Selamat Datang di Blog Inovasi Pendidikan Madrasah. Blog Edukasi dan Bisnis selagi ada waktu dan kesempatan.
Kamis, 19 Juli 2012
TUGAS ILMU KALAM " KEADILAN TUHAN "
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah keadilan Tuhan merupakan bidang
kajian penting dalam ilmu kalam.Masalah ini berkaitan erat dengan paham
Jabariyah dan Qadariyah.Paham Jabariyah menempatkan segala yang maujud ini,
termasuk di dalamnya perbuatan manusia, dalam ketentuan Tuhan secara mutlak.
Oleh sebab itu paham ini mengacu pada sikap fatalistik. Sedangkan paham
Qadariyah lebih menitikberatkan perhatiannya pada kehendak mutlak manusia
ketimbang kemutlakan kekuasaan Tuhan. Menurut paham ini, kekuasaan Tuhan tidak
mutlak semutlak mutlaknya karena manusia memiliki potensi dan kapasitas untuk
melakukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karenanya paham ini mengacu pada sikap
free will dan free act. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas,
permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah: 1. Apa pendapat
para golongan aliran ilmu kalam tentang Keadilan Tuhan? 2. Apa yang membedakan
paham golongan ilmu kalam tentang Keadilan Tuhan ? BAB II KEADILAN TUHAN
Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan
penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan
sesuatu pada tempatnyaPada gilirannya kedua masalah tersebut dikaji lebih detail
oleh beberapa aliran ilmu kalam, yaitu aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah. Yang disebut terakhir ini sendiri berkembang menjadi dua kelompok
besar, yakni Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand A. Mu’tazilah Kaum
Mu’tazilah, karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan
manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan
kepentingan manusia. Memang dalam paham Mu’tazilah semua makhluk lainnya
diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa
manusia yang berakal sempurna, kalau berbuat sesuatu, mesti mempunyai tujuan.
Manusia yang demikian berbuat atau untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk
kepentingan orang lain. Tuhan juga mempunyai tujuan dalam
perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi karena Tuhan Maha Suci dari sifat berbuat untuk
kepentingan diri sendiri, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan
lain, selain Tuhan. Berlandaskan argumen-argumen ini kaum Mu’tazilah
berkeyakinan, bahwa wujud diciptakan untuk manusia, sebagai makhluk tertinggi,
dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melihat segala-galanya
dari sudut kepentingan manusia. Aliran muktazilah mempunyai tafsiran khusus
terhadap prinsip keadilan. Bagi mereka, semua perbuatan Tuhan bersifat keadilan
semata-mata, tidak ada satu perbuatan pun yang bisa dikatakan salah satu zalim.
Jadi menurut Mu’tazilah, sebagaimana yang diterangkan oleh Abd. al Jabbar,
keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang
akan haknya. Kata kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa Ia tidak dapat
mengabaikan kewajiban kewajiban-Nya terhadap manusia. (Yunan Yusuf, 1990: 66)
Dari pengertian ini dapat dinyatakan, bahwa konsep keadilan Tuhan menurut
Mu’tazilah adalah bermuara pada kepentingan manusia. Kalau pemikiran ini
mengharuskan ketidakbolehan sifat dhalim dalam menghukum, memberi beban beban
yang tidak terpikul dan upah pahala kepada orang yang tidak patuh, bagi Allah.
Dengan demikian Mu’tazilah memandang, bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kewajiban
yang ditentukan sendiri buat diri-Nya. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan
sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah: 1) Al-Anbiya (21) : 47
"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji
sawi pun pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat
perhitungan" 2) Yasin (36) :54 "Maka pada hari itu orang tidak akan dirugikan
sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan"
3) Fusshilat (41) :46 "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka pahalanya
untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka dosany atas
dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya" 4)
An-Nisa (4) : 40 "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar
zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar biji zarrah niscaya allah akan
melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” 5) dan Kahfi
(18) : 49. "Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang
bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis didalamnya, dan mereka berkata
;”aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan
tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa
yang telah mereka ketrjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang
jua pun" Berdasarkan atas tendensi Mu’tazilah yang dijelaskan diatas, soal
keadilan mereka tinjau dari sudut pandang manusia. Bagi mereka, sebagai
diterangkan oleh ‘Abd al-Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan
keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan Adil”
mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat
berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya
kepada manusia. Oleh karena itu 1) Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam
memberi hukuman, 2) Tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang
tuanya 3) Tidak dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia, 4)
Mesti memberi upah kepada orang yang patuh pada-Nya 5) Memberi hukuman kepada
orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengandung arti
berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia, dan
memberikan upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya.
Menurut Al Nazzam dan pemuka-pemuka Mu’tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan
bahwa Tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta, dan untuk tidak berbuat apa
yang terbaik untuk manusia. Jelaslah kiranya, bahwa paham keadilan bagi kaum
Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus di hormati Tuhan.
Keadilan bukanlah hanya berarti memberi upah kepada yang berbuat baik dan
memberi hukuman kepada yang berbuat salah. Paham “Tuhan berkewajiban membuat apa
yang terbaik bagi manusia” saja mengandung arti yang luas sekali, seperti tidak
memberi beban yang terlalu berat kepada manusia, pengiriman Rasul dan Nabi-nabi,
memberi manusia daya untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan sebagainya.
Semua ini merupakan kewajiban Tuhan terhadap manusia. Keadilan menghendaki
supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Demikian menurut kaum
Mu’tazilah. B. Asy’ariyah Keadilan menurut Asy’ariyah berarti menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu pemilik mempunyai kekuatan mutlak
terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan
pengetahuan pemilik. Keadilan Tuhan mengandung arti, bahwa Tuhan mempunyai
kekuatan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam
kerajaan-Nya. (Nasution, 1986: 125) Mereka menolak paham Mu’tazilah bahwa Tuhan
mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan
Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk
berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan
kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kabaikan dan
keuntungan itu, tetapi pengetahuan maupun kebaikan serta keuntungan-keuntungan
itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian mereka mempunyai tendensi
untuk meninjau wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Asyariyah
dalam hal ini tidak menemukan secara khusus ayat ayat yang dijadikan dalil .
Sebab paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy ariyah lebih menitikberatkan pada
makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sehingga ayat ayat yang sering
dipakai untuk menopang paham keadilan Tuhan ini adalah ayat ayat yang juga
dipergunakan untuk memperkuat pandangan tentang kedudukan dan kehendak mutlak
Tuhan. (Yunan Yusuf, 1990: 33) Kaum Asy’ariah memberikan interpretasi yang
berlainan sekali dengan interpretasi Mu’tazilah diatas. Sesuai dengan tendensi
mereka untuk meninjau segala-galanya dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
keadilan mereka artikan “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya
sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.” Dengan demikian keadilan Tuhan
mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan
dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidakadilan sebaliknya
berarti, “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak
terhadap hak milik orang. Oleh karena itu Tuhan dalam pahak Asy’ariyah dapat
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, sungguhpun hal yang sedemikian itu,
menurut pandangan manusia, adalah tidak adil. Al Asy’ari sendiri berpendapat
bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam
syurga dan tidaklah bersifat zalim jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hokum,
dan karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hokum, perbuatan Tuhan
tidak pernah bertentangan dengan hokum. Dengan demikian Tuhan tidak bisa
dikatakan bersifat tidak adil. Al Ghazali mengeluarkan pendapat yang sama.
Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang lain dan
jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar
perintah itu, perbuatan yang demikian tidak mungkin ada pada Tuhan. Oleh karena
itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak, dapat berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya dengan makhluk-Nya. Al-Asy’ari memang berpendapat bahwa Tuhan
dapat menyakiti anak-anak kecil di hari kiamat, dapat menjatuhkan hukuman bagi
orang mukmin dan dapat memasukkan orang kafir ke dalam surga. Sekiranya ini
dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah. Tuhan tetap masih bersifat adil.
Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman merupakan
keadilan Tuhan. Tuhan tidak berkewajiban memberikan pahala. Seperti kata
Al-Ghazali, Tuhan memberikan upah kepada manusia, jika yang demikian
dikehendaki-Nya, dan memberi hukuman, jika itu pula dikehendaki-Nya, bahkan
menghancurkan manusia , jika demikianlah dikehendaki-Nya. Sungguhpun demikian
Tuhan tetap bersifat adil. Demikian pendapat Al-Asy’ariyah. Jelaslah bahwa paham
Asy’ariah tentang keadilan bertentangan benar dengan paham yang dibawa
Mu’tazilah. Keadilan dalam paham kaum Asy’ariah ialah keadilan Absolut, yang
memberi hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan,
kecuali kekuasaannya sendiri. Keadilan paham kaum Mu’tazilah adalah keadilan
Raja Konstitusional, yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, sungguhpun hukum itu
adalah buatannya sendiri. Ia mengeluarkan hukuman sesuai dengan hukum dan bukan
dengan sewenang-wenang. Jika dalam soal keadilan ini kaum Mu’tazilah tidak
menghadapai dilema, kaum Asy’ariah sebaliknya, dihadapkan dengan persoalan yang
sulit. Karena dalam paham kaum Asy’ariah perbuatan manusia pada hakikatnya
adalah perbuatan Tuhan, maka Tuhan akan bersifat tidak adil, bahkan zalim, jika
member hukuman kepada seseorang atas kejahatan yang terpaksa ia lakukan atau
lebih tegas lagi atas kejahatan yang pada hakikatnya bukanlah perbuatannya.
Untuk mengatasi kesulitan ini, kaum Asy’ariah, seperti dilihat diatas, mengubah
definisi yang biasa dipakai untuk keadilan, sehingga keadilan dalam paham ini
sesuai dengan teori mereka tentang al-kasb dan tentang kekuasaan serta kehendak
mutlak Tuhan. C. Maturidiyah Bukhara Dalam hal ini, kaum Maturidiyah golongan
Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariah yang berpendapat bahwa
keadilan Tuhan harus dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Secara jelas Al Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak
mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendak-Nya
sendiri. Keadaan Tuhan bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti bahwa dibalik
perbuatan-perbuatan Tuhan terhadap hikmat-hikmat. Dengan kata lain, Al-Bazdawai
berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan
demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan
Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun
sama. (Nasution, 1986: 124) Bagi kaum Maturidiyah golongan Bukhara, karena
sepaham dengan kaum asy’ariah, persoalan itu pada dasarnya ada, tetapi paham
masyi’ah dan rida membebaskan golongan Bukhara dari persoalan ini. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, sungguhpun manusia, dalam paham kaum Maturidiyah,
berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan itu tidak diridai Tuhan.
Karena menetang rida Tuhan, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan bersifat tidak
adil kalau Ia memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. D. Maturidiyah
Samarkand Aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan
sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan
membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu.
Tuhan tidak akan menganiaya hamba hamba-Nya dan juga tak akan mengingkari janji
janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. (Yunan Yusuf, 1990: 82). Aliran
Maturidiyah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free act
serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi
yang dekat dengan aliran Mu’tazilah daripada aliran Asy’ariyah. Tetapi tendensi
golongan ini untuk meninjau wujud dari kepentingan manusia melebihi dari
tendensi kaum Mu’tazilah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kekuatan yang
diberikan aliran Samarkand kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada
kekuasaan Tuhan, lebih kecil dari yang diberikan kaum Mu’tazilah. (Nasution,
1986: 24) Abu Mansur al Maturidi berdalil atas pandangan di atas dengan firman
Allah Q.S. Al-An’am, 6: 160 Q.S. Ali ‘Imran, 3: 9) .Ayat pertama ditafsirkan al
Maturidi dengan mengatakan bahwa Allah tidak membalas perbuatan jahat seseorang,
kecuali dengan balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu. Dan Allah
tidak menyalahi janji-Nya serta menganiaya hamba¬¬-Nya, lanjut al Maturidi dalam
memberi tafsiran ayat yang kedua. (Yunan Yusuf, 1990: 10) Bagi kaum Mu’tazilah
dan kaum Maturidiah golongan Samarkand, persoalan demikian tidak timbul karena
bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan
manusia sendiri. Jadi manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya dan
yang dilakukan bukan dengan paksaan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan
kepadanya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kehendak Tuhan dipahami oleh aliran
Mu’tazilah sebagai kehendak yang tidak mutlak semutlak mutlaknya namun dibatasi
oleh free will dan free act manusia, keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan kepada
manusia dan kausalitas sunnatullah. Konsep pemahaman tersebut dalam banyak hal
searah dengan yang disampaikan oleh aliran Maturidiyah Samarkand. Sedangkan oleh
aliran Asy’ariyah, kehendak Tuhan ini dipahami sebagai kehendak mutlak dan
absolut dalam semua hal. Konsep pemahaman tersebut tidak jauh berbeda dengan apa
yang disampaikan oleh aliran Maturidiyah Bukhara. 2. Keadilan Tuhan oleh aliran
Mu’tazilah dipahami sebagai sesuatu yang terpusat pada kepentingan manusia.
Tuhan tidak dapat mengabaikan pada kewajiban kewajiban terhadap manusia.
Sedangkan oleh aliran Asy’ariyah dipahami sebagai menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Interpretasinya tetap berorientasi pada absolutisme kehendak dan
kekuasaan Allah. Aliran Maturidiyah Bukhara dalam hal ini serupa dengan
pemahaman Asy’ariyah. Sedang aliran Maturidiyah Samarkand mengutamakan
pengertian keadilan Tuhan sebagai lawan perbuatan zalim. DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun., Falsafat Agama., Jakarta: Bulan Bintang, 1991. ——, Akal dan
Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986. ——, Teologi Islam, Jakarta: UI
Press, 1986. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al Azhar, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990 Al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam,
Buku 2, terj. Rosihan Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000 M.
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990 Amat
Zuhri, Warna-warni Teologi Islam (Ilmu Kalam), STAIN Pekalongan Press, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar