MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN
(MASYAQOT)
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Program Strata Satu Fakultas Tarbiyah
Semester III / E
Mata Kuliah : Kaidah Fiqih
Dosen
H. Muhammad Bahrul Ilmie, S.Ag., M.Hum.
Disusun Oleh
Muhamad Muhlasin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadhirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyusun tugas makalah yang berjudul “MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN (MASYAQOT)” ini dengan lancar.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fiqih pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAINU) Kebumen, Semester III, Program S1, Pendidikan Agama Islam Tahun Akademik 2010/2011
Terima kasih kami sampaikan pada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini, khususnya terima kasih kami sampaikan pada Bapak H. Muhammad Bahrul Ilmie, S.Ag., M.Hum., selaku Dosen pengampu mata kuliah Kaidah Fiqih.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi kita khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.
Kebumen, Januari 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN (MASYAQOT) 4
1. Dasar Kaidah 4
2. Definisi Masyaqqat, Rukhsoh, dan ‘Azimah 7
3. Karakter dan Kwalifikasi Masyaqot 10
4. Metode Taqribi 11
5. Bentuk Rukhsoh (Toleransi) dan Obyek serta Hukum-hukunya 13
6. Aplikasi Rukhsoh 26
a. Dalam Mu’amalah 26
b. Dalam Ibadah 29
c. Dalam Pernikahan, dll 30
7. Kaidah-Kaidah Pendukung (Senada) 33
DAFTAR ISI 37
BAB I
MEMAHAMI KAIDAH ASASIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI YANG MENYULITKAN
(MASYAQOT)
Kaidah Yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan Teks Kaidah
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّسْيِرَ
“Kesukaran itu dapat menarik kemudahan.”
(as-suyuthi, TT:55)
1. Dasar Kaidah
a. Al-Qur’an
Dalam surat al-baqarah ayat 185 disebutkan :
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ اليُسْرَولايُريدُ بكُمُ العُسْرَ
“Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai kesulitan bagimu sekalian”
Ditilik dari ashab al-nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang yang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Manun menurut kalangan Mufassirin, jika ditilik dari aspek universalitas teks (‘umum al-lafzhi) pesan mendasarnya, maka ayat di atas berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang yang sakit atau musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.
Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan :
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدَّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian sesuatu kesempitan dalam urusan agama”
Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah swt. berfirman :
مَايُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”
Secara etimologi (bahasa), lafazh haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti “kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut Mufassirin, kalimat haraj pada ayat di atas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
Disamping itu, Allah swt. dalam QS. Al-Hajj di atas juga mencantumkan lafadz “fi al-Din” yang secara eksplisit menunjukkan bahwa kesulitan yang dimaksud adalah setiap kesulitan yang timbul dalam kerangka keagamaan (baca : syariat). Dengan demikian, peniadaan kesulitan dalam Islam merupakan aspresiasi Syari’ (Allah swt atau Nabi Muhammad saw.) terhadap dialektika hubungan umat yang tidak lepas dari beraneka ragam bentuk kesulitan. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa formulasi hukum ritual dan sosial umat Islam telah dimodifikasi dalam format yang mudah,fleksibel dan penih toleransi. Berbeda dengan umat-umat terdahulu (pra Islam) yang kontruksi syaratnya apalagi dibandingkan dengan syariat Islam seringkali teramat berat, ketat, dan kurang, aspresiatif terhadap karakteristik dan kondisi psikologis manusia.
Contoh paling sederhana adalah cara bersuci kaum Bani Israil, dimana anggota tubuh yang terkena najis yang dipotong. Bandingkan dengan Islam yang cara bersucinya cukup menggunakan air. Contoh lain seperti cara bertaubat mereka harus dilakukan dengan bunuh diri. Tidak ada jalan lain untuk menebus kesalahan atau dosa selain mati.
Formulasi hukum yang dibanding dengan syariat Nabi saw. terlihat “kurang manusiawi” ini yang nampak dari cara kaum Bani Israil memperlakukan orang-orang yang melakukan kesalahan, dimana aib atau kesalahan orang ini akan ditulis di keningnya atau di pintu rumahnya. Sebuah stigmatisasi yang tidak dikenal dalam formulasi hukum Islam.
Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah QS. al-Nisa ayat 28:
يُرِيدُ اللهُ أنْ يُخَفَّفَ عَنْكُمْ
“Allah mencintai kemudahan bagi kaum sekalian”.
Dimensi lain dari kemudahan (takhfif) yang tersirat pada ayat terakhir ini,menurut Syaikh Yasin al-Fadani, merupakan upaya Islam untuk memberi kebaikan, keringanan, dan keutamaan kepada umat. Syariat Nabi Muhammad saw. Selain itu, keringanan tersebut menjadi titik pembeda (al-fariq) antara syariat Nabi Muhammad saw. dengan bangunan hukum kaum Bani Israil.
b. Al-Hadits
Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah :
انَّمابُعِثتُم مَيْسِّرِيْنَ ولم تُبْعَثُوامُعَسِّرِينَ (رواه الشيخان)
“Kalian semua (kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw.) diutus untuk memberi kemudahan ; tidak untuk menyulitkan” (H.R. Bukhari-Muslim)
Atau hadits riwayat Imam Ahmad ra.:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنَّ دِينَ اللهِ يُسْرٌ, ثَلاَثًا
“Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah.” (kata-kata itu) diucapkan tiga kali.
Serta hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim :
مَاخُيَّرَ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أمْرَينِ الاّ اخْتَارَ أيسَرَهُمَامَالَم يَكُنْ إثْمَا
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah dan ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.
Lalu hadits yang berbunyi :
يَسِّرُوا ولاتُعَسِّرُوا
“Pemudahlah dan jangan menyulitkan”
Maksud dari agama mudah (al-sa,hah) dalam redaksi hadits terakhir ini, menurut al-Munawi adalah agama yang tidak membebani dosa dan tidak memberatkan umatnya yang sedang menghadapi kesulitan. Dan agama yang demikian itu, tambah al-Munawi, tidak lain adalah Islam.
Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqih : al-masyaqqah tajlib al-taysir oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besaran apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringan hukum. Bahkan al-Syab’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt .
2. Definisi Masyaqqat, Rukhsah dan ‘Asimah
a. Masyaqqat
Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat dan yang searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syaa’ berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di dalam al-Qur’an terdapat lafazh yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat tujuh.
Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna. (1) Masyaqqah oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika seseorang manusia berusaha untuk terbang dianggap melakukan masyaqqag dalam pengertian pertama. (2) Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat. (3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan kesulitan yang tidak sampai keluar dari kebiasaan umum.(4) Masyaqqah yang dimaknai sebagai “melawan hawa nafsu”.
Untuk membedakan masyaqqah bisa bisa berpengaruh dalam tataran hukum, al-Syathibi memberikan sebuah batasan bahwa pekerjaan tersebut saking beratnya jika dilakukan terus-menerus, akhirnya justru membuatkan ditinggalkan secara total atau sebagian saja. Atau jika pekerjaan itu tidak menyebabkan salah satu bagian dari pelaku menjadi ‘tidak beres’. Kesulitan dalam sebuah pekerjaan berdampak terhadap hal-hal seperti ini termasuk bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.
Rasionalisasi Rukhsoh Dalam Islam
Allah SWT sebagai Musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasann-Nya itu mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syari’ah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentuntya syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Dalam pada itu, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni positif (wajib), cenderung ke positif (sunnah), netral, cenderung ke negatif (makruh) dan negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT memberikan hukum keharusan yang disebut dengan ‘Azimah yakni keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif.
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhshah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah seimbang dengan kebolehan melakukan rukhshah .
Allah SWT berfirman :
يُرِيْدُ اللهُ اَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الاِْ نْسَانُ ضَعِيْفًا (النساء٢٨)
Allah menghendaki keringanan pada kalian dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah. (QS. An-Nisa : 28)
لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًااِلاَّوُسْعَهَا (البقرة ٢٨٦)
Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan. (QS. Al-Baqarah :286)
Sabda Nabi SAW :
اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اِنْ يُؤْتِيَ رُخُصَهُ كَمَايُحِبُّ اَنْ يُؤْ تِيَ عَزَائِمَهُ (رواه احمدوالبيهق عن ابن عمر)
(Sesungguhnya Allah suka memberikan keringanan-keringananNya sebagaimana ia senang memberikan keharusan-keharusannya). (HR. Ahmad dan Baihaque dari Ibnu Umar)
Bagi asy-Suatibi, kesuliyan itu dihilangkan bagi orang yang mukalaf karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap ubadah, serta benci terhadap terhadap taklof, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakekatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua karena takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang lain itu termasuk ibadah pula .
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah di atas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan .
b. Rukhsoh dan ‘Azimah
Pada dasarnya, rukhsah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang.
Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adakah sutau formulasi hukum-hukum dasar syariat yang bersifat tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi,maupun reduksi.
Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti mengalami seperti sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi telah berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah .
3. Karakter dan Kualifikasi Masyaqat
Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum terbafi dalam dua pembagian pokok :
1) Masuaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis mengggugurkan kewajiban haji. Rasa capek dan takut dalam peperangan,tidak dapat menggugurkan kewajiban jihad. Masalahnya, masih mengutip al-Suyuthi, masyaqqah semacam itu sudah merupakan tabiat dasar dan koneskuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika telah melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek, dan sebagainya. Begitu pula kewajiban jihad tetap harus terlewati rasa lelah, takut, bahkan kematian pun bisa terjadi. Sehingga tidak logis jika kemudahan (rukshah) diterapkan dalam domain ini.
2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan :
Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syariat memberlakukan keringan hukum (rukhshah). Sebab, demikian tulisan al-Suyuthi, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya. Hal ini tentu akan membuat kewajiban itu sendiri menjadi terbengkelai. Dengan diberlakukannya rukhshah, maka kewajibab tersebut tetap bisa dilaksanakan.
Masyaqqah yang sangat ringan (adna’). Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah. Sebab kemashalatan ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah katagori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga kemashlahatan ibadah yang nyata-nyata punya nilai lebih harus lebih diutamakan.
Masyaqqah pertengahan (al-mutawasithah) yang berada pada titik iniversal diantara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan tertinggi (a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada katagori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.
Dalam catatan terakhir, al-Suyuthi menandaskan bahwa tidak ada ukuran pasti pada jenis masyaqqah yang mutawassitah ini. Satu-satunya cara mengetahuinya adalah melalui metode analisa-kualitatif (taqribi ; mendekatkan) .
4. Metode Taqribi
a. Klasifikasi Kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 katagori, yaitu :
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah kesilitan yang alami, di mana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat dihilangkan taklif, dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah untuk menggugurkan hukum qishas. Karena itu Ibnu Abdus Salam menyatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak menggugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak memperingan, karena jika hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa bila kesulitan itu berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhirat dapat mengikuti kadar kepayahan itu .
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, di mana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan memaksa diri dan memberatkan kehidupanya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah). Misalnya wanita selalu istihadlah, maka wudunya cukup untuk sholat wajib sedang untuk ibadah sunnah yang lainnya tidak diwajibkan, dan perbolehkan sholat khusus bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya .
b. Metode Taqribi
Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat mengerjakan, si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur beragam jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum.
Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf terendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf terendah, baik telah mencapai katagori mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat rukhshah.
Dalam uraian seputar metodologi ini, ‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam menandaskan bahwa, ibadah pasti mengandung masyaqqah (sekurang-kurangnya dipandang dari segi bahwa ia adalah taklif atau tuntutan. Jika kadar masyaqqah yang normal semakin bertambah tingkat kesulitannya karena ada masalah-masalah tertentu, maka di titik ini dia telah berada pada dan berubah menjadi level mutawassithah. Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambag masyaqqah sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.
Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain mengalami masyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa beratnya melakukan perjalanan .
5. Bentuk Rukhsah (Toleransi) dan Obyek serta Hukum-Hukumnya
a. Bentuk Rukhsah
1) Tipologi Beban dan Masyaqqot
Untuk mengetahui secara jelas masalah-masalah yang berhubungan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mujallaf, diperlukanlah adanya standarisai beban kewajiban yang harus dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan pada seberapa jauh masyaqqot yang ada pada pelaksanannya.
Dari faktor itulah, para ahli hukum Islam, seperti al-Syathibiy mengajukan pemikirannya tentang standarisasi Taklif dan Masyaqqot dengan menyatakan bahwa Taklif (beban kewajiban) itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipologi, yaitu :
1. Beban kewajiban dengan sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan, artinya beban kewajiban yang mengharuskan adanya syarat kemampuan orang dewasa dalam melakukan kehendaknya, hanya saja jika ada beban kewajiban yang tampaknya diluar kemampuan, maka sebenarnya hal ini merupakan suatu perintah dengan sebab-sebab yang mendahului atau akibat-akibat yang menyertainya, misalnya “Perintah untuk saling mencintai”. Yang dimaksudkan dengan perintah ini adalah suatu perbuatan yang bisa mendatangkan suatu kasih-sayang, bukan adanya cinta ansich, sebab hal ini diluar kemampuan manusia.
2. Beban kewajiban dengan sesuatu yang didalamnya mengandung suatu kesulitan, artinya hukum tidak menghendaki kesulitan. Maksudnya kesulitan yang timbul dari beban kewajiban tersebut tidak menjadi tujuan utama dari kewajiban tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya hal-hal sebagai berikut :
a. Al-qur’an dan al-Hadits secara ekplisit tidak menegaskan adanya paksaan.
b. Keberadaan beban kewajiban sebagai akibat adanya konsekensi untuk menghilangkan kesulitan atau masyaqqah.
c. Kesepakatan ‘ulama (ijma) menetapkan bahwa hukum Islam (syari’ah) itu sama sekali tidak bermaksud menjadikan perbuatan-perbuatan yang sulit sebagai suatu kewajiban.
Sekalipun demikian, hal seperti itu bukan berarti setiap kewajiban lepas begitu saja dari suatu kesulitan, sebab kesulitan adalah salah satu unsur yang memang didalam suatu kewajiban itu sendiri. Oleh sebab itu, kesulitan dapat diklasifikasikan menjadi dua tipologi, yaitu :
a. Al-masyaqqah idtirary, yaitu kesulitan yang merupakan konsekwensi logis dan tidak bisa dihindari dari suatu perbuatan dan kewajiban tertentu. Dan kesulitan ini merupakan kesulitan yang inhern, sebab kesulitan ini sama halnya dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh suatu pekerjaan seseorang dalam melengkapi kebutuhan hidupnya. Karena itulah kewajiban tersebut pasti mengandung kesulitan, tetapi sifatnya masih dalam batas kewajaran.
b. Al-Masyawwah al-Kharijy, yaitu kesulitan yang tidak memiliki hubungan apapun dengan kewajiban. Kesulitan ini memang tidak menjadi keinginan pelakunya dan juga bukan sebagai akibat dari suatu perbuatan, sebab adanya tidak disebabkan oleh kewajiban tersebut, tetapi keberadaannya bisa menpengaruhi atau memodifikasi kewajiban, seperti lapar, haus, dan sebagainya. Inilah yang menyebabkan munculnya “Rukhshah”
سِتَّةَ اَنْوَاعٍ كَمَاقَدْ رَسَمُوْا (١١٩) وَالشَّرْعُ تَخْفِيْفَاتُهُ تَنْقَسِمْ
تَحْفِيْفُ اِبْدَالٍ وَتَقْدِيْمٍ جَلِى (١١۰) تَخْفِيْفُ اِسْقَاطٍ وَتَنْقِيْصٍ يَلِى
تَخْفِيْفُ تَغْييْرٍ يُزَادُفَلْيُعَدْ (١٢١) تَخْفِيْفُ تَأْخِيْرٍ وَتَرْخِيْصٍ وَقَدْ
Dalam pandangan syara’, keringanan (Takhfif) itu, bisa diklasifikasikan menjadi 6 macam, yaitu :
1. Takhfifu isqothin, (keringanan dalam bentuk pengguguran)
2. Takhfifu tasqishin (keringanan dalam bentuk pengurangan)
3. Takhfifu ibdalin (keringanan dalam bentuk penggantian mendahuluan).
4. Takhfifu taqlimin (keringanan dalam bentuk mendahulukan)
5. Takhfifu ta’khirin (keringanan dalam bentuk pengakhiran)
6. Takhfifu tarkhisnin (keringan dalam bentuk kemurahan)
2) Tipologi Rukhshah (Takhfif)
Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam :
1. Takhfif Isqath, Rukhshah yang berbentuk pengguguran kewajiban. Seperti udzur sholat Jum’at, haji,umrah, dan jihad. Jika semua pekerjaan ini tidak dapat terlaksana akibat adanya udzur dengan ketentuan-ketentuan, maka syariat memberi toleransi dengan menghapus kewajiban-kewajiban tadi. Untuk sholat Jumat diganti dengan sholat zhuhur sebagaimana pada hari biasa.
2. Takhfif Tanqish, Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan. Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir. Sebelum menjadi musafir, ia harus melaksanakan shalat dzuhur atau ashar sebanyak 4 rakaat. Tapi setelah ia berada dalam perjalanan, maka kewajiban empat rakaat itu diperingan menjadi 2 rakaat dengan cara diqasrar.
3. Takhfif Ibdal, rukhsah berbentuk penggantian. Contohnya mandi dan wudhlu boleh diganti dengan tayamun. Kewajiban berdiri dalam shalat dapat diganti dengan duduk, duduk dalam shalat dapat diganti dengan shalat berbaring miring (idlthija), dan idltija dapat diganti dengan isyarat. Begitupula kewajiban memerdekakan budak dalam karafat yang bisa diganti dengan puasa 2 bulan, atau mengganti kewajiban puasa dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagian kewajiban haji dan umrah boleh diganti dengan kafarah. Semua bentuk “penggantian” di atas boleh dilakukan jika kita mengalami udzur, dan inilah uang dimaksud dengan takhfif ibdal.
4. Takhfif Taqdim, rukhshah dengan mendahulukan. Misalnya dalam jama; taqdim, dimana shalat ashar boleh didahulukan pada waktu zhuhur, shlat isya’ boleh dikerjakan pada waktu shalat maghrib ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hujan lebat.
5. Takhfif Ta’khir, rukhshah berupa penundaan aktivitas. Seperti shalat jama’ ta’khir.sholat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu shalat ashar, dan sholat maghrib pada sholat isya. Begitupun kewajiban puasa ramadhan boleh dilakukan pada bulan sesudahnya bagi orang yang sakit dan musafir. Boleh pula mengakhiri sholat bagi seseorang yang sedang menyelematkan nyawa orang lain, baik karena tenggelam, kebakaran, atau lainnya.
6. Takhfif Tarkhis, Rukhshah berbentuk peringatan. Seperti diperobolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makan yang najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan tenggorokan yang tersumbat. Semua jenis rukhshah semacam ini boleh dilakukan jika sudah menjadi keharusan atau menjadi satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan jiwa penderita. Hukum yang sama juga berlaku pada orang yang mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan terpaksa. Begitupun seseorang yang tayamun, walaupun hadatsnya belum hilang tapi ia diperbolehkan melaksanakan shalat, dan orang yang bersuci dengan memakai batu boleh melakukan shalat walaupun masih terdapat sisa-sisa kotoran yang tidak dapat hilang kecuali dengan memakai air.
Selain enam pemilahan di atas, al-Ala’i menambahkan satu lagi bentuk rukhshah yang diberi nama takhfif-taghyir (rukhshah keringanan-perubahan). Seperti perubahan runtutan gerak dalam shalat pada saat situasi yang menakutkan (shalat al-khawf), semisal shalat pada masa peperangan. Sholat dalam kondisi seperti ini boleh dilakukan sesuai kemampuan atau gerakan yang mungkin dilakukan, tanpa aturan pasti. Seperti kita maklumi, dalam kondisi bagaimanapun seorang muslim tetap berkewajiban mendirikan shalat, termasuk dalam keadaan perang.
Namun ulama lain mengatakan, rukhshah jenis ini termasuk katagori rukhshah tanqish (bagian ke-2), dengan argumen bahwa runtutan shalat khawf telah berkurang dari runtutan semula (al-nazhm al-ashl). Ada juga yang mengatakan termasuk katagori rukhshah tarkhish (bagian ke-6). Dengan latar belakang khilaf seperti ini, dapat disimpulkan bahwa pemilihan rukhshah tetap ada enam.
b. Obyek-Obyek
Setidaknya ada tujuh obyek yang bisa mendapat rukhsah. Ketujuh obyek tersebut adalah :
d. Pemaksaan (ikrah)
Kalangan Ushuliyyin cenderung berbeda pandangan dalam mendefinisikan ikhrah ini, ada yang mengatakan, ikhrah adalah menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidak diinginkannya. Ada yang mendefinisikan sebagai menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan tertentu, sekaligus memberikan ancaman yang sangat mungkin dijatuhkan, sehingga mukrah (orang yang dipaksa) mengalami ketakutan serta masih lagi definisi-definisi lain.
Terlepas dari khilaf di atas, al-Suyuthi memberikan tujuh syarat pokok ikrah yang bisa menyebabkan rukshah :
Pemaksa (mukrih) mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui saran kekuasaan atau gencarnya intimidasi.
Mukrah tidak mampu menolak dengan cara apapun, baik dengan melarikan diri, minta pertolongan orang lain, atau bahkan mengimbangi paksaan itu.
Mukrah mempunyai prasangka kuat bahwa jika dia menolak paksaan itu, maka makrih akan menjatuhkan ancamannya.
Obyek paksaan adalah sesuatu yang haram dikerjakan misalnya : membunuh, merampok, memukul orang lain, dan lain sebagainya.
Ancaman mukrih adalah sesuatu yang bisa dijatuhkan secara langsung. Artinya, ketika mukrih mengancam, seketika itu pula ia akan melaksanakan ancamannya, Sehingga, andaikata ancaman itu masih akan diwujudkan di lain waktu, satu hari lagi misalnya maka makrah tidak akan mendapat rukhshah.
Ancaman harus berupa sesuatu yang jelas atau ditentukan (mu’ayyam). Artinya, tidak abstrak, mengambang, atau mengada-ada.
Mukrah hanya bisa selamat dari ancaman jika mau melaksanakan paksaan mukrih.
Dengan terpenuhinya tujuh syarat diatas, bukan berarti secara otomatis mukrah akan mendapatkan rukhshah. Perlu diingat, ketujuh syarat di atas hanya terbatas pada obyek dan subyek paksaan (mukrah-mukrih). Ia belum menyentuh jenis-jenis paksaan. Padahal untuk menganalisa suatu khasus, syariat mendorong kita untuk tidak bersikap memahami sepotong-potong (parsial), melainkan harus melalui pengamatan yang komprehensif (menyeluruh). Tujuannya, agar produk hukum yang dihasilkan bisa lebih obyektif, proporsional, dan tentunya bisa dipertanggungjawabkan.
Karena itulah, kalangan Hanafiah secara kualitatif membagi jenis paksaan dalam dua bentuk, pertama ikrah mulja yakni sebuah paksaan dengan ancaman membunuh atau memotong salah satu organ tubuh, kedua ikrah ghayru mulja, yaitu suatu paksaan yang bukan berupa pembunuhan atau pemotongan tubuh. Jadi hanya berkisar antara pemukulan, pemenjaraan, perampasan harta benda, dan lain-lain.
Kedua macam ancaman di atas, masih mengutip Hanafiyah akan melahirkan predikat hukuman yang berbeda sesuai obyek paksaan. Paksaan untuk membunuh dan berzina misalnya, jelas haram dilakukan, karena perbuatan zina tidak ditolelir syariat. Berbeda kalau paksaan itu berupa perbuatan meminum khamr atau memakan bangkai. Hal itu justru wajib dilakukan.
Bisa juga obyek paksaan berupa rukhshah yang apabila dikerjakan, maka mukrah tidak mengandung dosa. Contohnya seseorang yang dipaksa mengucapkan kalimat yang berbau kufur, atau dipaksa mencuri barang orang lain. Kedua pekerjaan itu boleh dilakukan dan termasuk rukhshah, tapi dengan catatan, keduanya disertai ingkar dalam hati.
Berbeda dengan Hanafiah, kalangan Syafi’iyah secara lebih sederhana membagi ikrah hanya dalam dua jenis yang mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama, ikrah bi al-haq (paksaan yang dibenarkan. Seperti permasalahan hutang yang telah jatuh tempo. Orang yang berhutang (mukrah) boleh dipaksa untuk menjual barang-barang miliknya guna melunasi hutang-hutangnya. Paksaan semacam ini jelas wajib untuk dipenuhi, karena si mukrah memiliki kewajiban membayar hutang. Dan transaksi jual beli barang milik mukrah yang merupakan transaksi yang berdasar paksaan, hukumannya tetap sah.
Kedua, ikrar bi gair al-haq (paksaan tanpa alasan yang benar). Jenis paksaan kedua ini dibagi dalam dua katagori :
Ikrah yang haram, seperti paksaan untuk membunuh. Dalam situasi ini, si mukrah tidak boleh melaksanakan paksaan itu. Karena jika demikian, maka ia akan mendapat qishash (sangsi pembunuhan yang berupa alasan yang setimpal). Sebab pada dasarnya, ia belum lepas dari tuntutan hukum (taklif), walaupun statusnya adalah orang yang dipaksa.
Ikrah yang mubah (boleh). Misalnya dipaksa mencuri barang orang lain. Jika paksaan itu dilaksanakan, maka si mukrah akan terbebas dari jeratan hukum mencuri (had al-sariqah). Artinya, yang menanggung konsekuensi had pencurian adalah mukrih, sehingga ia harus di-had sekaligus mengembalikan barang yang dicuri. Jika barangnya tidak ada, maka harus memberi ganti rugi (dlaman).
Dari sekian kualifikasi ikrah diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa obyek paksaan berupa pembunuhan tetapharam dan tidak boleh dilakukan. Hal ini tidak lepas dari argumen dasar fiqh, bahwa perlindungan terhadap hak hidup setiap manusia (hifzh al-nafs) memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya, kita tidak boleh melindungi diri dengan mengorbankan orang lain. Nabi saw. Bersabda : la dlarara wa la dlirara. Atau dalam kaidah fiqh : al-dlarar la yuzalu bi al-dlarar. Begitu pula dengan paksaan melakukan zina. Syariat tidak memberikan rukhshah karena berlandaskan premis pokok, bahwa zina akan menimbulkan dampak yang lebih buruk di kemudian hari, yakni berupa kekaburan garis keturunan (nasl). Padahal perlindungan terhadap keturunan (hifzh as-nasl) merupakan salah satu unsur pokok terciptanya kemaslahatan universal fundamental (maslahah kulliyyah-asasiah), yang notabene adalah tujuan pokok diturunkannya syariat. Berbeda dengan paksaan meminum khamr, ternyata syara’ memberikan rukhshah, dengan syarat itu dilakukan demi mempertahankan nyawa, agar terhindar dari siksaan, juga harus dengan tidak menghendaki hakikat dari ucapan kufur itu (inkar bi al-qalb) artinya, kondisi hati tetap dalam keimanan kepada Allah. Dalam surat al_nahl : 106, Allah berfirman :
مَنْ كَفَرَ بِالله مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِهِ إِلَّامَنْ أَكْرِهَ وقَلْبُه مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setekah beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tenang..”
e. Lupa (nisyan)
Secara termologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum) untuk mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan memori yang sempat hilang.
Al-Karmani secara sederhana menyebutkan, nis-yan adalah hilangnya sesuatu yang telah diketahui daru daya lafal dan ingatan. Sedangkan sahwu adalah hilangnya hal-hal yang sudah diketahui dari daya hafal saja.
Dari dua definisi di atas, definisi versi al-Barmawi kiranya bisa dibuat perpaduan-kesimpulan (sintesa-konklusif). Menurut al-Barnawi, jika ingatannya bisa kembali dalam selang waktu yang tidak begitu lama, maka disebut sahwu. Tapi bila agak lama, dinamakan nis-yan.
Berkaitan dengan masalah rukhshah dan konsekuensi hukumnya, nis-yan masih dipilah dalam tiga perincian :
1. Jika bentuk nis-yan adalah meninggalkan sebuah kewajiban, maka kewajibab itu hakikatnya belum gugur. Dalam arti, jika ingatan telah pulih kembali, maka kewajiban itu harus dikerjakan kembali.
2. Apabila nis-yan-nya adalah melakukan sebuah larangan, maka akan menimbulkan dua perincian :
Jika berhubungan dengan perusakan harta benda orang lain, maka tidak berdosa, namun wajib membayar ganti rugi (kompensasi, dlaman)
Jika berhubungan dengan perusakan harta orang lain, maka tidak ada dosa ataupun ganti rugi.
3. Nis-yan terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, seperti hukuman dera (‘uqubah). Dalam kondisi seperti ini, nis-yan dianggap sesuatu yang syubhat (tidak jelas) sehingga dapat menggugurkan ‘uqubah tersebut.
c. Tidak tahu (jahl)
Kebodohan atau ketidaktahuan merupakan sesuatu yang sangat dilematis. Di satu sisi ia sangat dibenci syariat, disisi lain ia selalu ada pada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Karena itu, syariat tidak serta merta “memojokkan” semua bentuk kebodohan, melainkan memberi pemberian (sharing) yang proposional pada jenis-jenis kebodohan yang bisa mendapatkan rukhshah dengan yang tidak. Sehingga, kebodohan sebagai sebuah fenomena sosial yang bersifat alamiah, tidak “tersingkirkan” secara total, sekaligus tidak dibiarkan secara serampangan. Dengan kata lain, syariat ingin menempatkan ketidakmengertian seseorang pada posisi yang semestinya.
Karena itulah, syariat membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhshah dalam dua katagori berikut :
1) Ketidaktahuan terhadap hukum syariat karena baru masuk Islam (mu’allaf). Dalam kondisi ini, Islam memberikan toleransi yang sangat rasional dan manusiawi. Semisal seorang mu’allaf, ketika baru masuk Islam, tentunya belum begitu tahu akan agama yang baru dipeluknya secara rinci sehingga ketidaktahuan masih ditolerir syariat. Sedangkan bagi muslim yang telah lama memeluk agama Islam, diharuskan untuk menjalankan ritual agama sesuai dengan syarat-rukunnya. Tidak ada dispensasi sebagaimana mu’allaf.
2) Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti seorang muslim yang hidup di daerah terpencil, di hutan belantara, ataupun di sebuah komunitas besar, namun demikian diantara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama. Dalam kondisi seperti ini, syariat masih memberikan keluasan hukum kepadanya, karena ia memang berada dalam suatu keadaan yang sangat tidak mungkin dihindari. Berbeda halnya bagi kaum muslim yang hidup dan berkembang dalam komunitas yang religius dan kental dengan peradaban Islam, maka wajib melaksanakan ibadahnya sesuai konsep yang ditentukan syari’at, sebab kondisinya memang memungkinkan.
Bagi orang yang tidak tahu semacam itu, jika dia berada dalam kondisi serba sulit dan melakukan sebuah keleledoran, maka syariat masih memberi keringanan (rukhshah). Jika misalnya dia berbicara di saat shalat, maka tidak membatalkan shalatnya, karena ia memang tidak tahu bahwa berbicara di saat shalat bisa membatalkan.
d. Kondisi sulit (‘usr)
Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal itu tidak terjasi dalam dinamika keseharian saja. Tapi dalam pelaksanaan hukum syariat pun, dilema itu sering muncul tanpa diundang.
Contoh paling sederhana, ketika kita berjalan-jalan bertepatan dengan turunnya hujan, biasanya percikan air yang bercampur lumpur najis seringkali mengenai pakaian. Sementera kita sangat sulit menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris memenuhi badan jalan.
Sebagaimana telah kita maklumi, syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. ini tidak pernah bersikap ekstrim. Dalam arti, elastisitas hukum yang disesuaikan dengan konteks permasalahan adalah langgam kehadiran Islam. Islam tidak pernah bersikap kaku dalam menyikapi suatu persoalan. Ia selalu, memandang setiap persoalan dari berbagai persepekstif dan sudut pandang, sehingga hukum-hukum yang dicetuskannya selalu obyektif, koorperatif, dan komprehensif.
Nah, terkait dengan permasalahan diatas, Islam memang tetap menghukumi percikan yang mengenai pakaian itu sebagai sesuatu yang najis. Sebab ia berasal dari sesuatu yang najis. Namun demikian, karena percikan itu timbul dari keadaan yang sulit dihindari (al’urs) maka hukumnya di-ma’fuw (diampuni). Sehingga pakaian yang terkena najis itu tetap bisa digunakan untuk mendirikan shalat, misalnya.
Contoh lain adalah darah bisul, darah jerawat, darah orang lain, kotoran lalat, dan kotoran burung. Jika najis-najis itu mengenai tubuh dan timbul dari keadaan sulit (tidak disengaja mengenai tubuh kita), dan menurut standar ‘urf (umum) hanya sedikit kadarnya, maka juga dihukumi najis yang di-ma’fuw.
e. Perjalanan (safar)
Bepergian atau melakukan suatu perjalanan merupakan salah satu kebutuhan semi primer manusia. Pada saat tertentu, orang pasti membutuhkan aktivitas yang berupa perjalanan, baik untuk berbisnis, berslahturahmi, kuliah, mondok, dan sebagainya. Lalu, apakah setiap perjalanan diberi rukhshah, tentunya tidak demikian. Sebab jika setiap perjalanan diberi rukhshah, berarti Islam tidak memiliki sistematika hukum yang jelas dan konseptual.
Setidaknya, ada delapan jenis rukhshah yang dapat dilakukan saat seseorang melakukan suatu perjalanan. Kedelapan jenis itu, oleh al-Nawawi dipilah berdasarkan kadar hukum masing-masing. Pemilahan versi al-Nawawi agaknya dapat diterima oleh ulama lain, karena telah mewakili hampir semua jenis rukhshah beserta perinciannya. Pilihannya adalah seperti dibawah ini :
1. Meringkas shalat (qashar)
2. Tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (ifthar)
3. Membasuh khuff atau muzah (sepatu kulit) lebih dari satu malam. Lain halnya orang yang tidak dalam perjalanan, ia hanya mendapat rukhshah membasuh muzah selama satu hari satu malam saja.
Catatan : tiga obyek rukhshah di atas hanya berlaku saat melakukan perjalanan jauh, yakni telah mencapai marhalah.
4. Meninggalkan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
5. Memakan bangkai.
Catatan : dua katagori rukhshah ini tidak dikhususnkan untuk perjalanan jauh saja. Dalam arti, rukhshah meninggalkan shalat jum’at dan memakan bangkai tidak disyaratkan setelah perjalanan mencapai marhalah.
Jama’ shalat. Untuk menjama’ shalat, fuqaha, masih memperselisihkan, apakah perjalanan harus mencapai dua marhalah atau tidak. Menurut qawl ashah, dua marhalah merupakan syarat menjama’ shalat.
6. Shalat sunah di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat.
7. Gugurnya kewajiban shalat yang telah dilakukan walaupun bersuci dengan cara tayamun. Pada poin ketujuh dan kedelapan ini pun masih terjadi kontradiksi antar fuqaha’ terutama dalam soal jarak tempuh perjalanan. Qawl Ashah justru tidak mematok syarat minimal dua marhalah. Artinya, sholat sunah di atas kendaraan tetap dianggap sah, walaupun perjalanannya belum sampai jarak dua marhalah. Begitu pula jika kita bertayamum sebagai pengganti wudlu’, dengan syarat-syarat tertentu, walaupun perjalanannya belum sampai dua marhalah, kewajiban shalat yang telah dilaksanakan dianggap gugur. Sehingga tidak perlu mengulangi (qadla).
f. Sakit (maradl)
Telah kita ketahui, kewajiban shalat dan puasa Ramadhan tidak akan gugur selama nyawa masing di kandung badan. Sebab, keduanya merupakan ibadah yang akan dipertanggung jawabkan pertama kali oleh setiap muslim di akherat. Selain itu, dua ibadah ini juga menjadi cermin akan kualitas keimanan setiap muslim.
Permasalahannya,bagaimana jika kondisi tubuh sedang sakit. Bukankah setiap orang dalam batas dan saat tertentu pasti mengalami sakit? Sebagai agama yang membawa misiajaran kisah sayang alam semesta (rahmatan lil alamin), Islam sangat “memahami” permasalahan sakit ini, dengan memberikan keringanan hukum bagi penderita sakit dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Tapi bukan berarti setiap jenis penyakit akan memperingan hukum. Sebab,logisnya kiranya jika orang yang berpenyakit panu meminta keringanan hukum shalat, misalnya?
Karena itu, secara cerdas Fuqaha merekomendasikan metode dasar untuk membedakan penyakit yang bisa dan yang tidak bisa memperoleh rukhshah. Metode ini ditawarkan Fuqaha’ ini disebut metodologi analisis-kualitatif (taqribi), yakni suatu pengamatan dan analisa pada obyek hukum yang dikaji, dengan mengambil sampel pada kualitas obyek bersangkutan dari berbagai aspek. Contohnya : jika seseorang yang sedang sakit menjalani puasa, maka harus dilihat, bagaimana kondisi tubuhnya ; separoh apakah penyakit yang diderita ; dampak apa yang ditimbulkan ;bagaimana pengalaman orang lain saat ditimpa hal serupa; dan sebagainya.
Jika penyakit itu menimbulkan dampak yang membahayakan maka akan mendapat rukhshah. Dalam arti, suatu penyakit bisa mendapatkan rukhshah apabila parah atau berdampak fatal pada keselamatan si penderita jika ia memaksakan diri melakukan suatu ritus ibadah tersebut. Contohnya : orang yang sakit diperbolehkan tayamum sebagai pengganti wudlu, atau shalat sambil duduk, tidur maupun isyarat ketika tidak bisa melakukannya dengan sempurna (berdiri).
Dalam permasalahan boleh tidaknya orang mengqasharkan shalat, masih terjadi kontradiksi diantara Fuqaha. Pendapat yang paling kuat adalah yang tidak memperbolehkan. Sedangkan pendapat yang memperbolehkan karena menganalogikan qashar dengan jama’.
g. Nilai “minus” (naqsh)
Yang termasuk dalam katagori ini adalah kaum hawa, anak-anak, orang gila, idiot (safih), hamba sahaya, dan orang sakit. Ketidak sempurnaan yang dimaksud bukan berarti karena cacatnya anggota badan dan minusnya intelektualitas, melainkan minus yang bersifat insting-psikologis(tabiat-kejiwaan). Perempuan misalnya, dalam beberapa kondisi tertentu dianggap mempunyai sifat naqsh (kurang) karena secara psikologis memiliki kadar emosional tinggi, tidak sabaran, berbicara sering diluar kontrol, dan hal-hal yang bersifat thabi’i (karakteristik) lainnya. Sedangkan anak-anak, orang gila, dan idiot jelas punya daya nalar dan daya pikir kurang dibanding daya nalar orang dewasa dan normal.
Sementara nilai minus hamba sahaya terletak pada kedudukannya yang masih di bawah kekuasaan orang lain (sayyid ; majikan). Hamba sahaya belum “memiiki” dirinya sendiri secara utuh. Sedangkan nilai minus orang yang sakit terletak pada kondisi kesehatan tubuhnya yang berada di bawah standa normal.
Berdasar hipotesa di atas, syariat memberikan keringanan hukum bagi mereka. Anak kecil dan orang gila tidak mendapat taklif ; kaum perempuan mendapat beban taklif lebih ringan dibanding laki-laki, seperti tidak wajib shalat Jumat, tidak wajib jihad, tidak wajib membayar diyat (denda) dan jizyah, boleh memakai kain sutera dan perhiasan dari emas, dan sebagainya. Bahkan menurut sebagian ulama, diperbolehkannya seorang lelaki berpoligami ternyata adalah bagian dari ‘keringanan’ bagi kaum hawa. Hal itu berlandaskan pada asumsi dasar, bahwa kaum hawa adalah jenis kelamin mayoritas. Agar populasi yang begitu besar itu dapat “tersalurkan”, maka syariat memperbolehkan satu laki-laki beristeri sampai empat orang.
c. Hukum Rukhshah
Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima :
1. Rukhshah wajib, contohnya memakai bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak yang asalnya haram merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilaksanakan.
2. Rukhshah sunah, misalnya sholat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan sholat zhuhur, karena cuaca pada awal wakyu zhuhur sangat panas. Atau melihat muka dan dua telapak tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh di atas merupakan rukhshah yang sunah dikerjakan.
3. Rukhshah mubah, contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini asalnya dikatagorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum (selengkapnya lihat kaidah Kubra kelima).
4. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ sholat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah) dalam contoh di atas lebih utama untuk tidak dikerjakan.
5. Rukhshah makruh. Contohnya meng-qashar sholat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk mengindar khilaf Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tifa marhalah (142 km versi Hanafiyah). Sementara al-Syafi’i menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar .
6. Aplikasi Rukhsah
a. Dalam Muamalah
Setelah membaca alenia-alenia sebelumnya, sepintas lalu terdapat kesan bahwa rukhshah hanya berlaku dalam ranah ‘ubudiyyah (ibadah). Padahal tidak demikian, rukhshah juga akan menampakkan peranannya dalam ranah hukum selain ubudiyah, seperti dalam transaksi syar’i atau yang biasa disebut mu’amalah.
Banyak aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah dalam mu’amalah, diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara terminologis adalah sesuatu yang masih bersifat kabur dan tidak jelas. Akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan melakukan transaksi. Dalam setiap mu’amalah, gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara pelaku transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil.
Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam mu'amalah, gharar terbagi menjadi tiga tingkatan :
Gharar yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak boleh dilakukan. Gharar semacam ini tidak mendapat toleransi syariat (ghayru ma'fuw 'anhu), seperti gharar yang terjadi pada penjualan janin binatang yang masih berada dalam kandungan induknya (bay' al-malaqih), penjualan sperma hewan pejantan, atau penjualan barang yang sulit diserah terimakan. Apapun alasannya, gharar seperti tersebut di atas tidak akan memperoleh rukhshah., sebab umumnya gharar semacam itu mudah dihindari. Dalam arti ia dapat melakukan jual beli tanpa harus melakukan tiga hal ini.
Gharar yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan. Contohnya menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan barang-barang sejenis yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan barang-barang konsumsi di atas tidak diharuskan melalui pengelupasan kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada, kualitas isinya sulit diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak diharuskan melihat kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi di atas juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini diperbolehkan karena termasuk kategori masyaqqoh (kesulitan).
Gharar tingkat antara maupun tingkat kedua. Gharar jenis ini terbagi menjadi dua :
1. Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala yang tidak boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah jenis ini walaupun kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa bertahan lama (awet), sehingga harus dikelupas terlebih dahulu sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan barang yang tidak ditentukan secara pasti (ibham), seperti menjual salah satu diantara dua baju atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di tempat transaksi (bay' al-ghaib).
2. Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak dilakukan akan menimbulkan masyaqqah. Transaksi jenis ini mendapat toleransi hukum dari syariat (ma’fuw). Contohnya membeli biji-bijian dengan hanya melihat bagian luar tumpukannya (shubrah). Contoh lain adalah membeli barang hanya dengan melihat contohnya (sampel atau master), dimana contoh itu telah dianggap mewakili kualitas barang-barang lain vang sejenis. Contoh terakhir terhadap ukuran layak-tidaknya buah untuk dikonsumsi adalah hanya dengan melihat permulaan waktu matang dan rasa manis, tanpa harus menunggu buah itu betul-betul matang.
Dalam tataran paktis, syara' juga memperbolehkan beragam transaksi yang pada dasarnya dilarang, namun karena sudah menjadi kebutuhan umum maka transaksi itu menjadi diperbolehkan. Sebab bila tidak di perkenankan akan membuat masyarakat mengalami kesulitan. Seperti :
Ijarah yakni akad sewa-menyewa yang pada awalnya tidak diperbolehkan karena sesuatu yang disewa berupa manfaat, seperti manfaat rumah, misalnya. Sedangkan manfaat sendiri bersifat abstrak atau tidak tampak oleh indera (ma'dumah), sedangkan melakukan transaksi pada barang yang tidak tampak adalah termasuk gharar. Namun karena ijarah sudah menjadi kebutuhan umum masyarakat, bahkan sudah mencapai tingkat darurat, maka ijarah diperbolehkan.
Muzara'ah, yaitu penyewaan tanah dengan pembayaran berupa sebagian hasil pendapatan tanah, dan benih yang ditanam berasal dari pemilik tanah. Sebagaimana ijarah, latar belakang diperbolehkarmya muzara'ah adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan sejarah mencatat bahwa muzara'ah telah dilakukan di seluruh penjuru Arab. Ini adalah bukti bahwa muzara'ah adalah kebutuhan umum masyarakat
Musaqah, yakni transakasi yang dilakukan untuk merawat dan menyirami pohon kurma/anggur, dengan kesepakatan bahwa buah yang dihasilkan akan dibagi berdua.
Qiradl adalah transaksi pemberian modal dan seseorang kepada koleganya, untuk dikelola demi mendapatkan keuntungan yang akan dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Seperti halnya musaqah, qiradl juga tetap diperbolehkan, walaupun mengandung gharar, karena adanya hajat atau kebutuhan umum masyarakat yang sudah mendekati kadar darurat.
Salam secara sederhana adalah memesan. Secara istilah, salam dimaknai sebagai transaksi pada barang dengan menggunakan uang atau harga kontan dan melalui ungkapan pesan (shighat al-salam).Jika melihat karakternya, salam sebenarnya termasuk jenis transaksi pada barang yang tidak wujud (ma'dum), namun karena sudah menjadi kebutuhan umum masyarakat, akhirnya jenis transaksi ini dilegalkan oleh syariat.
Hiwalah, yaitu perpindahan hutang dari tanggungan seseorang pada tanggungan orang lain, yang oleh Taqiyuddin al-Hishni di istilahkan sebagai penjualan hutang dengan hutang lainnya. Dengan demikian, hiwalah sebenarnya tidak diperbolehkan, namun menjadi boleh karena ada kebutuhan.
Diberlakukannya hukum khiyar dalam transaksi jual-beli. Pemberlakuan khiyar ini adalah didasarkan pertimbangan kebiasaan dalam jual beli yang umumnya dilakukan secara spontan-dalam arti tanpa menangguhkan waktu-sehingga di kemudian hari salah seorang pelaku transaksi bisa saja merasa menyesal melakukannya. Untuk menanggulangi kejadian semacam ini, syariat memberi rukshah berupa khiyar yang memungkinkan untuk dilakukannya penggagalan transaksi (faskhal-bay').
Ketujuh transaksi ini diperbolehkan syara' karena ada kebutuhan umum (hajah 'ammah) yang tidak bisa ditinggalkan, walaupun pada awalnya tidak diperbolehkan karena transaksi-transaksi ini dilakukan pada barang atau jasa yang tidak ada (ma'dum).
Selain rukhshah-rukhshah di atas, syara' juga memberikan keringanan pada akad ja'iz, yaitu sejenis transaksi dimana masing-masing pelaku dapat membatalkannya dalam waktu kapanpun. Yang termasuk akad ja'iz ini adalah syirkah, wakalah, 'ariyah, dan sebagainya. Karena apabila akad-akad yang seharusnya ja'iz berubah menjadi lazim, akan rnenimbulkan kesulitan bagi orang yang menjalankan akad itu sendiri.
Kesulitan-kesulitan yang dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang muslim yang menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudah-kemudahannya .
b. Aplikasi Rukhshah dalam Ibadah
Tidak semua masyaqqah mendapat rukhsoh demian pula dengan ibadah. Masyaqqah dalam ibadah tidak semua mendapat rukhshah, yaitu masyaqqah yang kondisinya sangat ringan, sepertti flu, pusing, dan pegal-pegal, karena hal ini secara alami manusia masih mampu mencari jalan keluar sehingga belum masuk keterpaksaan.
Ibadah akan mendapat rukhsah jika masyaqqah sudah mencapai ghoiru mu’tadah atau tingkat kesulitannya dalam ibadah sudah mencapai tingkat al-a’la dan masyaqqat al-mutawassitoh.
Aplikasi rukhsoh dalam ibadah, berdasarkan obyek rukhsoh bepergian akan ditemukan aplikasi rukhsoh dalam ibadah. Demikian pula ketika orang dalam keadaan sakit. Seperti halnya seorang mukallaf akan mendapatkan rukhsoh dia dalam perjalanan seperti sholat, meringkas sholat empat rokaat menjadi dua rokaat, serta tidak puasa di bulan Romadhon, membasuk khuff atau muzah lebih dari satu malam, dan dalam keadaan sakit seperti diperbolehkan tayamun sebagai pengganti wudlu, sholat sambil duduk, tidur, maupun isyarah.
Selain itu dalam hal keadaan adanya halangan (udzur, alasan yang bisa diterima oleh syar’i) seperti sholat Jum’at, haji, umroh dan jihad. Untuk sholat Jum’at diganti dengan sholat dhuhur sebagaimana hari-hari biasa. Serta zakatpun ada rukhsohnya yaitu mempercepat zakat sebelum waktunya tiba. Semua rukhsoh ini dijatuhkan karena sebuah masyaqqat yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikulnya dan dan jika tetap dilakukan dan memberatkan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya.
c. Rukhshah dalam Pernikahan
Rukhshah juga ditemukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan. Seperti contoh Rukhshah Takhfif (toleransi berupa peringatan tuntutan) dalam pernikahan, yang tentunya dilatar belakangi oleh adanya masyaqqah. Contoh-contoh rukhshah yang ada dalam pernikahan seperti :
1. Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghinari masyaqqah yang timbul pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk dipertahankan.
2. Khulu’ dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem-fasakh (membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama). Rukhshah ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak punya kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami.
3. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadnya perceraian, karena dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang matang.
d. Rukhshah dalam Zhihar dan Ayman
Kafarah adalah sebuah denda yang dibebankan pada seorang yang melanggar sumpah (aiman arau half) yang disandarkan pada Allah atau nama-namaNya, baik dalam hal-hal yang ringan ataupun yang berat. Dengan disyaritakannya kafarah, pada hakikatnya ‘memudahkan’ terhadap orang yang bersumpah (halif), apabila ia menghendaki untuk tidak melaksanakan apa yag disumpahi. Mungkin karena mersas berat (masyaqqah) ketika akan melaksanakan apa yang disumpahi. Katakanlah kaffarah ini adalah alternatif agar ia dapat menentukan mana yang ringan baginya. Karena apabila orang yang bersumpah dituntut untuk melaksanakan sumpahnya tanpa ada pilihan lain, maka tentu ia akan merasa berat, atau minimal ia akan menyesali terhadap sumpah yang telah dia lakukan.
Dengan demikian, kaffarah yang kelihatnaya memberi beban pada orang yang melanggar sumpah (halif) sebenarnya merupakan sebuah keringanan yang diberikan syariat kepdanya. Sebab dengan diberlakukannya kaffarah bagi pelanggar sumpah (hanits al-yamin), dia diperkenankan untuk memilih antara melaksanakan antara apa yang ia katkaan dalam sumpahnya (al-wafa) atau tidak melaksanakan sumpahnya dengan konsekuensi dia harus membayar denda atas pelanggaran sumpahnya. Hal ini juga berlaku daam masalah sumpah zhihar.
e. Rukhshah bagi sayyid (Tuan) dan Budaknya
Termasuk rukhshah bagi seorang budak adalah tidak diwajibkannya shalat jum’at, haji, dan zakat. Andaikan kewajiban-kewajiban ini dibebankan pada seorang budak maka akan menyulitkan sayyid dan budaknya. Karena kewajiban-kewajiban ini membutuhkan biaya yang akan mengurangi pendapatan seorang budak yang seharusnya digunakan sebagai cicilan (dalam kitabah) pada seoroang sayyid agar dirinya segera merdeka. Begitu juga apabila budak tetap diwajibkan melakukan shalat jum’at dan haji, juga kana mengurangi jam kerjanya sehinga menjadikan proses kemerdekaannya tertunda. Disamping itu, sayyid juga tidak bisa segera mendapatkan harta dari cicilan budaknya.
f. Rukhshah dalam Qishash
Dalam pelaksanaan qishash, pihak keluarga yang punya hak qishash (mustahiq al-qishash) dalam syariat Islam diberi kebebasan untuk memilih antara menuntut qishash dan meminta diyat (denda yang berua uang sebagai ganti qishash). Dua pilihan yang telah diberikan syara’ ini pada dasarnya memberi kemudahan bagi mustahiq al-qishash dan sekaligus orang yang membunuh (al-qatil) sendiri.
Sejarah mencatat, qishash dalam syariat Nabi Musa As . harus dilakukan dengan cara dibunuh tanpa ada alternativ pengganti. Qishash tidak dapat ditawar dengan cara yang lain dan dalam bentuk apapun. Sementara dalam syariat Nabi Isa As, hukuman yang diterapkan pada seorang pembunuh adalah dengan ara embayar diya, tidak dengan cara lain. Dan yang terakhir adalah qishash dalam syariat Nabi Muhammad SAW. Qishash dalam syaariat nabi terakhir ini, pihak keluarga yang terbunuh dapat memilih antara melakukan qishash atau meminta diyat.
Andaikan syariat qishash ini cuma dengan cara balas bunuh sperti yang ada dalam syariat Nabi Musa As., maka bisa saja akan menyulitkan bagi keluarga yang terbunuh, karena tidak menutup kemungkinan pembunuh adalah orang yang masih ada ikatan tali keluarga, sehingga opsi diyat bisa dijadikan alternatif pilhan agar hubungan kekerabatan anatara pembunuh dan pihak yang terbunuh tetap terjalin harmonis. Pun andaikan qishash ini cuma dengan cara yang diberlakuan pada masa Nabi Isa As. (hanya membayar diyat), maka akan memberikan kesempatan melakukan pembunuhan sewenang-wenang bagi orang-orang yang mampu membayar diyat. Di smping itu, sakit hati keluarga orang yang terbunuh tidak akan terobati karena tidak bisa memberi balasan setimpal kepada pembunuh yang bisa jadi adalah pembunuh kelas kakap yang memang harus segera dimusnahkan dari panggung sejarah kemanusiaan.
g. Rukhshah bagi Mujtahid
Berijtihad adalah tugas suci seorang mujtahid untuk menelorkan hukum-hukum. Dalam prakteknya, hokum yang ditetapkan mujtahid aalah putusan dan ketetapan yang berdasar pada persangkaan kuat yang dihasilkannya (zhan). Ia tidak dibebani untuk mencapai titik kebenaran hakiki, melainkan hanya bertugas menggali hukum yang didasari praduga kuat. Hal ini merupakan sebuah keringanan tersendiri bagi mujtahid, karena jika dia dibebani untuk mencari hukum syar’i yang berdasarkan keyakinan (baca : hingga mencapai kebenaran sejati) akan menimbulkan kesuitan baginya. Keringana lain yang diberikan kepada seorang mujtahid adalah, keliaru dalam melakukan ijtihad seorangmujtahid tetap diberi pahala karena kebanyakn hukum-hukum fiqh didasarkan dari dalil zhan, yang tetnunya akan menghasilkan putusan hukum yag berkualitafiksai zhan pula.
Seorang hakim dipengadilan, yang juga termasuk mujathid, juga mendapat keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup berpegang pada persangkaan kuat yang didapatkan dari kesaksian pra saksi yang adil dan terpercaya. Ia tidak diwajibkan memberi putusan hukuman yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus berusaha memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal mungkin .
7. Kaidah – Kaidah Senada
Telah kita maklumi,setiap kaidah dasar pasti memiliki kaidah-kaidah cabang yang senada dan memiliki substansi sama, walaupun berbeda segi engungkapan. Pada kaidah al-masyaqqah tajlibu al-taysr ini, terdapat tiga kaidah cabang sebagai berikut :
(I)
إِذَاضَاقَ الأَمْرُ إِتَّسَعَ
“Ketika sesuatu sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”
Dengan kata lain, keringaan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman ayang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene menghadapi kesuitan diperbolehkan ‘mengangkat’ orang lain (yang bukan muhrim) utuk menjadi walinya (muhakkam).
Contoh lain seperti fenomena yangsering terjadi di musim kemarau, dimana lalat-lalat banyak bertebaran membawa najis dikakinya. Jika lalat-lalat nakal itu banyak bertebaran ditubuh kita, maka najis-najis dikaki mereka hukumnya ma’fu. Sebaba, kita sanagat sulit menghindari. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dlaqa), akan membuat hukum menjadi ringan (ittas’a) berupa di-ma’fu-nya najis-nasjis tersebut.
(II)
إِذّا اتَّسَعَ الأَمْرُضَاقَ
“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
Kaidah cabang kedua ini sebenarnya semakna dengan kaidah cabang pertama, walaupun redaksinya berbeda dan enderung berlawanaan. Artinya, jika yang pertama menyatakan bahwa kesempitan akan membuahkan keluasan (hukum), maka yang kedua ini bersikap sebaliknya, yakni keadaan lapang akan membuat hukum menjadi sempit terbatas.
Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperbolehakn melakukan gerakan. Sebaba kondisi ita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.
Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittisa’a), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (dlaqa), yakini tidak boleh melakukan pergerakan yang berlebihan.
(III)
كُلُّ مَاتَجَاوَزَ حَدَّهُ إِنْعَكَسَ إِلَى ضِدَّهِ
“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran, memiliki hukum yang sebaliknya”
Kaidah yang ketiga ini adalah hasil sintesa (perpadauan) dua kaidah sebelumnya. Artiya, kaidah ini memandang, sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya; ketikakondisi sulit berarti hukumnya ringan, saat keadaaan lapang akan membuat hukum menjadi ketat. Al-Ghazali lah yang melaukan upaya sintetik tersebut, yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika dilihat sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai substansi yang senada.
Sebelum mengakhiri kaian ini, perlu kami tambahkan klasifikasi masyaqqah versi ahli ushul fiqh (ushuliyyun). Ushuliyyun hanya membagi masyaqqah secara global dalam dua kategori.
Pertama, masyaqqah umum dan lumrah. Yakni sebentuk kesulitan yang umumnya mampu kita tanggung. Hal itu seringkali kita alami, seperti pegal-pegal, sakit kepala ringan, dan lain sebagainya. Masyaqqah jenis ini jelas tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperoleh rukhshah selain tidak proposional, juga tidak bisa diterima akal sehat.
Kedua, masyaqqah khusus dan tidak lumrah. Yaitu sebentuk kesulitan yang jarang terjadi dan biasanya sangat berat untuk ditanggung. Masyaqqah jenis kedua ini akan menelorkan tiga pembagian :
1. Masyaqqah khusus yang diberi rukhshah, seperti beratnya melakukan perjalanan, sulitnya puasa dalam keadaan sakit parah, dan lain sebagainya. Pada stadium inilah, sebuah kewajiban (puasa misalnya) dapat ditinggalkan demi menolak masyaqqqah yang lebih berat.
2. Masyaqqah khusus yang wajib dilaksankan. Misalnya kewajiabn jihad, amar ma’ruf-nahi munkar, an lain sebgainya. Walaupun kewajiban-kewajiban di atas jelas-jelas mengandung unsur masyaqqah, akan tetapi wajib dilaksanakan. Sebab realisasai dari kewajiban-kewajiban itu mau tidak mau selalu bersamaan dengan kesulitan. Walaupun demikian, jika dalam pelaksanaannya timbul dampak negatif pada diri si pelaku, maka pahala yang didapatnya tentu lebih besar. Tidak seperti masyaqqah jenis pertama yag justru makruh apabila terus dikerjakan.
3. Masyaqqah khusus yang bukan esensi pekerjaan, tapi muncul karena khilafan pelakunya. Seperti nadzar tidakminum air sehari-semanlam, nadzar berjemur diterik matahari, tdak mau berkomunikasi degan siapapun, dan pekerjaan-pekerjaan absursd (ghayr al-ma’qul) lainnya. Masyaqqah katergori ini jelas tdak ditolerir oleh syariat. Selain tidak disyariatkan, pekerjaan-pekerjaan di atas jelas tidak mengandung unsur kemaslahatan sama sekali; tidak ada kemsalahatan jika harus menyiksa diri sendiri. Bahkan, perbuatan itu tergolong dosa besar yang sangat dikecam syariat. Hal ini terbuktikan dari kisah kecil sebelumnya, dimana ketaatan total hinga melampaui batas yang dilakukan sahabat ternyata tidak membuat nabi SAW bergembira. Nabi justru meberi peringatan kepada mereka agar menempatkan segala sesuatu (termasuk ibadah) sesuai porsinya. Ibadah yang jelas-jelas punya landasan syariat tapi dijalankan secara berlebhan saja, ternyata tidak direstui oleh Nabi SAW. Apalagi ‘ibadah’ yang tidak dilandasi dalil syar’i seperti berjemur diterik matahari dan tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, misalnya, pasti lebih dimurkai lagi.
Dari sini kita bisa mengambil benang merah, bahwa sebenarnya Islam selalu bersikap obyektif dan proporsional dlam nerepakan ajaran-ajarannya. Islam tidak pernah bersikap kaku, menutup diri, atau menutup mata akan kebutuhan dan kesulitan yang dialami umat. Jika kondisi sulit, umat diberi kemudahan. Tapi bila kondisi lapang, umat diri kebebasan mengekspresikan aktivitas ritual-spiritual hingga sosialnya, tapi tetap dalam batas-batas yang wajar. Intinya, ajaran Islam itu selalu tawasuth, tasamuh, tawazzun, bin I’tidal, binti moderat. Jika kemudian muncul stereotip yang mengkalim bahwa Islam itu kolot, rigid, puritan, marginal, tidak emansipatif dan sebutan miring lainya, hal itu semata karena kurangnya pemahaman yang benar tentang Islam .
DAFTAR ISI
Abdul Haq,dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Khalista Surabaya, 2005.
Muslik Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhayah, PT Raja Grafindo Persada Wahbah as-Suhaili 1982:40
1 komentar:
mantep abis kontennya. Bermanfaat
Posting Komentar