungkin bagi para pengambil keputusan untuk mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil, yang dalam kenyataannya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ketiga, setiap opsi kebijakan diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negative, yang menjadikan upaya komparasi berbagai konsekuensi tersebut menjadi sulit untuk dilakukan. Karena opsi yang sama bisa jadi efisien atau tidak-efisien tergantung dari situasinya, maka tidaklah mungkin bagi pengambil keputusan untuk sampai pada kesimpulan mutlak tentang alternatif mana yang lebih baik daripada alternatif lain. Penilaian Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk diri mereka sendiri dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. ‘Satisfying criterion’ ini adalah sesuatu yang nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang terbatas. Model Inkremental Berbagai keraguan tentang praktikalitas bahkan kegunaan model rasional membawa pada usaha untuk mengembangkan sebuah teori pengambilan keputusan yang lebih dekat dalam memperkirakan perilaku aktual dari para pengambil keputusan. Situasi ini mendorong munculnya model inkremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik sebagai sebuah proses yang dikarakterisasikan oleh tawar menawar dan kompromi antara berbagai pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Keputusan-keputusan yang dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel daripada diinginkan. Jasa dalam mengembangkan model inkremental dalam analisa pengambilan keputusan kebijakan publik paling layak diatributkan pada ilmuwan politik Yale University, Charles Lindblom. Ia merangkum model ini sebagai sebuah model yang terdiri dari strategi-strategi yang saling mendukung dalam melakukan penyederhanaan dan pemusatan fokus. Strategi-strategi itu adalah: • Pembatasan analisis hanya pada beberapa alternatif kebijakan yang familiar…hanya sedikit berbeda dari status quo; • Sebuah analisis tujuan kebijakan yang berjalinkelindan dan nilai-nilai dengan berbagai aspek empiris dari masalah yang dihadapi • Sebuah strategi yang mengedapankan analisis untuk mencari masalah yang ingin diselesaikan daripada tujuan-tujuan positif yang ingin dikejar; • Serangkaian percobaan, kegagalan, dan percobaan ulang; • Analisis yang mengeksplorasi hanya sebagian, bukan keseluruhan, konsekuensi-konsekuensi yang penting dari suatu alternatif yang dipertimbangkan; • Fragmentasi kerja analitis untuk berbagai partisipan dalam pembuatan kebijakan (setiap partisipan mengerjakan bagian mereka dari keseluruhan domain). Dalam pandangan Lindbolm, para pengambil keputusan mengembangkan berbagai kebijakan melalui sebuah proses membuat ‘perbandingan terbatas yang berurutan dengan kebijakan sebelumnya’, yaitu keputusan-keputusan yang sudah familiar bagi mereka. Seperti dikemukakan dalam artikelnya yang telah banyak dikutip, ‘The Science of “Muddling Through”’, para pengambil keputusan bekerja dalam sebuah proses yang secara terus menerus ‘terbangun dari situasi yang ada pada saat itu, setapak-demi-setapak dan dalam derajad yang kecil’. Keputusan yang diambil biasanya hanya sedikit berbeda dari keputusan-keputusan yang sudah ada; dengan kata lain, perubahan dari status-quo bersifat inkremental. Ada dua sebab mengapa berbagai keputusan cenderung tidak terlalu jauh berbeda dengan status quo. Pertama, karena proses tawar menawar mensyaratkan distribusi sumber daya yang terbatas di antara berbagai partisipan, maka akan lebih mudah untuk melanjutkan pola distribusi yang sudah ada daripada membuat sebuah pola baru yang berbeda secara radikal. Keuntungan dan kelemahan dari tatanan ada sudah diketahui dan dikenal oleh para aktor kebijakan, berbeda dengan ketidakpastian yang melingkupi tatanan yang masih baru, yang membuat kesepakatan untuk melakukan perubahan menjadi sulit dicapai. Hasil yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk muncul adalah kelanjutan dari status quo atau hanya perubahan kecil dari status quo. Kedua, standard operating procedure yang menjadi batu penjuru seluruh sistem birokrasi cenderung untuk lebih mengedepankan keberlanjutan atau kontinyuitas praktek-praktek yang sudah ada. Cara para birokrat mengidentifikasi berbagai opsi, metode dan kriteria untuk dipilih seringkali telah ditetapkan lebih dahulu, menghambat inovasi dan hanya mengulang tatanan yang sudah ada. Lindbolm juga berpendapat bahwa model inkremental yang mensyaratkan pemisahan antara tujuan dan cara ternyata tidak bisa dipraktekan dalam praktek, tidak hanya karena ada batasan waktu dan informasi seperti yang dikatakan Simon, tetapi juga karena para pembuat kebijakan tidak pernah benar-benar bisa memisahkan antara tujuan dan cara. Lindbolm berpendapat bahwa di sebagian besar area kebijakan, tujuan tidak bisa dipisahkan dari cara, dan tujuan apa yang dituju seringkali bergantung pada efektifitas cara yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. Karena kesepakatan atas pilihan kebijakan sulit untuk dicapai, para pengambil keputusan menghindari membuka kembali isu-isu lama atau mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan yang terlalu jauh berbeda dengan praktek-praktek yang ada, karena membuat kesepakatan menjadi semakin sulit dicapai. Hasilnya adalah berbagai keputusan kebijakan yang hanya sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan terdahulu. Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai sebuah kegiatan praktis yang berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi daripada berupaya mencapai tujuan jangka panjang. Dalam model ini, cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah ditemukan melalui trial-and-error daripada melalui evaluasi yang komprehensif dari semua cara yang ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang familiar, dan dianggap pantas, dan berhenti mencari alternatif lain ketika mereka percaya bahwa sebuah alternatif yang bisa diterima telah ditemukan. Dalam tulisan sebelumnya, Lindbolm dan para koleganya berkeyakinan bahwa kemungkinan pengambilan keputusan secara inkremental sangat mungkin ada-bersama dengan upaya-upaya untuk mencapai keputusan secara lebih rasional. Dengan demikian, Braybrooke dan Lindbolm berpendapat bahwa empat tipe pengambilan kuputusan bisa digunakan tergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh para pengambil keputusan, dan seberapa besar perbedaan alternatif kebijakan dengan kebijakan yang sudah ada. Ini memunculkan matix yang ditunjukan sebagai berikut: Empat Tipe Pengambilan Keputusan Tingkat pengetahuan yang ada Tinggi Rendah Perbedaan yang ada antara kebijakan alternatif dan yang terdahulu Tinggi Revolusioner Analitis Rendah Rasional Inkremental, terpisah-pisah (disjointed incremental) Sumber: diadaptasi dari David Braybrooke dan Charles Lindblom, A Strategy of Decision: Policy Evaluation as a Social Process, New York, Free Press of Glencoe, 1963 Dalam pandangan ini, sebagian besar keputusan nampaknya diambil secara incremental, melibatkan perubahan yang sangat kecil dalam situasi di mana hanya tersedia sedikit informasi dan pengetahuan. Tetapi, ada tiga kemungkinan lain, model rasional muncul sebagai salah satu kemungkinan bersama-sama dengan dua tipe yang definisinya tidak terlalu jelas – revolusioner dan analitis – dan tidak terlalu sering digunakan sebagai alternatif pengambilan-keputusan. Dalam perjalanan karir selanjutnya, Lindblom berpendapat bahwa ada spektrum style pengambilan keputusan. Spektrum ini terentang dari kutub ‘synoptic’ atau komprehensif rasional sampai pada ‘blundering’, yang artinya hanya mengikuti perkiraan-perkiraan tanpa ada upaya riil yang sistematis untuk menganalisa berbagai strategi alternatif. Spektrum itu diilustrasikan sbb.: Sebuah Spetrum Berbagai Style Pengambilan Keputusan Meskipun menerima berbagai kemungkinan teoritis bagi berbagai styles pengambilan keputusan, Lindbom dalam karya-karyanya yang kemudian menolak seluruh alternatif lain bagi model incremental berdasarkan alasan-alasan praktis. Ia berpendapat bahwa setiap analisis sinotik yang berusaha untuk mencapai keputusan-keputusan berdasarkan berbagai kriteria berorientasi maksimalisasi akan berakhir dengan kegagalan, dan seluruh pengambilan keputusan didasarkan pada, apa yang disebutnya sebagai, analisis ‘yang tidak lengkap dan tergeneralisasi’ (grossly incomplete analysis). Lindblom berpendapat, esensi dari inkrementalism adalah untuk mensistematisasikan berbagai ekputusan yang dicapai melaui cara ini, dengan menekankan pada pentingnya mencapai kesepakatan politik dan belajar dari trial-and-error, ketimbang hanya berkutat dengan keputusan-keputusan secara acak. Jika model inkremental mungkin bisa memberikan deskripsi yang akurat – yang mana klaim ini juga debatable – tentang bagaimana keputusan kebijakan publik seringkali dibuat, para kritikus ternyata juga menemukan beberapa kesalahan sebagai implikasi dari alur penelaahan yang disarankan model ini. Pertama, model ini dikritik karena sangat kurang memperhatikan orientasi tujuan. Sebagaimana dilontarkan oleh Fosters, inkrementalisme ‘akan membuat kita melintasi berbagai persimpangan berulang-ulang tanpa mengetahui kemana kita tujuan kita’. Kedua, model ini dikritik karena kecenderungan inherennya pada konservatisme, terlalu pesimis terhadap perubahan bersekala besar dan inovasi. Ketiga, model ini dikritik karena dianggap tidak demokratis, karena membatasi pengambilan keputusan hanya pada tawar menawar sekelompok kecil orang-orang pilihan, para pembuat kebijakan senior. Keempat, dengan tidak memperhatikan analisis dan perencanaan yang sistematik dan, sedikit banyak, menegasi kebutuhan untuk mencari alternatif-alternatif baru, model ini dianggap mendorong munculnya keputusan-keputusan berdasarkan perhitungan jangka-pendek, yang dikawatirkan akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif jangka panjang. Sebagai tambahan, model ini juga dikritik karena hanya memiliki kemampuan analitis yang sempit. Yehezkel Dror, contohnya, mencatat bahwa inkrementalism hanya bisa bekerja ketika ada kontinyuitas problem dalam jangka waktu yang cukup panjang, yang mana problem ini berusaha diselesaikan melalui suatu kebijakan tertentu. Model ini juga mensyaratkan cara yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan tersebut hampir selalu bisa dipakai. Pada kenyataannya, syarat-syarat ini jarang sekali terpenuhi. Inkrementalisme juga memiliki karakteristik sebagai model pengambilan keputusan dalam sebuah lingkungan yang relatif stabil, dan agak sulit untuk diaplikasikan pada situasi-situasi tidak biasa, seperti krisis. Model Tong Sampah Limitasi model rasional dan incremental membawa para ahli pembuat kebijakan publik mencari alternatif-alternatif baru. Amitai Etzioni memngembangkan pemindaian gabungan – model mixed scanning untuk menjembatani berbagai kekurangan, baik model rasional maupun incremental, dengan mengkombinasikan elemen-elemen keunggulan keduanya. Model gabungan seperti ini memberikan ruang yang lebih luas untuk inovasi daripada model incremental, tanpa terlalu dibebani dengan tuntutan-tuntutan yang tidak realistis dari model rasional. Etzioni mengatakan lebih lanjut bahwa pengambilan keputusan seperti inilah yang lebih sering terjadi dalam realitas pengambilan keputusan kebijakan publik. Adalah lazim ketika seringkaian keputusan-keputusan incremental diikuti oleh sebuah sebuah keputusan yang secara substansial berbeda, karena adanya sebuah permasalahan yang sama sekali bereda dari masalah yang dihadapi sebelumna. Karena itu, pemindaian gabungan dipandang sebuah sebuah model yang bersifat preskriptif dan juga desktriptif. Tetapi, pendekatan ini dan berbagai pendekatan lainnya sebagian besar tetap berada dalam kerangka yang dibangun oleh model rasional dan incremental. Pada dekade 1970-an, sebuah model yang sama sekali berbeda menyuarakan bahwa minimnya penggunaan rasionalitas adalah sesuatu yang inheren dalam prose pengambilan keputusan. March dan Olsen menawarkan model tong-sampah/garbage can yang menyangkal adanya penggunaan rasionalitas dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam derajad kecil sebagaimana dipaparkan dalam model inkremental. Mereka memulai dengan asumsi bahwa model-model yang lain mempertahankan asumsi adanya intensionalitas, pemahaman masalah, dan prediktibilitas relasi-relasi antar berbagai aktor yang pada kenyataannya sama sekali tidak diemui. Dalam pandangan March dan Olsen, pengambilan keputusan adalah sebuah proses yang sangat ambigu dan tak-terprediksi, dan kecil sekali kaitannya dengan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. March dan Olsen, sembari menolak instrumentalisme yang menjadi karakter sebagian besar model-model lain, berpendapat bahwa pengambilan keputusan adalah: Sebuah tong sampah kemana berbagai masalah dan solusi dilemparkan oleh para partisipan proses pengambilan keputusan. Campuran sampah dalam sebuah tong sebagian ditentukan oleh berbagai label yang ditempelkan pada tong-tong yang lain; tetapi sebagian lagi ditentukan oleh sampah seperti apa yang dihasilkan pada saat itu, pada campuran tong-tong yang tersedia, dan seberapa cepat sampah bisa dikumpulkan dan dibuang. March dan Olsen sengaja menggunakan metafora tong sampah untuk menghilangkan aura ilmiah dan rasional yang diatributkan pada proses pengambilan keputusan oleh para teoritisi sebelumnya. Mereka berusaha untuk memunculkan pemahaman bahwa seringkali para pembuat kebijakan itu sendiri tidak tahu tujuan mereka, begitu juga hubungan kausal antara problem dan tujuan kebijakan yang dihadapi. Dalam pandangan March dan Olsen, para aktor hanya mendefinisikan tujuan dan memilih cara secara serta merta, seiring dengan berjalannya proses kebijakan, yang mana hasilnya juga sangat tidak pasti dan tidak bisa diprediksi. Beberapa studi kasus telah membuktikan proposisi bahwa keputusan publik seringkali dibuat dengan cara yang sangat ad-hoc dan acak. Andersson, misalnya, pernah berpendapat bahwa bahkan keputusan-keputusan yang terkait dengan krisi Rudal Kuba sekalipun, diakui sebagai sebuah isu paling kritis selama perang dingin, dibuat dalam pilihan-pilihan simplistik pertanyaan dengan jawaban ya/tidak dalam berbagai proposal yang muncul selama pembahasan kebijakan terkait krisis tersebut. Katakanlah demikian, model tong sampah mungkin dianggap sebagai upaya yang terlalu membesar-besarkan fakta yang terjadi. Sementara tujuan utamanya mungkin bisa dikatakan cukup memberikan deskripsi yang akurat tentang bagaimana seringkali organisasi membuat kebijakan-kebijakannya, dalam contoh-contoh yang lain mungkin akan lebih masuk akal jika kita mengharapkan sesuatu yang lebih masuk akal. Terlepas dari itu semua, kekuatan utama dari model ini adalah kemampuannya untuk melepaskan diri dari perdebatan lama antara rasional vs. incremental, dan memberikan kesempatan untuk melakukan studi-studi pengambilan keputusan dalam konteks institusional yang lebih bernuansa. SEBUAH MODEL SUBSISTEM DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PUBLIK Pada awal dekade 1980-an, semakin jelas bagi para pengamat bahwa perdebatan lama antara para pendukung rasionalisme dan inkrementalisme menghambat karya emperis dan pengembangan teoritis dari subyek tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Smith dan May, ‘Sebuah perdebatan tentang keunggulan relatif model rasionalis dan inkremental telah mendominasi studi ini selama bertahun-tahun dan meskipun berbagai terma yang muncul dalam perdebatan ini telah diketahui oleh banyak orang, tetapi hampir sama sekali tidak memberikan efek bagi riset empiris di area kebijakan maupun administrasi publik’. Ketimbang melanjutkan perdebatan ini, pengarang berpendapat bahwa: Kita memerlukan lebih dari satu model untuk menjelaskan berbagai faset kehidupan organisasional. Permasalahannya bukanlah mendamaikan berbagai perbedaan yang ada antara model rasional dan incremental, tetapi membangun alternatif ketiga yang menggabungkan keunggulan dari masing-masing model tersebut. Problem yang ada adalah untuk menpertautkan keduanya, dalam arti mempertautkan realitas sosial sesungguhnya yang direpresentasikan oleh masing-masing model. Saat ini, beberapa langkah maju telah dicapai kea rah yang disarankan oleh Smith dan May. Meskipun ada sebagian kecil orang yang menginginkan untuk kembali ke sebuah model rasional komprehensif, atau sepenuhnya menolak inkrementalisme paling tidak sebagai sebuah deskripsi tentang sebagian besar pengambilan keputusan kebijakan publik actual, sebagian besar berpendapat bahwa pemikiran Braybrooke dan Lindblom tentang multiple-decision-making-styles adalah pilihan yang tepat dan adalah penting untuk menjelaskan secara cermat dalam kondisi seperti apa berbagai model pengambilan keputusan cenderung untuk diadopsi. Salah satu perkembangan yang paling menarik di sini bisa kia temukan dalam karya-karya John Forester. Ia berpendapat bahwa setidaknya ada enam model pengambilan-keputusan yang terkait dengan enam perangkat kondisi kunci. Menurutnya ‘apa yang rasional bagi untuk dilakukan oleh para administrator tergantung pada berbagai situasi di mana mereka bekerja’. Model pengambilan keputusan yang dibuat oleh para pengambil keputusan bervariasi menurut isu dan konteks institusional yang melingkupinya. Pada tahun 1984 dia menulis dalam artikelnya: Sebuah strategi bisa dipandang sebagai sesuatu yang praktis dan berguna atau sia-sia tergantung dari kondisi yang sedang dihadapi. Dalam waktu, keahlian, data dan permasalahan yang terdefinisikan dengan jelas, kalkulasi teknis mungkin bisa menjadi sesuatu yang berguna; tetapi jika waktu, data, definisi, dan kalkulasi tidak terdefinisi dengan jelas, kalkulasi semacam itu akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Dalam lingkungan organisasional yang kompleks, ketika muncul kebutuhan akan informasi, jejaring intelijen akan sama penting, atau bahkan lebih penting, daripada dokumen. Dalam sebuah lingkungan konflik antar-organisasi, tawar menawar dan kompromi menjadi sesuatu yang sangat penting. Strategi-strategi administratif hanya menjadi strategi yang efektif dalam sebuah konteks politik dan organisasional. Forester berpendapat bahwa agar pengambilan keputusan menurut model rasional maka syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi. Pertama, jumlah agen (pengambil keputusan) harus dibatasi, bila perlu sesedikit mungkin. Kedua, tatanan organisasional bagi keputusan harus seerhana dan tertutup dari pengaruh aktor-aktor kebijakan lain. Ketiga, permasalahan yang dihadapi harus terdefinisi dengan jelas; dengan kata lain, scope, horizon, dimensi nilai, dan rantai konsekuensi harus betul-betul diketahui dan dipahami. Keempat, informasi harus sesempurna mungkin diketahui, dengan kata lain lengkap, aksesibel, dan bisa dipahami. Terakhir, tidak boleh ada desakan untuk mengambil keputusan secepat mungkin; yaitu, waktu yang tersedia bagi pengambil keputusan harus tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga mereka bisa mempertimbangkan seluruh kontingensi yang mungkin terjadi beserta konsekuensi yang sedang maupun akan dihadapi. Ketika syarat-syarat ini bisa dipenuhi secara sempurna, pengambilan keputusan yang rasional bisa kita harapkan. Jika kelima syarat ini tidak terpenuhi, yang mana menjadi kasus yang paling sering muncul dalam praktek, Forester berpendapat bahwa kita akan menemukan model-model pengambilan keputusan yang lain. Dengan demikian jumlah agen bisa bertambah sampai jumlah yang tidak terbatas; tatanan yang ada bisa mencakup berbagai organisasi yang berbeda dan relatif terbuka bagi pengaruh-pengaruh eksternal; permasalahan yang dihadapi akan bersifat ambigu atau multitafsir; informasi tidak lengkap, menyesatkan atau secara sengaja dimanipulasi’ dan waktu yang tersedia bisa jadi terbatas atau juga sengaja dimanipulasi. Bagan berikut menggambarkan berbagai parameter pengambilan keputusan. Berbagai parameter pengambilan keputusan Variabel Dimensi 1 Agen Tunggal – Banyak 2 Setting Tunggal, tertutup – Banyak, terbuka 3 Permasalahan Terdefinisi dengan jelas – Multitafsir, ambigu 4 Informasi Sempurna – dikontestasikan 5 Waktu Tak terbatas – dimanipulasi Sumber: diadaptasi dari John Forester: ‘Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through’. Public Administration Review 44, 1 (1984);26 Dari perspektif ini, Foreseter berpendapat bahwa ada lima kemungkinan model pengambilan keputusan: Optimalisasi, Satisfycing, Pencarian (Search), Tawar-menawar (Bargain), dan Organisasional. Optimilasisi adalah strategi yang digunakan ketika syarat-syarat model rasional komprehensif, seperti dipaparkan di atas, sepenuhnya terpenuhi. Prevalensi model-model lain bergantung pada seberapa banyak syarat yang tidak terpenuhi. Ketika limitasi-limitasi yang ada bersifat kognitif, untuk berbagai alasan yang dikemukakan sebelumnya, nampaknya akan lebih baik jika kita menggunakan model satisfycing. Model-model lain yang disarankan oleh Forester saling tumpang-tindih sehingga sulit untuk membedakan dan memaparkannya satu persatu. Model Pencarian adalah salah satu model yang bisa digunakan ketika problem yang dihadapi tidak terdefinisi dengan jelas. Sementara, model tawar-menawar adalah model yang bisa ditemukan ketika berbagai aktor harus mengambil keputusan dalam situasi ketiadaan informasi yang lengkap dan waktu yang mendesak. Model organisasional melibatkan berbagai setting dan aktor, yang meskipun sumberdaya waktu dan informasi tersedia, tetapi dihadapkan pada permasalahan yang beragam. Pendek kata, model-model pengambilan keputusan ini melibatkan jumlah aktor yang lebih banyak, setting yang lebih kompleks, permasalahan yang lebih beragam dan kabut, informasi yang tidak lengkap dan terdistorsi, dan waktu yang terbatas dan mendesak. Meskipun pemikiran Forester menjadi sebuah langkah maju penting dalam memberikan klasifikasi dan taksonomi, dan tentu saja memberikan alternatif pilihan yang berguna, selain model rasional, inkremental dan garbage-can, tetapi apa yang dilakukannya hanyalah langkah awal dalam membangun sebuah model pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebuah masalah besar dalam taksonomi yang dibangunnya adalah keterputusannya dari argument-argumennya sendiri. Sebuah penelaahan yang tertutup dari pembahasannya tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mengungkapkan bahwa orang akan berharap untuk menemukan lebih dari satu model yang mungkin muncul dari lima pilihan model kombinasi dan permutasi variabel-variabel yang dikemukakannya. Meskipun berbagai kategori, dalam prakteknya, tidak bisa dipilah-pilah dan, dalam berbagai kesempatan, tidak terlalu berguna bagi tujuan analitis, alasan mengapa seseorang harus menggunakan salah satu model yang dikemukakannya tetap merupakan sesuatu yang tidak jelas. Kita bisa mengembangkan model Forester dengan mendesain ulang variabel-variabelnya. Studi tentang ‘agen’ dan ‘setting’ bisa disempurnakan dengan berfokus pada subsistem kebijakan, sementara pemikiran tentang ‘permasalahan’, ‘informasi’ dan ‘waktu’ bisa dilihat sebagai pemikiran yang terkait dengan tipe-tipe konstrain yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Dengan demikian, dua variabel utama di sini adalah (1) kompleksitas subsistem kebijakan yang menangani permasalahan yang ada dan (2) seberapa besar konstrain yang harus dihadapi. Kompleksitas subsistem kebijakan mempengaruhi kemungkinan keberhasilan mencapai kesepakatan atau opisisi terhadap suatu pilihan dalam subsistem tersebut. Beberapa pilihan dianggap sejalan dengan nilai-nilai utama yang dipegang oleh anggota subsistem sementara sebagian yang lain tidak, sehingga kompleksitas subsistem ini menstrukturkan keputusan-keputusan dalam kategori pilihan-pilihan keras atau lunak. Mirip dengan itu, pengambilan keputusan relatif dibatasi oleh informasi dan waktu, dan juga kejelasan masalah. Bagan berikut menggambarkan empat model dasar pengambilan keputusan. Empat model ini muncul sebagai basis dari dua dimensi yang dipaparkan dalam analisis ini: kompleksitas subsistem dan derajat konstrain. Model Dasar PengambilanKeputusan Kompleksitas subsistem kebijakan Derajat konstrain Tinggi Rendah Tinggi Incremental adjustment Satisfying Search Rendah Optimizing adjustment Rational Search Sumber: dimodifikasi menurut Martin J. Smith, ‘Policy Networks and State Autonomy,’ dalam Political Influence of Ideas: Policy Communities and the Socieal Sciences, eds. S. Brooks dan A.-G. Gagnon. New York: Praeger, 1994. Dalam model ini, subsistem kebijakan yang kompleks akan cenderung memunculkan strategi-strategi penyesuaian (adjustment) daripada strategi pencarian (search). Situasi tingginya derajat konstrain cenderung menghasilan suatu pendekatan tawar menawar dalam pengambilan keputusan, sementara situasi di mana derajat konstrain rendah cenderung memunculkan aktifitas opmtimalisasi atau rasional. Jika digabungkan, kedua variabel ini menghasilkan empat model dasar pengambilan keputusan. Penyesuaian inkremental gaya Lindblom cenderung muncul dalam situasi ketika subsistem yang ada bersifat kompleks dan derajat konstrain yang tinggi. Dalam situasi semacam itu kita bisa perkirakan bahwa akan jarang muncul keputusan-keputusan bersekala besar dan beresiko tinggi. Pada skenario sebaliknya, ketika subsismtem kebijakan yang ada sederhana dan derajat konstrain rendah, pendekatan pencarian rasional dan perubahan besar sangat mungkin untuk dilakukan. Ketika ada sebuah subsistem yang kompleks dan derajat konstrain yang rendah, maka akan ada kecenderungan untuk memunculkan strategi penyesuaian, tetapi kali ini ditujukan untuk mencapai optimalisasi. Terakhir, ketika derajat konstrain tinggi, tetapi kompleksitas subsistem rendah, strategi-strategi satisfycing akan menjadi kecenderungan yang umum terjadi. KESIMPULAN Karakter esensial dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik sama seperti tahap-tahap lainnya dalam proses kebijakan. Sama halnya dengan tahapan sebelumnya dalam proses kebijakan publik, tahap pengambilan keputusan bervariasi menurut sifat alami dari subsistem kebijakan yang terlibat dalam proses itu dan derajat konstrain yang dihadapi oleh para pengambil-keputusan. Sebagaimana dirangkum oleh John Forester, apa yang rasional bagi para administrator dan politisi ditentukan oleh situasi di mana mereka bekerja. Didesak untuk segera memberikan rekomendasi, maka para pengambil keputusan ini tidak bisa melakukan studi yang mendalam. Ketika dihadapkan pada persaingan dan kompetisi organisasional, maka adalah sangat rasional jika para pengambil keputusan ini menjadi lebih tertutup. Apa yang rasional untuk dilakukan ditentukan oleh konteks yang dihadapi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam administrasi publik. Bacaan Pendukung Cahill, Anthony & E. Sam Overman, ‘The Evolution of Rationality in Policy Analysis’, hlm. 11-27 dalam Stuart S. Nagel (ed.). Policy Theory and Policy Evaluation. New York: Greenwood, 1990. Cohen, M., J. March & J. Olsen, ‘A Garbage Can Model of Organizational Choice’, Administrative Science Quarterly, 17, 1 (1972): 1-25. Etzioni, Amitai, ‘Mixed-scanning: A “Third” Approach to Decision-Making’, Public Administration Revew 44 (1984): 23-30. Forrester, John, ‘Bounded Rationality and the Politics of Muddling Through’, Public Administration Review 44 (1984): 23-30. Lindblom, Charles, ‘The Science of Muddling Through’, Public Administration Review 19 (1959): 79-88. MacRae, Duncan Jr., & James A. Wilde. Policy Analysis for Public Decisions. Lanham, MD: University Press of America, 1985. Simon, Herbert, ‘A Behavioral Model of Rational Choice’, Quarterly Journal of Economics 69, 1 (1955): 99-118. Smith, Gilbert & David May, ‘The Artificial Debate Between Rationalist and Incrementalist Models of Decision-Making’, Policy and Politics 8 (1980): 147-61.

Tidak ada komentar: