Kamis, 07 April 2022

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN KOGNITIVISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN PAI

A. TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK 1. Pengertian Belajar Menurut Teori Behavioristik Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya pengalaman dan latihan dalam hubungan stimulus dan respon. 2. Faktor-faktor Pendukung Belajar Behavioristik a. Stimulus yaitu apa saja yang diberikan guru b. Respon yaitu apa saja yang dapat dihasilkan siswa. c. Reinforcement faktor penguatan . Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. d. positive reinforcement yaitu penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat. e. negative reinforcement yaitu bila penguatan dikurangi respon pun akan tetap dikuatkan. 3. Tokoh -tokoh aliaran Behavioristik a. Edward Lee Thorndike (1874-1949) b. John Broades Watson (1878-1958) c. Edwin Ray Guthrie (1886-1959) d. Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990) 4. Teori Belajar Behavioristik a. Perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. b. Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur. c. Dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. d. Belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif 5. Ciri –ciri Teori Belajar Behavioristik Adapun ciri-ciri teori belajar behavioristik adalah, a. Mementingkan pengaruh lingkungan b. Mementingkan bagian bagian c. Mementingkan peranan reaksi d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar e. Mementingkan sebab sebab di waktu yang lain f. Mementingkan pembentukan kebiasaan g. Dalam pemecahan masalah, ciri khasnya trial and error. 6. Hukum-hukum Teori Behavioristik a. Hukum Latihan (The law of exercise) Hukum ini menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan menjadi kuat apabila sering digunakan (law of use), dan sebaliknya akan menjadi lemah jika tidak digunakan (law of disuse). b. Hukum Akibat (The law of effect) Hukum ini menyatakan bahwa satu tindakan atau perbuatan yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan cenderung diulang, sebaliknya tindakan atau perbuatan yang menghasilkan rasa tidak puas (tidak menyenangkan) akan cendeung tidak diulang. c. Hukum Kesiapan (The law of readiness) Hukum ini menyatakan bahwa proses belajar akan berhasil dengan baik apabila siswa memiliki kesiapan, yaitu kecenderungan untuk bertindak. d. Law of multiple response, yaitu individu mencoba menyikapi stimulus dengan berbagai respon sampai mendapatkan respon yang tepat; e. Law of attitude, yaitu proses belajar dapat berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada siswa. f. Law of partial activity, yaitu individu dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. g. Law of response by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai reaksi yang sama terhadap situasi baru yang mirip dengan situasi yang pernah dialaminya. 7. Contoh Program Belajar Behavioristik a. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus–respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), b. Penguatan positif 18 (positive reinforcement) bisa diberikan dalam bentuk pujian, dukungan, atau hadiah dengan tujuan untuk menguatkan hubungan antara S-R. c. Penguatan negatif (negative reinforcement) bertujuan untuk melemahkan hubungan antara S-R yang bisa diberikan dalam bentuk pengurangan bahkan sampai penghilangan stimulus menyenangkan yang pada awalnya diterima oleh siswa. 8. Implementasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran a. Pemberian ulangan atau tes b. Dalam pembelajaran perlu adanya proses pengulangan (repetition) materi. c. Pemberian stimulus yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. d. Pemberian hukuman dan hadiah diperlukan dalam rangka menciptakan disiplin kelas yang kondusif untuk proses pembelajaran. e. Pemberian hadiah atau hukuman harus dilakukan secara variative. f. Proses pembelajaran akan berjalan secara efektif jika siswa sudah memiliki kesiapan untuk mengikuti proses belajar. 9. Implikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran Agama Islam Penerapan teori belajar behavioristik dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam sangat penting untuk di realisasikan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pendapat Ivan Pavlo terkait dengan pradigma kondisioning mengatakan bahwa perubahan perilaku dapat terwujud apabila sering dilakukan rangsangan serta pengulangan. Senada dengan hal tersebut, penerapan teori belajar behavioristik pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam dilakukan dengan cara memberikan penguatan, motivasi, rangsangan, serta latihan-latihan. Contoh: Berikut penjelasannya: 1. Penguatan yang dimaksud disini adalah pembahasan ulang atau meriview kembali pelajaran Pendidikan Agama Islam yang telah dipelajari sebelumnya. 2. Motivasi yang dimaksud adalah sebelum pembahasan materi pembelajaran PAI, guru Pendidikan Agama Islam terlebih dahulu memberikan motivasi terkait dengan materi yang akan disampaikan. Misalanya, ketika dalam materi ajar membahas terkait dengan Sejarah islam, maka guru terlebih dahulu menceritakan secara singkat tentang kisah inspiratif dari Rasulullah Saw. 3. Rangsangan yang dimaksud disini adalah dalam proses pembelajaran Guru Pendidikan Agama Islam meberikan stimulus-stimulus yang dapat membuat peserta didik bergairah dalam belajar. Misalnya guru memberikan reward kepada peserta didik yang berprestasi. 4. Memberikan latihan-latihan maksudnya adalah setelah materi pembelajaran PAI selesai, maka Guru Pendidikan Agama Islam tersebut memberikan latihan-latihan terkait dengan materi yang diajarkan pada saat itu. Misalanya, guru memberikan latihan uraian sebelum mengakhiri pertemuan. Berangkat dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam , Guru pendidikan Agama Islam menerapkan teori belajar behavioristik. Hal itu dibuktikan dengan di tuangkannya B. TEORI BELAJAR KOGNITIF 1. Pengertian Belajar Kognitif Semua aktivitas mental yang membuat suatu individu mampu menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu peristiwa, sehingga individu tersebut mendapatkan pengetahuan setelahnya. 2. Teori Belajar Kognitif menurut para ahli a. Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahaptahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. b. Bruner proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. c. Ausubel belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang, Dan belajar hafalan akan terjadi bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep konsep relevan atau subsume-subsumer relevan, informasi baru dipelajari secara hafalan d. Gagnae belajar konsep merupakan suatu bagian dari suatu hierarki delapan bentuk belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar bergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga di antaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik (Dahar, 2011, hlm. 118). 3. Ada lima kemampuan yang ditinjau dari segi-segi yang diharapkan dari suatu pengajaran atau instruksi,. Kemampuan-kemampuan tersebut yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, informasi verbal, dan keterampilan motorik. a. Keterampilan intelektual Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. b. Strategi kognitif Suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir disebut sebagai strategi kognitif. Strategi kognitif dikelompokkan sesuai dengan fungsinya, dan pengelompokkan yang disarankan oleh Weinstein dan Mayer (dalam Dahar, 2011, hlm. 122) adalah sebagai berikut: 1) Strategi menghafal. Siswa melakukan latihan mereka sendiri tentang materi yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, seperti mengulangi nama-nama dalam suatu urutan (nama pahlawan, tahun pecahnya perang dunia, dan lain-lain). 2) Strategi elaborasi. Siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan dipelajari dengan bahan-bahan lain yang tersedia. 3) Strategi pengaturan. Menyusun materi yang akan dipelajari ke dalam suatu kerangka teratur merupakan teknik dasar strategi ini. 4) Strategi metakognitif. Meliputi kemampuan siswa untuk menentukan tujuan belajar, memperkirakan keberhasilan pencapaian tujuan itu, dan memilih alternatifalternatif untuk mencapai tujuan itu. 5) Strategi afektif. Teknik ini digunakan para siswa untuk memusatkan dan mempertahankan perhatian untuk mengendalikan kemarahan dan menggunakan waktu secara efektif. c. Sikap Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya. Informasi verbal d. Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal. Menurut teori, pengetahuan verbal ini disimpan sebagai jaringan proposisi-proposisi. e. Keterampilan motorik Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis. 1. Implikasi Teori Kognitif dalam PAI Teori kognitif merupakan suatu teori yang dimana bertumpu pada perkembangan daya serap otak atas informasi yang telah diterimanya. Oleh karena itu teori ini lebih sesuai digunakan dalam mata pelajaran Fiqih, Al-Quran dan Al-Hadis, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa teori ini dapat digunakan disetiap bidang pengetahuan apapun. Dalam kaitannya dengan materi Fiqih dan Al-Quran dan Al-Hadis penerapan teori kognitif ini menurut penulis sangat cocok digunakan dalam proses pembelajaran teori ini, memusatkan perhatian, banyak faktor yang mempengaruhi perhatian siswa. Dalam permulaan pelajaran, guru dapat membuat kontak mata atau berbuat sesuatu yang mengejutkan sisiwa dengan maksud untuk menarik perhatian siswa. mengidentifikasi apa yang penting, sulit, dan tidak bisa, belajar dapat dipertinggi jika guru membantu siswa merasa betapa pentingnya informasi baru dan cara motivasi,latihan,dan penguatan karakter siswa.Adapun perubahan tingkah laku yang baik dari peserta didik ialah sikap toleransi,interaktif dalam belajar,termotivasi dalam belajar,penghargaan dan sanksi. 2. Perbedaan antara aliran behavioristik dan aliran kognitif adalah: Teori behavioristik mementingkan pengaruh lingkungan, sedangkan teori kognitif lebih mementingkan apa yang ada dalam diri. Kedua dalam teori behavioristik mementingkan pada bagian-bagian, namun dalam teori kognitif mementingkan keseluruhan. Ketiga pada teori behavioristik mengutamakan peran reaksi, dan pada teori kognitif menguatkan fungsi kognitif. Keempat dalam teori belajar behavioristik hasil belajar terbentuk secara mekanis, dalam teori kognitif terjadi kesinambunagan dalam diri.Kelima teori behavioristik dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, dan teori kognitif tergantung pada saat itu. Keenam teori behavioristik mementingkan pembentukan kebiasaan, dan pada teori kognitif mementingkan terbentuknya struktur kognitif. Ketujuh pada teori behavioristik dalam memecahkan masalah dilakukan dengan cara trial and eror, sedangkan pada teori kognitif untuk memecahkan masalah didasarkan kepada insight. NO TEORI BEHAVIORISTIK TEORI KOGNITIVISME 1 mementingkan pengaruh lingkungan mementingkan apa yang ada dalam diri 2 mementingkan pada bagian-bagian, mementingkan keseluruhan 3 mengutamakan peran reaksi menguatkan fungsi kognitif 4 hasil belajar terbentuk secara mekanis terjadi kesinambunagan dalam diri 5 dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu tergantung pada saat itu 6 mementingkan pembentukan kebiasaan mementingkan terbentuknya struktur kognitif 7 memecahkan masalah dilakukan dengan cara trial and eror memecahkan masalah didasarkan kepada insight aspek penguatan, motivasi, rangsangan dan Latihan-latihan dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Written by MUHAMAD MUHALASIN dalam MATERI TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN PADA PPG AKIDAH AKHLAK 2022 DARING UIN SAIZU PURWOKERTO

MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN DALAM K13

A.
1. Pengertian Model Pembelajaran Menurut Joice & Wells, model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam implementasi pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk mencapat tujuan belajar Sedangkan menurut Arends dalam Trianto, model pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. 2. Jenis-jenis Model Pembelajaran Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun tentang Standar Proses, model pembelajaran yang diutamakan dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah a. Model pembelajaran Inkuiri (Inquiry Based Learning), Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. b. Model pembelajaran Discovery (Discovery Learning), Model pembelajaran Discovery Learning mengarahkan siswa untuk memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005: 43). c. Model pembelajaran berbasis projek (Project Based Learning), Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning atau PjBL)) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/ kegiatan sebagai inti pembelajaran. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan investigasi dan memahaminya. d. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching, Learning) Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi konstruktivistik. Filosofi ini berasumsi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. e. Model pembelajaran berbasis permasalahan (Problem Based Learning). Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) merupakan sebuah model pembelajaran yang menyajikan berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari peserta didik (bersifat kontekstual) sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. 3. Langkah Pemilihan Model Pembelajaran a. Menciptakan stimulus/ rangsangan (Stimulation) Kegiatan penciptaan stimulus dilakukan pada saat siswa melakukan aktivitas mengamati fakta atau fenomena dengan cara melihat, mendengar, membaca, atau menyimak. b. Menyiapkan pernyataan masalah (Problem Statement) Setelah dilakukan stimulasi, langkah selanjutnya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (Syah, 2004: 244). c. Mengumpulkan data (Data Collecting) Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan dalam rangka membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). d. Mengolah data (Data Processing) Menurut Syah (2004: 244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. e. Memverifikasi data (Verification) Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan sebelumnya dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004: 244). f. Menarik kesimpulan (Generalization) Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004: 244). B. Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) TPACK adalah sebuah framework (kerangka kerja) dalam mendesain model pembelajaran baru bagi guru atau calon guru dengan menggabungkan tiga aspek utama yaitu teknologi, pedagogi dan konten/materi pengetahuan. Selain penggunaan teknologi sebagai media belajar, dalam framework TPACK, pedagogi adalah aspek penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran. Pedagogi bukan saja bagaimana mengembangkan seni-seni dalam mengajar, atau mendesain kelengkapan instrumen-instrumen proses dan penilaian dalam pembelajaran, namun dituntut juga memahami siswa secara psikologis dan biologis. Dalam pemikiran secara pedagogis ini, akhirnya ada sebuah penekanan bahwa guru yang berhasil bukanlah guru yang hanya bisa menjadikan siswanya pintar seperti dirinya, namun lebih dari itu yakni berhasil membantu siswa dalam menemukan dirinya sendiri. Minat, bakat serta karakter peserta didik akhirnya harus dipahami oleh seorang guru. Konten pengetahuan (Content knowledge) pada kerangka kerja TPACK, adalah elemen dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru sesuai disiplin keilmuannya. Untuk meningkatkan content knowledge, latar belakang pendidikan sangatlah penting, selain itu guru tidaklah cukup hanya mengandalkan text book semata, namun perlu didukung dengan men-update informasi terkini bidang keilmuan terkait yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga jurnal penelitian terpercaya. TPACK merupakan theoretical framework yang merupakan pengembangan dari Pedagogical Content Knowledge (PCK). Pedagogical Content Knowledge (PCK) pertama kali digagas oleh Shulman pada tahun 1986. Menurut Shulman (1986), seorang guru harus menguasai Pedagogical Knowledge (PK) dan Content Knowledge (CK). Perpaduan PK dan CK tersebut berarti seorang guru tidak hanya harus menguasai konten/materi tetapi juga pedagogi dalam menciptakan pembelajaran. Menurut Shulman (1986), CK meliputi pengetahuan konsep, teori, ide, kerangka berpikir, metode pembuktian dan bukti. Sedangkan PK berkaitan dengan cara dan proses mengajar yang meliputi pengetahuan tentang manajemen kelas, tugas, perencanaan pembelajaran dan pembelajaran siswa. Selanjutnya, Hurrel (2013) mendeskripsikan Pedagogical Content Knowledge (PCK) sebagai hubungan antara pengetahuan dasar C. Metode Pembelajaran 1. Pengertian Metode Pembelajaran Menurut Sudjana dalam Nur Khasanah, metode mengajar adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Metode pembelajaran juga diarikan sebagai cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau ditentukan (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011: 56). 2. Jenis-jenis Metode Pembelajaran K13 Dalam beberapa literatur, metode pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 dan sejalan dengan konsep PAIKEM terdiri dari: a. Metode Examples non Examples, yaitu metode mengajar yang menginstruksikan pada para siswa menganalisis gambar secara berkelompok lalu mendiskusikan hasilnya. b. Metode Picture and Picture, yaitu metode mengajar yang meminta siswa untuk mengurutkan gambar berseri yang disusun secara acak, dan sambil mengurutkan siswa diminta untuk memaparkan alasan pengurutannya c. Metode Numbered Heads Together, yaitu metode yang terdiri dari tugas yang diberi nomor. Tujuan metode ini adalah agar dipelajari oleh siswa yang mendapatkan nomor tersebut dalam kelompok yang berbeda. d. Metode Cooperative Script, yaitu metode Naskah Kooperatif yang mengajak peserta didik bekerja berpasangan dan bergantian untuk menjadi pembicara dan pendengar. e. Metode Jigsaw, yaitu metode pembelajaran yang membagi siswa ke dalam beberapa tim, dan masing-masing anggota tim menjadi ahli untuk kemudian membahas sesuatu berdasarkan keahliannya. f. Metode Mind Mapping, yaitu metode pembelajaran dimana guru memberikan permasalahan kepada siswa, kemudian siswa membuat peta konsepnya dan mencari solusi atas permasalahan tersebut 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Pembelajaran Metode mengajar atau pembelajaran dipilih oleh guru dengan tujuan untuk memudahkan dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode pembelajaran, yaitu: a. Tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran adalah faktor penentu utama dalam memilih metode pembelajaran, karena dari tujuan inilah bisa diketahui apakah tujuan pembelajaran bersifat kognitif, afektif, dan psikomotorik. b. Materi pembelajaran. Materi pembelajaran akan menentukan metode apa yang akan digunakan untuk menyampaikan pesan kepada siswa. c. Karakteristik siswa. Salah satu faktor siswa yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode mengajar adalah usia, tingkat kecerdasan, minat, motivasi, dan kondisi fisik siswa. d. Karakteristik Guru. Karakteristik guru yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode mengajar adalah kondisi fisik dan kompetensi yang dimiliki guru; e. Media pembelajaran. Faktor media yang harus dipertimbangkan oleh guru adalah ketersediaan media pembelajaran yang ada, karena pemilihan metode akan menentukan pula media apa yang dibutuhkan. f. Lingkungan. Faktor lingkungan yang harus dipertimbangkan oleh guru dalam memilih metode mengajar adalah lingkungan alam, cuaca, dan lingkungan sosial dimana proses pembelajaran dilakukan

KONSEP PEMBELAJARAN DALAM KURIKULUM 2013

A. Karakteristik Kurikulum 2013 1. Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik. 2. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana, selanjutnya peserta didik menerapkan ilmu yang di dapat dari sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar. 3. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik, sehingga dapat menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat. 4. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 5. Kompetensi tertuang dalam bentuk kompetensi inti kelas yang tercantun lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran. 6. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, selanjutnya semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan, sehingga dapat mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti. 7. Kompetensi dasar berkembang pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar matapelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal). B. Pengertian dan Hubungan SKL, KI- KD, indikator dan tujuan pembelajaran Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kriteria ini diharapkan dapat dicapai setelah menyelesaikan masa belajarnya di satuan pendidikan pada suatu jenjang pendidikan. SKL merupakan acuan utama dalam pengembangan Kompetensi Inti (KI), selanjutnya KI dijabarkan ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Rumusan SKL tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permendikbud RI) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah Berdasarkan PP No. 32 Tahun 2013, Kompetensi Inti (KI) merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik pada setiap tingkat kelas. Artinya ia merupakan operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki peserta didik pada setiap tingkat kelas atau program yang menjadi dasar pengembangan KD. KI mencakup sikap (spiritual dan sosial), pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi Inti harus menggambarkan kualitas yang seimbang antara pencapaian hard skills dan soft skills. KI berfungsi sebagai pengintegrasi muatan pembelajaran, mata pelajaran atau program dalam mencapai SKL sebagai wujud dari prinsip keterkaitan dan kesinambungan Berdasarkan PP No. 32 Tahun 2013, kompetensi inti merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik pada setiap tingkat kelas atau program yang menjadi landasan pengembangan kompetensi dasar Kompetensi Dasar (KD) merupakan kemampuan dan materi pembelajaran minimal yang harus dicapai peserta didik untuk suatu mata pelajaran pada masing-masing satuan pendidikan yang mengacu pada kompetensi inti. Kompetensi Dasar bisa dipahami juga sebagai sejumlah kemampuan minimal baik sikap, pengetahuan, maupun keterampilan yang harus dikuasai peserta didik pada suatu mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator pencapaian kompetensi. Rumusan KI dan KD tertuang dalam: Permendikbud RI Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran Pada Kurikulum 2013 Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Berikut ini adalah contoh rumusan KI-KD untuk kelas VI SD/MI bidang studi PAI. C. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kurikulum 2013 Dengan adanya perubahan pada Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian, maka prinsip pembelajaran yang digunakan kurikulum 2013 adalah: 1. Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu 2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis pada aneka sumber belajar 3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah 4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi 5. Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu; 6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi; 7. Dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif; 8. Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hard skills) dan keterampilan mental (soft skills); 9. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat; 10. Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani); 11. Pembelajaran yang berlangsung di rumah, sekolah, dan masyarakat; 12. Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas; 13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; 14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik D. Langkah-langkah Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 Dalam standar proses, Langkah-langkah pembelajaran dalam kurikulum 2013 terdiri dari 3 kegiatan, yaitu: 1. Perencanaan Pembelajaran Ada beberapa dokumen yang harus dipersiapkan dalam kegiatan perencanaan pembelajaran, diantaranya: a) Silabus Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2. Pelaksanaan Pembelajaran a) Kegiatan Pendahuluan b) Kegiatan Inti c) Kegiatan Penutup 3. Penilaian Pembelajaran Penilaian atau evaluasi pembelajaran dalam kurikulum 2013 menggunakan pendekatan otentik, yaitu pendekatan penilaian yang menghendaki peserta didik menampilkan sikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pembelajaran dalam situasi yang sesungguhnya (dunia nyata). Ada beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan oleh pendidik sesuai dengan kompetensi yang ingin diukurnya. E. Perubahan Kurikulum 2013 Berdasarkan update tahun 2017, ada sembilan poin perubahan kurikulum 2013 dan mulai bulan Juli 2017 diberlakukan secara nasional, perubahan tersebut adalah: 1. Nama kurikulum menjadi Kurikulum 2013 Edisi Revisi yang berlaku secara Nasional 2. Penilaian sikap KI 1 dan KI 2 sudah ditiadakan di setiap mata pelajaran, kecuali hanya pada penilaian bidang studi PAI dan PPKN ; 3. Jika ada 2 nilai praktik dalam 1 KD , maka yang diambil adalah nilai yang tertinggi. Penghitungan nilai keterampilan dalam 1 KD ditotal (praktek, produk, portofolio) dan diambil nilai rata2. untuk pengetahuan, bobot penilaian harian, dan penilaian akhir semester itu sama; 4. Pendekatan scientific 5M bukanlah satu-satunya metode saat mengajar dan apabila digunakan maka susunannya tidak harus berurutan; 5. Silabus kurtilas edisi revisi lebih ramping hanya 3 kolom, yaitu KD, materi pembelajaran, dan kegiatan pembelajaran; 6. Perubahan terminologi ulangan harian menjadi penilaian harian, Ujian Akhir Semester (UAS) menjadi Penilaian Akhir Semester untuk semester 1 dan Penilaian Akhir Tahun untuk semester 2. Kegiatan Ujian Tengah Semester (UTS) sudah tidak ada lagi karena langsung ke penilaian akhir semester; 7. Dalam RPP yang dicatumkan adalah Tujuan, proses Pembelajaran, dan penilaian, materi dan metode pembelajaran tidak perlu disebutkan, tetapi cukup dibuat dalam bentuk lampiran berikut dengan rubrik penilaian (jika ada); 8. Skala penilaian menjadi 1-100. Penilaian sikap diberikan dalam bentuk predikat dan deskripsi; 9. Tes remedial diberikan untuk siswa yang nilainya kurang, setelah diberikan pembelajaran ulang. Nilai Remedial adalah nilai yang dicantumkan dalam hasil belajar. F. Menata Kelas Pembelajaran Aktif dan Dinamis Dalam rangka mewujudkan desain belajar siswa, maka pengaturan ruang kelas dan siswa (setting kelas) merupakan tahap yang penting dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Karena itu, kursi, meja dan ruang belajar perlu ditata sedemikian rupa sehingga dapat menunjang kegiatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik, yakni memungkinkan hal-hal sebagai berikut: 1. Mobilitas: peserta didik dikondisikan ke bagian lain dalam kelas. 2. Aksesibilitas: peserta didik mudah menjangkau sumber belajar yang tersedia. 3. Komunikasi: peserta didik mudah berkomunikasi secara intensif kepada seluruh teman di kelas. 4. Interaksi: memudahkan interaksi antara guru dan peserta didik maupun antar peserta didik. 5. Dinamika: kelas dinamis, dibuktikan dengan dinamika kelompok, dinamika individu, dan dinamika pembelajaran. 6. Variasi kerja peserta didik: memungkinkan peserta didik bekerjasama secara perorangan, berpasangan, atau kelompok. Model tempat duduk : U, V, Lingkaran dan kelas tradisional

MODEL PEMBELAJARAN HUMANISTIK

a. Tulislah 5 konsep dan deskripsinya yang Anda temukan di dalam Bahan Ajar. 1. Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup anak didik. Dengan belajar anak didik melakukan perubahan-perubahan kualitatif, sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup anak didik lain adalah hasil dari belajar (Soemanto, 2006). 2. Tujuan belajar adalah: (1) Belajar bertujuan mengadakan perubahan dalam diri antara lain perubahan tingkah laku. (2) Belajar bertujuan mengubah kebiasaan yang buruk menjadi baik. (3) Belajar bertujuan mengubah sikap dari negatif menjadi positif, tidak hormat menjadi hormat, benci menjadi sayang dan sebagainya. (4) Dengan belajar dapat memiliki keterampilan. (5) Belajar bertujuan menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu (Syarifuddin, 2011). 3. Hal mendasar dalam pendidikan humanistik adalah keinginan untuk mewujudkan lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari kompetisi yang hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan ketakutan gagal. 4. Prinsip-prinsip pendidik humanistik: (1) Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika terkait dengan kebutuhan dan keinginannya. (2) Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus termotivasi dan merangsang diri pribadi untuk belajar sendiri. (3) Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relevan dan hanya evaluasi belajar diri yang bermakna. (4) Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat penting dalam sebuah proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif. (5) Pendidik humanistik menekankan pentingnya siswa terhindar dari tekanan lingkungan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Dengan merasa aman, akan lebih mudah dan bermakna proses belajar yang dilalui. 5. Model pembelajaran humanistik: (1) Humanizing of the classroom, model ini bertumpu pada tiga hal, yakni menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. (2) Active learning, merupakan strategi pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan kompetensinya. Selain itu, belajar aktif juga memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan analisis dan sintesis serta mampu merumuskan nilai-nilai baru yang diambil dari hasil analisis mereka sendiri (Baharun, 2015). (3) Quantum learning, merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secarabaik, maka mereka akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya dengan hasil mendapatkan prestasi bagus. (4) The accelerated learning, merupakan pembelajaran yang berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Dalam model ini, guru diharapkan mampu mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI) (Arbayah, 2013). b. Lakukan evaluasi dan refleksi atas pemaparan materi pada Bahan Ajar. Lagi-lagi materinya super membuat cara memahaminya sedikit sulit, karena harus dibaca dan dipahami dengan serius. Kondisi Siswa sesuai materi di atas sudah harusnya mulai diberi keleluasaan dalam belajar, bila ini di pahami oleh semua guru dan pihak sekolah, kdepan aka nada hasil yang maksimal. c. Tulislah kelebihan dan kekurangan terkait dengan penjelasan materi pada Bahan Ajar. Mengedepankan demokratis, partisipatif dialogis, dan humanis Pengujian yang tidak mudah d. Kaitkan isi Bahan Ajar dengan nilai moderasi beragama. Teori humanistik teori yang mengedepankan demokrasi, demokrasi dan nilai moderasi beragama ada kaitannya satu sama lain, karena menyangkut kehidupan orang banyak, dari asal usul yang berbeda.
Tugas Materi PPG AKIDAH AKLAK 2022 MATA KULIAH TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Strategi Membangun Citra Merek di Swasta Lembaga Pendidikan Islam

1. PENDAHULUAN Pada awalnya istilah brand image digunakan dalam dunia industri dan sebagian besar terkait dengan suatu produk industri. Kemudian karena arus globalisasi, citra merek dimaknai sebagai representasi atau gambaran identitas atau wujud individu, objek atau organisasi/lembaga (Sutojo 2010). Sudut pandang lain yang dielaborasi oleh Sandra Oliver bahwa citra merek adalah praduga; anggapan yang muncul dalam diri konsumen ketika mengingat suatu produk tertentu (Oliver 2006). Pola pikir tersebut dapat terjadi dalam bentuk pemikiran atau kesan tertentu yang terkait dengan suatu merek atau produk. Bentuk pikiran seseorang kemudian dikonseptualisasikan berdasarkan klasifikasi yang tepat berdasarkan kapasitas, memori, dan keunikan produk tertentu. Jadi, jenis asumsi itu bisa berupa atribut, manfaat, dan sikap. Sedangkan yang dimaksud dengan membangun brand image adalah bagaimana membentuk cara pandang terhadap lembaga pendidikan baik secara eksternal maupun internal melalui kegiatan dan langkah yang terukur (Mahfuzhah 2018). Dalam bidang pendidikan, citra merek merupakan suatu bentuk kesan yang digambarkan oleh konsumen yang terdiri dari masyarakat, orang tua siswa dan pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari pelayanan di bidang pendidikan. Dengan demikian, atribut pelayanan yang dimaksudkan dalam pendidikan adalah pelayanan yang diberikan oleh sekolah dalam bentuk proses belajar mengajar. Sedangkan atribut produk merupakan hasil pelayanan lembaga pendidikan kepada peserta didik. Oleh karena itu, ada kesan produk yang dibangun oleh label citra baik atau buruk. Berasal dari citra yang baik maka akan tercipta pemahaman publik, kepercayaan publik, dukungan publik, dan kerjasama publik (Bonar 1993). Citra merek merupakan hasil budaya sekolah yang bersumber dari nilai-nilai yang menjadi pedoman dan tolak ukur dalam institusi pendidikan. Secara historis, istilah “merek” berasal dari aktivitas yang sering dilakukan oleh para peternak sapi di Amerika dengan memberikan label pada ternak mereka untuk memudahkan identifikasi kepemilikan sebelum dijual ke pasar (Riezebos 2003), (Sadat 2009), dan (Servier 2000). Dalam perkembangan selanjutnya, “merek” dimaknai sebagai indikator nilai yang ditawarkan kepada pelanggan, aset yang menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memperkuat kepuasan dan loyalitas mereka, dan sebagai alat ukur kualitas nilai yang ditawarkan (Kartajaya 2007). Pada akhirnya, “merek” berarti tanda tentang sumber produk untuk melindungi konsumen dan produsen dari pesaing yang mencoba merumuskan produk yang identik (Susanto 2004). Seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga pendidikan tentunya akan mendaftarkan dan mempercayakan lembaga pendidikan tersebut menjadi tempat mendidik anak-anaknya. Bahkan, mereka juga dapat mempengaruhi orang lain untuk menitipkan pendidikan anaknya kepada lembaga tersebut. Mengembangkan dan mempertahankan loyalitas sebagai perilaku dan sikap yang membentuk word of mouth marketing hanya dapat terjadi jika institusi mempertahankan nilai citra produk yang baik yang melekat di benak pelanggan. Soebagio dalam Admodiwiryo menjelaskan bahwa ada dua manfaat jika sebuah lembaga pendidikan menampilkan citra merek yang positif: pertama, konsumen akan mengembangkan sikap percaya yang tinggi; kedua, dapat menarik lebih banyak kerabat kepada anggota keluarga siswa (Admodiwiryo 2000). Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa “merek” adalah simbol yang digunakan sebagai penanda atau pembeda identitas yang dimiliki oleh institusi sebagai wujud eksistensinya (Išoraitÿ 2018). Dalam konteks lembaga pendidikan, brand biasanya diwujudkan dengan lambang dan nama sebuah organisasi pendidikan yang bertujuan sebagai identitas. Merek ini unik dan terspesialisasi yang membedakannya dari produk lain yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan serupa (Tjiptono 2005). Ruslan mengatakan bahwa citra merek adalah seperangkat keyakinan, ide, pemikiran, dan kesan masyarakat terhadap suatu objek tertentu (Ruslan 2017). Menurut Moore, citra merek adalah perasaan, kesan, atau konsepsi publik tentang suatu objek, institusi atau organisasi (Moore 2005) dan (Jefkins 2003). Oleh karena itu, citra merek sekolah dapat dikategorikan sebagai gambaran atau kondisi suatu lembaga pendidikan yang dapat memberikan kesan yang kuat kepada masyarakat terhadap sekolah tersebut; Oleh karena itu, pihak sekolah tidak dapat mengatur persepsi publik terhadap citra tersebut. Jadi, membangun citra merek bukanlah hal yang mudah karena komunikasi dan informasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tidak secara langsung mengubah perilaku seseorang. Pada titik ini, institusi diharapkan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap lingkungan atau objek tertentu. Secara berurutan, sekolah akan memperoleh citra merek baik positif maupun negatif di masyarakat (Juhji 2020). 2. TUJUAN BRAN IMAGE: Bertujuan untuk mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam swasta di tengah persaingan sekolah yang semakin menantang. 3. MANFAAT BRAN IMAGE : Manfaat jika sebuah lembaga pendidikan menampilkan citra merek yang positif: pertama, konsumen akan mengembangkan sikap percaya yang tinggi; kedua, dapat menarik lebih banyak kerabat kepada anggota keluarga siswa (Admodiwiryo 2000). 4. KELEMAHAN/MASALAH YANG ADA : a. Berdasarkan tuntutan tersebut, banyak pendidikan Islam lembaga belum memenuhi harapan masyarakat. b. Penilaian masyarakat terhadap madrasah sebagai Islam lembaga pendidikan cenderung menurun dan dianggap memiliki kualitas yang rendah (Fauzi 2016). Sehingga madrasah dianggap sebagai sekolah menengah pilihan setelah tidak diterima di sekolah umum c. Masalah utama Islam lembaga pendidikan berkaitan dengan faktor manajemen. d. Tata kelola berdampak pada rendahnya kualitas keislaman Indonesia lembaga pendidikan (Suryadi 2009). e. Faktor utama menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan Islam Indonesia meliputi: a. Penyelenggaraan pendidikan menekankan hasil yang tidak konsisten; b. Pelaksanaan pendidikan adalah dikelola secara terpusat – tidak secara holistik; c. Masyarakat partisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sangat terbatas (Usman 1997) (Rohiat 2010), d. Pendidikan Islam institusi tidak mengembangkan pendekatan yang efektif untuk masyarakat, e. Sebagian besar umat Islam lebih memilih sekolah lain karena jasa dan kualitas, f. Beberapa komunitas melakukannya belum sepenuhnya mengakui madrasah sebagai pendidikan modern (Indrioko 2105). f. Sebagian besar lembaga pendidikan tidak mengerti konsep itu dengan baik. Jadi, mereka kesulitan bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang memperoleh modal yang cukup besar, memiliki citra merek yang baik, dan telah diterima oleh masyarakat luas masyarakat. g. Namun fakta menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga pendidikan belum memahami konsep (membangun citra merek agar dapat bertahan dalam persaingan persaingan) tersebut dengan baik. Sehingga, mereka kesulitan bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang memperoleh modal besar, memiliki brand image yang baik, dan telah diterima oleh masyarakat luas. 5. SOLUSI KELEMAHAN/MASALAH: a. Peningkatan kualitas lembaga pendidikan Islam memerlukan keterlibatan aktif semua elemen di madrasah serta masyarakat luas sebagai konsumen pendidikan (Maujud 2017). Tanpa partisipasi masyarakat, lembaga pendidikan Islam akan dikelola secara terpisah dan sulit berkembang. Adanya partisipasi masyarakat merupakan ciri dari bentuk program layanan pendidikan (Pidarta 2004) b. Upaya peningkatan kualitas tersebut akan membentuk citra positif lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan yang berkualitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Memiliki budaya disiplin yang kuat, 2) Memiliki kurikulum yang relevan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, 3) Memiliki komunitas yang selalu menciptakan teknik pembelajaran yang kreatif, 4) Memiliki orientasinya pada keseimbangan antara pengetahuan dan soft skill, 5) Berorientasi pada pengembangan potensi siswa secara holistik (suryadi 2009). c. Konstruksi opini publik dapat dikembangkan berdasarkan rasa saling percaya, dan saling membutuhkan antara sekolah dan masyarakat. Nasution menjelaskan bahwa opini publik akan sangat memajukan lembaga pendidikan karena kritik, saran, ide, pemikiran publik menjadi masukan yang berharga bagi lembaga tersebut (Nasution 2006). d. Berikut nilai-nilai yang dapat diimplementasikan secara konsisten untuk menciptakan opini publik tentang keberadaan lembaga yang berkualitas. Aturan-aturan yang menjadi pedoman antara lain: 1) Mengutamakan pelayanan. 2) Berupaya memberikan kinerja terbaik. 3) Memberikan perhatian menyeluruh terhadap hal-hal yang menyeluruh bahkan sampai pada hal-hal tertentu. 4) Meminimalkan jarak dengan masyarakat. 5) Melakukan tindakan simpatik. Oleh karena itu, sangat penting bagi lembaga pendidikan untuk membangun citra merek agar dapat bertahan dalam persaingan persaingan. Ini adalah suatu keharusan untuk meningkatkan citra merek mereka dengan menggunakan konsep-konsep manajerial pemasaran modern. Sekolah diharapkan mampu melakukan perubahan dalam hal manajemen kenaikan pangkat. Hal itu dapat dicapai dengan mengembangkan hubungan yang produktif dengan masyarakat sekitar untuk mengembangkan kualitas mereka guna membangun eksistensi dalam persaingan lembaga pendidikan (Tam 2007) e. Ada empat komponen penting untuk membangun citra merek institusi seperti persepsi, kognisi, motivasi, dan sikap (Soemirat 2003). Persepsi berarti kemampuan seseorang untuk mengatur dan menginterpretasikan pola-pola stimulus di lingkungan (Atkinson 1991) Dengan memanfaatkan kemampuan mempersepsikan proses, terus mengembangkan citra dengan memberikan informasi kepada individu untuk memunculkan suatu keyakinan. Maka dari keyakinan tersebut kemudian timbul sikap pro dan kontra terhadap produk tersebut, yaitu terbentuknya citra positif atau negatif (Ardianto 2010). 6. ISI/ BAHASAN : Seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga pendidikan tentunya akan mendaftarkan dan mempercayakan lembaga pendidikan tersebut menjadi tempat mendidik anak-anaknya. Bahkan, mereka juga dapat mempengaruhi orang lain untuk menitipkan pendidikan anaknya kepada lembaga tersebut. Mengembangkan dan mempertahankan loyalitas sebagai perilaku dan sikap yang membentuk word of mouth marketing hanya dapat terjadi jika institusi mempertahankan nilai citra produk yang baik yang melekat di benak pelanggan. Soebagio dalam Admodiwiryo menjelaskan bahwa ada dua manfaat jika sebuah lembaga pendidikan menampilkan citra merek yang positif: pertama, konsumen akan mengembangkan sikap percaya yang tinggi; kedua, dapat menarik lebih banyak kerabat kepada anggota keluarga siswa (Admodiwiryo 2000). Ruslan mengatakan bahwa citra merek adalah seperangkat keyakinan, ide, pemikiran, dan kesan masyarakat terhadap suatu objek tertentu (Ruslan 2017). Menurut Moore, citra merek adalah perasaan, kesan, atau konsepsi publik tentang suatu objek, institusi atau organisasi (Moore 2005) dan (Jefkins 2003). Oleh karena itu, citra merek sekolah dapat dikategorikan sebagai gambaran atau kondisi suatu lembaga pendidikan yang dapat memberikan kesan yang kuat kepada masyarakat terhadap sekolah tersebut; Oleh karena itu, pihak sekolah tidak dapat mengatur persepsi publik terhadap citra tersebut. Jadi, membangun citra merek bukanlah hal yang mudah karena komunikasi dan informasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tidak secara langsung mengubah perilaku seseorang. Pada titik ini, institusi diharapkan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap lingkungan atau objek tertentu. Secara berurutan, sekolah akan memperoleh citra merek baik positif maupun negatif di masyarakat (Juhji 2020). Karena adanya layanan pendidikan yang tidak berwujud (Secundo 2010), konsumen biasanya mengamati indikasi tertentu untuk menilai kualitas layanan pendidikan. Citra Merek dalam Pemasaran Pendidikan Menciptakan citra merek yang positif di lembaga pendidikan bukanlah hal yang mudah. Bagi pengelola lembaga pendidikan dituntut untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang dapat membentuk brand image pada lembaga pendidikan tersebut. Selain itu, mereka harus membangun citra merek yang positif dari lembaga pendidikan dan memahami istilah penerapan bauran pemasaran yang sinergis (Gajic 2012). Bauran pemasaran dalam konteks pendidikan merupakan elemen yang sangat penting karena Mereka akan melihat kualitas kinerja guru, administrator, dan karyawan, infrastruktur, peralatan pendidikan, simbol yang digunakan oleh sekolah, dan biaya sekolah untuk membayar sekolah. Dengan demikian, komponen-komponen lembaga pendidikan harus terus memperbaharui kompetensinya. Tujuan utama dari proses pemutakhiran adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan, berkesinambungan, dan terpadu. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan tidak dalam satu kesatuan proses tetapi dilakukan berdasarkan peningkatan mutu pada masing-masing komponen pendidikan (Arbangki 2016). Citra Merek dalam Pemasaran Pendidikan Menciptakan citra merek yang positif di lembaga pendidikan bukanlah hal yang mudah. Bagi pengelola lembaga pendidikan dituntut untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang dapat membentuk brand image pada lembaga pendidikan tersebut. Selain itu, mereka harus membangun citra merek yang positif dari lembaga pendidikan dan memahami istilah penerapan bauran pemasaran yang sinergis (Gajic 2012). Bauran pemasaran dalam konteks pendidikan merupakan elemen yang sangat penting karena dapat dikombinasikan untuk menghasilkan strategi pemasaran guna memenangkan persaingan. Bisa juga sebagai alat promosi yang terdiri dari berbagai elemen program pemasaran yang akan diteliti, sehingga implementasi strategi pemasaran dan positioning dapat dilakukan dengan sukses. Ada tujuh faktor yang membentuk citra merek sebagai berikut: a. Kualitas; berkaitan dengan kualitas produk barang dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga, b. Terpercaya atau reliabel; berkaitan dengan pendapat atau kesepakatan yang dikembangkan oleh masyarakat tentang suatu produk atau jasa, c. Kegunaan atau manfaat; berhubungan dengan fungsi a produk atau layanan. d. Layanan; Hal ini berkaitan dengan tugas lembaga dalam melayani konsumen, e. Risiko; Hal ini berkaitan dengan besarnya akibat atau kerugian yang mungkin dialami oleh konsumen. f. Harga; berkaitan dengan besarnya biaya untuk belajar, g. Citra merek yang dimiliki oleh merek itu sendiri; misalnya berupa pandangan, kesepakatan, dan informasi terkait merek tertentu (Schiffman 2007). 7. KESIMPULAN : a. Branding citra memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan pengakuan institusi di masyarakat. Padahal, aspek tersebut sangat berpengaruh untuk mengembangkan keputusan orang tua dan siswa untuk memilih sekolah untuk mencapai proses belajar. Lebih lanjut, Chen menjelaskan bahwa brand image dianggap sebagai mitos sekolah oleh sebagian orang tua. Oleh karena itu, penelitian ini sejalan dengan kesimpulan yang diberikan oleh para peneliti sebelumnya. b. Brand image lembaga pendidikan merupakan gambaran simbol yang digunakan oleh lembaga pendidikan dengan bentuk yang berbeda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dan, brand image biasanya terbentuk dari curahan ide dan inovasi yang terus menerus dilakukan oleh lembaga pendidikan kepada masyarakat (Mundiri 2016). c. Citra merek sebagai seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki orang terhadap suatu objek. Sedangkan sikap dan tindakan seseorang terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh objek tersebut. Artinya keyakinan, ide, dan kesan seseorang memiliki pengaruh yang besar terhadap sikap dan perilaku serta kemungkinan tanggapan (Kotler, B2B Brand Management 2006). d. Seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga pendidikan tentunya akan mendaftarkan dan mempercayakan lembaga pendidikan tersebut menjadi tempat mendidik anak-anaknya. Bahkan, mereka juga dapat mempengaruhi orang lain untuk menitipkan pendidikan anaknya kepada lembaga tersebut. Mengembangkan dan mempertahankan loyalitas sebagai perilaku dan sikap yang membentuk word of mouth marketing hanya dapat terjadi jika institusi mempertahankan nilai citra produk yang baik yang melekat di benak pelanggan. e. Contoh dari penerapan image branding, selalu 10 besar, Selain aspek akademik, proses promosi institusi dilakukan dengan mengadakan berbagai kegiatan, seperti: event dan lomba kreativitas siswa SD, seminar kompetensi guru, inhouse training, bazar, menghadirkan tokoh nasional, publikasi karya ilmiah, prestasi sekolah di media cetak dan elektronik, pengembangan web kelembagaan, penggunaan platform media sosial sebagai media komunikasi seperti: facebook, instagram, blog, youtube, dll. Semua kegiatan tersebut bertujuan untuk mengelola harapan masyarakat terhadap kemajuan siswa dan memberikan informasi berupa bukti nyata hasil kegiatan belajar mengajar, sehingga masyarakat memiliki kepercayaan yang kuat terhadap sekolah. f. Program penghafalan Al-Qur'an (Tahfidzul Quran) sebagai keunggulan dan karakter sekolah dibandingkan dengan sekolah lain. Dalam program tahfidz, santri diharapkan mampu menghafal minimal 15 juz. Selain itu, penguasaan buku-buku tradisional/klasik Islam, soft skill, kegiatan ekstrakurikuler, dan kewirausahaan menjadi keunggulan lain yang membedakan sekolah tersebut. Strategi promosi dilakukan hingga masyarakat dapat mengenal dan mengenal kredibilitas lembaga pendidikan Islam tersebut, sehingga menjadi pilihan pertama untuk menuntut ilmu, bukan menjadi pilihan kedua setelah sekolah umum. Berdasarkan kegiatan ini, lembaga akan memiliki karakter yang kuat dan unik sehingga dapat memberikan kesan positif kepada masyarakat.